6 Film Adaptasi Novel Indonesia yang Angkat Isu-isu Sosial
Mulai dari jagoan yang impoten hingga tragedi-tragedi HAM, berikut beberapa film yang diadaptasi dari novel Indonesia yang sarat akan isu sosial.
Sineas Indonesia kembali mencatatkan prestasi dalam Festival Internasional. Kali ini, film Vengeance Is Mine, All Others Pay Cash (Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas) karya sutradara Edwin, memenangkan Golden Leopard, penghargaan tertinggi dalam Festival Film Locarno di Swiss pada Sabtu, 14 Agustus 2021.
Film yang diproduksi oleh studio Palari Film ini merupakan adaptasi dari novel berjudul sama karya penulis Indonesia, Eka Kurniawan. Film ini bercerita tentang Ajo Kawir (Marthino Lio), seorang jagoan yang tidak takut mati. Kesukaannya untuk bertarung sebetulnya didorong oleh sebuah rahasia besar dalam hidupnya: Ia impoten. Suatu hari, Ajo Kawir bertemu dengan Iteung (Lady Cherryl), seorang petarung perempuan yang membuatnya babak belur, dan setelahnya Ajo Kawir malah jatuh hati pada perempuan itu.
Terdengar seperti cerita romcom, namun sebetulnya karya Eka Kurniawan ini memiliki ciri khas yaitu mengangkat isu-isu sosial yang terkadang tabu dibicarakan oleh masyarakat. Selain itu, karyanya juga sarat penggunaan kata-kata lugas, yang mungkin menurut beberapa orang termasuk vulgar.
Baca juga: Rayya Makarim dan Tema Kekerasan Seksual dalam Film Indonesia
Selain novel Eka Kurniawan, ada cerita-cerita novel Indonesia lain yang diangkat ke layar lebar dan mengangkat isu-isu sosial yang jarang dibicarakan. Beberapa contohnya seperti tragedi 65, tragedi 98, kekerasan terhadap anak, dan isu-isu perempuan.
Berikut ini beberapa rekomendasi film pilihan saya yang diadaptasi dari karya-karya penulis Indonesia.
Aruna dan Lidahnya (2018)
Aruna dan Lidahnya juga merupakan film karya sutradara Edwin yang diproduksi oleh studio Palari Film. Film ini berkisah tentang Aruna (Dian Sastrowardoyo), seorang ahli wabah yang ditugaskan oleh kantornya untuk menyelidiki kasus flu burung di beberapa daerah di Indonesia. Perempuan itu pun mengunjungi daerah-daerah tersebut bersama dengan temannya, Bono (Nicholas Saputra), seorang koki profesional yang ingin mencari resep-resep masakan Indonesia nan otentik bersama dengan Nadezhda (Hannah Al rashid), seorang kritikus kuliner yang berniat untuk menulis sebuah buku.
Mereka mengunjungi beberapa tempat seperti Surabaya, Singkawang, Pontianak dan Pamekasan. Dalam perjalanan ketiga sahabat itu, Aruna juga bertemu dengan Farish (Oka Antara), mantan kolega Aruna, yang juga tengah menyelidiki kasus yang sama. Tidak seperti film romantis pada umumnya, film yang diadaptasi dari novel berjudul sama karya penulis Laksmi Pamuntjak ini memiliki karakter-karakter perempuan yang unik serta memberdayakan. Hal ini bisa kamu lihat pada karakter Nad yang independen, tahu apa yang ia mau, serta bodo amat dengan apa kata orang.
Baca juga: Film ‘27 Steps of May’ Ingin Bantu Penyintas Kembali Melangkah
Walaupun digambarkan secara implisit, beberapa adegan juga memperlihatkan permasalahan-permasalahan yang dihadapi perempuan single usia 30-an, yang sering kali diomongi orang-orang sekitar karena belum berkeluarga.
Laut Bercerita (2017)
Film pendek karya sutradara Pritagita Arianegara ini diadaptasi dari novel berjudul sama karya penulis Leila S. Chudori. Seperti novel-novel sebelumnya, cerita yang diangkat oleh Leila Chudori sering kali mengangkat tema-tema yang tak ingin dibicarakan oleh banyak orang, salah satunya terkait dengan peristiwa tragedi 98.
Film ini menyuguhkan kisah seorang laki-laki bernama Biru Laut (Reza Rahadian), seorang aktivis kampus yang sangat vokal mengkritik rezim orde baru. Akibat aktivismenya, bersama dengan ketiga temannya Alex Perazon (Tanta Ginting), Naratama (Ade Firman Hakim) serta Sunu Dyantoro (Haydar Saliszh), mereka ditangkap dan dikurung dalam sebuah sel terpisah. Ketika Biru Laut menghilang tanpa kabar, keluarga serta pacarnya, Ratih Anjani (Dian Sastrowardoyo) mencari keberadaan Biru Laut ke mana-mana, namun hasilnya nihil.
Walaupun dikemas dalam sebuah film pendek, Pritagita berhasil memotret bagaimana rasa kedukaan, marah, dan ketidakpastian yang dialami oleh keluarga korban penghilangan paksa tragedi 1998.
Dari film pendek ini, kita juga bisa melihat bagaimana keluarga korban tragedi pelanggaran HAM Indonesia tetap berjuang merawat ingatan mereka dalam aksi Kamisan yang sudah berjalan selama hampir 15 tahun.
Supernova: Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh (2014)
Film yang disutradarai oleh Rizal Mantovani ini diangkat dari novel karya penulis Dee Lestari. Film ini dibuka dengan adegan pertemuan Reuben (Arifin Putra) dengan Dimas (Hamish Daud) di Washington D.C. Dari pertemuan itu, Reuben mengatakan bahwa 10 tahun lagi ia ingin sekali membuat sebuah novel roman saintifik yang berbeda dari novel lainnya.
Baca juga: ‘Pengabdi Setan’: Simbol Kekerasan terhadap Perempuan
Setelah itu, keduanya memutuskan untuk menjalin hubungan romantis. Pada hari jadi mereka yang kesepuluh, sesuai dengan janji Reuben, keduanya pun mulai membangun semesta cerita mereka, suatu cerita tentang ksatria, putri dan sebuah bintang Jatuh.
Ksatria tersebut bernama Ferre (Herjunot Ali) seorang pengusaha muda sukses namun masih jomblo, yang bertemu dengan Rana (Raline Shah), seorang reporter brilian yang sudah menikah dengan Arwin (Fedi Nuril). Film ini memang memotret banyak isu sosial, salah satu yang terlihat adalah bagaimana orang-orang yang memilih untuk menikah muda, namun ternyata pernikahan tersebut tak membawa kebahagiaan yang dicari oleh Rana.
Ronggeng Dukuh Paruk (2011)
film indonesia yang diadaptasi dari novel karya Ahmad Tohari, Ronggeng Dukuh Paruk bercerita tentang Srintil, seorang penari Ronggeng terkenal di Dukuh Paruk. Berlatar waktu era 1960-an saat kondisi politik Indonesia tengah memanas, Ronggeng Dukuh Paruk menggambarkan suasana mencekam dan pembantaian semena-mena oleh aparat terhadap masyarakat yang diduga ikut dalam Partai Komunis Indonesia, termasuk warga Dukuh Paruk yang sebetulnya buta terhadap kondisi politik Indonesia saat itu.
Tokoh Srintil juga menjadi salah satu korban dari penangkapan paksa aparat hanya karena ia sering diundang dalam pesta yang diadakan oleh partai tersebut. Selain mengangkat tragedi 65, film karya sutradara Ifa Isfansyah ini juga memotret bagaimana tarian Ronggeng yang sebetulnya memiliki banyak makna yang mendalam sering disalahartikan sebagai tarian erotis dan vulgar.
Pintu Terlarang (2009)
Film indonesia dari novel karya sutradara Joko Anwar ini merupakan film yang diadaptasi dari novel berjudul sama karya Sekar Ayu Asmara. Film dengan genre thriller ini tak hanya menegangkan dan bikin bergidik, namun juga sarat akan berbagai pesan sosial, di antaranya terkait isu penyiksaan anak dan aborsi. Di Indonesia sendiri, aborsi adalah tindakan yang ilegal bagi mereka yang tidak punya kondisi medis dan bukan korban pemerkosaan. Oleh sebabnya, banyak klinik yang dijalankan secara ilegal dan sebetulnya berbahaya bagi perempuan.
Baca juga: ‘Ratu Ilmu Hitam’: Santet Jadi Keadilan Terakhir Bagi Korban Kekerasan Seksual
Tokoh utama yang dalam film ini adalah pematung terkenal bernama Gambir (Fahri Albar), yang tengah berada di puncak kesuksesan. Ia memiliki keluarga yang harmonis serta teman-teman yang mendukung. Namun di balik semua itu, sebenarnya ada fakta mengerikan dari hidup Gambir.
Suatu hari, hidup Gambir berubah ketika ia menemukan sebuah pintu di balik studionya, dan Talyda (Marsha Timothy), istrinya, melarangnya untuk membuka pintu tersebut. Sang istri mengatakan jika Gambir membuka pintu tersebut, Gambir akan menyesali perbuatannya dan hal itu akan menghancurkan kehidupan rumah tangga mereka.