Culture Screen Raves

4 Rekomendasi Film Horor tentang ‘Hagsploitation’

Film-film berikut memotret perempuan lanjut usia sebagai sosok menyeramkan. Alih-alih memberdayakan, ‘hagsploitation’ justru membentuk stereotip terhadap tubuh perempuan yang menua.

Avatar
  • January 4, 2023
  • 9 min read
  • 1977 Views
4 Rekomendasi Film Horor tentang ‘Hagsploitation’

Tumbuh di tahun 2000-an membuat saya akrab dengan karakter Mak Lampir (Farida Pasha), dalam sinetron bergenre horor, Misteri Gunung Merapi (1998-2005). Ia ingin melawan Kyai Ageng Prayogo, yang mengurungnya di dalam peti mati.

Namun, bukan plotnya yang melekat dalam memori saya, melainkan penampilan Mak Lampir.  Pakaian serba hitam, rambut gimbal berwarna putih, area gelap di sekitar mata dan bibirnya yang hitam, serta membawa tongkat berisikan ilmu hitam ke mana pun ia pergi. Mak Lampir juga punya kemampuan menghilang layaknya siluman, dan hidup kembali sekalipun sudah mati.

 

 

Sejak menyaksikan sinetron tersebut di layar kaca, Mak Lampir membentuk citra di kepala saya. Bahwa perempuan lanjut usia (lansia) adalah sosok menyeramkan dan membahayakan.

Baca Juga: Film Horor Simbol Ketakutan Atas Kekuatan Perempuan

Dalam budaya populer, obsesi terhadap karakter perempuan yang berpenampilan mengerikan–seperti Mak Lampir–dikenal sebagai hagsploitation.

Istilah itu sekaligus mendefinisikan, perempuan yang sudah tidak aktif bereproduksi berarti tidak menarik lagi, dan dekat dengan kematian. Bahkan dianggap menakutkan dan menjijikkan dengan tubuh yang tak lagi ideal–payudara kendur dan kulit mengeriput. Di saat bersamaan, hagsploitation memuja kecantikan perempuan muda.

Sebagai subgenre horor, hagsploitation bermula dari kesuksesan film What Ever Happened to Baby Jane? (1962). Disutradarai oleh Robert Aldrich, film itu bercerita tentang mantan artis cilik Jane (Bette Davis) dan Blanche Hudson (Joan Crawford). Terjebak dan menua bersama di sebuah rumah, membuat Jane harus merawat Blanche. Sebab, Blanche lumpuh dan menggantungkan hidupnya pada kursi roda setelah mengalami kecelakaan.

Kecelakaan yang disebabkan Jane itu membuat Blanche ingin membalas dendam. Sementara Jane ingin menyembunyikan saudaranya itu dari publik, dan mengembalikan popularitasnya.

Saat What Ever Happened to Baby Jane? dirilis, seksisme dan ageisme sedang marak di Hollywood. Karenanya, film yang mengadaptasi novel karya Henry Farrell tersebut, dianggap membuka pintu bagi aktor perempuan di atas 45 tahun untuk terus berkarya.

Namun, Dr Christopher Pullen, akademisi di Bournemouth University, memandang lain. Kepada BBC, Pullen menjelaskan hagsploitation justru membentuk stereotip terhadap tubuh perempuan yang menua–walaupun memberikan peluang besar bagi perempuan untuk menemukan peran baru.

Hagsploitation sekaligus menguatkan pandangan, perempuan lansia tidak lagi berharga dan berdaya. Pasalnya, mereka dinilai sudah tidak cantik dan subur, berlawanan dengan citra perempuan ideal yang dibangun atas konstruksi masyarakat. Akibatnya, perempuan melihat penuaan sebagai fase hidup yang menyeramkan.

Seperti karakter Julie (Renate Reinsve) dalam The Worst Person in the World (2021). Di sebuah adegan, Julie mencengkeram payudaranya yang mengendur. Ia mengkhawatirkan penampilannya, ditambah tekanan dari orang-orang di sekitarnya–perihal karier dan kesiapan memiliki anak.

Sebagai perempuan di ambang usia 30 tahun, Julie membayangkan tubuhnya yang telanjang saat tua nanti. Ia beranggapan, tubuhnya akan tampak menyeramkan ketika usianya semakin senja.

Selain mencerminkan realitas, penuaan yang mengerikan itu juga buah dari sinema, yang masih mencitrakan perempuan lansia lewat monster, hantu, maupun karakter dengan gangguan jiwa.  Untuk melihat representasi hagsploitation lainnya dalam layar lebar, berikut Magdalene merangkumkan empat film yang bisa kamu saksikan.

Baca Juga: Film Horor Feminis ‘RONG’ Ingin Hantu Perempuan Menang

1. Hush… Hush, Sweet Charlotte (1964)

Film yang juga digarap Robert Aldrich ini mengikuti kesuksesan What Ever Happened to Baby Jane? (1962). Bercerita tentang Charlotte Hollis (Bette Davis), yang berencana kabur bersama pasangannya dari pesta pernikahan mereka.  

Dikarenakan suatu hal, suami Hollis meninggal dengan kepalanya yang terpenggal. Sementara Hollis kembali ke rumah, dengan gaunnya berlumuran darah. Sejak kejadian itu, Hollis tidak lagi menikah. Kematian suaminya pun menjadi misteri yang tidak terselesaikan.

Puluhan tahun kemudian, Hollis menua dan dirawat oleh Velma Cruther (Agnes Moorehead). Ia pun mewarisi kekayaan ayahnya. Suatu ketika, kondisi mental Hollis tidak stabil, dan mulai melihat kepala suaminya yang terpenggal. Kondisi Hollis semakin memburuk ketika seorang dokter bersama sepupunya, Miriam (Olivia de Havilland), dari New York City datang berkunjung.

Miriam membius Hollis, membuatnya berhalusinasi suaminya telah kembali. Hollis kemudian membunuh Miriam dan dokter tersebut, setelah mendengar rencana mereka untuk memasukkannya ke rumah sakit jiwa.

Lewat karakter Hollis, hagsploitation ditampilkan dengan menggambarkan perempuan lansia, yang mengalami gangguan jiwa. Ia sekaligus dipotret sebagai perilaku pembunuhan, untuk membalas dendam atas kejahatan yang diterima. 

2. Nenek Gayung (2012)

Duta (Zacky Zimah), patah hati setelah diputuskan pacarnya. Ketika akan mengakhiri hidupnya, ia bertemu dengan Dewi (Nikita Mirzani) yang mencegah niatnya. Duta pun jatuh hati pada Dewi. Yang tidak Duta ketahui, Dewi merupakan jelmaan dari nenek gayung–hantu berwujud nenek-nenek yang membawa gayung dan tikar pandan.

Nenek gayung membawa kedua alat tersebut, karena ia  kerap meminta dimandikan, oleh orang-orang yang ditemui di jalan. Pasalnya, semasa hidupnya, nenek gayung adalah pemandi jenazah. Namun, ketika meninggal, tak ada orang yang memandikan jenazahnya.

Film yang disutradarai Nuri Dahlia itu sarat menampilkan hagsploitation dalam sejumlah adegan. Misalnya dari cara memotret karakter nenek gayung dan Dewi. Sebagai perempuan muda dan berpenampilan menarik, hampir setiap karakter laki-laki dalam Nenek Gayung mudah terpikat pada Dewi. Mereka terpana dengan kecantikan Dewi, dan rela melakukan permintaannya. Termasuk dimandikan, ataupun memandikan Dewi.

Namun, ketika Dewi menampilkan rupa aslinya, yakni nenek gayung, karakter laki-laki berusaha menjauhinya. Sebab, nenek gayung bukan hanya dianggap menyeramkan, melainkan juga mengancam nyawa mereka yang berperilaku jahat padanya.

Salah satunya di awal film, ketika Melky Bajaj berpapasan dengan nenek gayung dalam perjalanannya ke rumah. Sang nenek meminta tolong diantarkan ke kali dan dimandikan, tapi Melky menolaknya.

“Saya masih muda, nenek udah tua. Aduh, masa mandiin sprei lecek sih?” kata Melky. Ia mengibaratkan kulit nenek gayung yang keriput, seperti sprei berkerut yang perlu disetrika. Akibat perilaku kasar itu, tujuh hari kemudian Melky meninggal.

Ada juga adegan ketika Abas (Joe Richard), terkagum dengan kecantikan Dewi saat perempuan itu menyambangi ke kedai burgernya. Namun, Boim (Yadi Sembako), teman Abas, justru melihat Dewi dalam wujud sebenarnya, yaitu nenek gayung.

Boim yang melihat nenek gayung, melihat sosok tersebut membawa gayung dan tikar pandan. Sementara Abas menyanggahnya. Menurut Abas, Dewi membawa “aset natural”, yang merujuk pada payudaranya.

“Gendolan apa? Kalau ente nggak percaya, cium aja. Paling pas dicium, kulitnya ngikut,” jawab Boim.

Dialog itu mencerminkan hagsploitation. Kulit perempuan yang tak lagi kencang, digambarkan seperti sesuatu yang menakutkan. Kondisi fisik itu berhasil membuat Abas dan Boim enggan mendekat. Bahkan, setelah menyadari ada sosok nenek-nenek di balik kecantikan Dewi, mereka meminta Duta, temannya, menjauhi Dewi yang sedang dekat dengan Duta.

3. X (2022)

Berlatarkan tahun 1979–ketika pornografi memasuki kejayaannya, X menceritakan aktor dan sutradara yang membuat film dewasa di Texas, Amerika Serikat. Mereka menyewa guesthouse milik sepasang suami istri lansia, Howard (Stephen Ure) dan Pearl (Mia Goth), sebagai lokasi syuting.

Sejak awal, Howard tampak keberatan dengan kehadiran para pembuat film di guesthouse-nya. Sementara Pearl diam-diam mengikuti Maxine–salah satu bintang film dewasa yang juga diperankan Mia Goth. Ia cemburu dengan jiwa muda Maxine, mengingatkan Pearl dengan dirinya sewaktu muda. Selain itu, Pearl juga menunjukkan ketertarikan seksual terhadap Maxine.

Aktivitas syuting itu membangkitkan hasrat seksual dalam diri Pearl. Terlebih ketika ia menyaksikan Maxine beradegan dengan Jackson (Kid Cudi). Pearl pun meminta Howard untuk berhubungan seks. Namun, Howard menolak karena kondisi jantungnya yang lemah. 

Akibat hasratnya belum terpenuhi, Pearl menggoda RJ (Owen Campbell). Aksi tersebut kemudian berujung pada killing spree, sejak RJ menolak rayuan Pearl.

Disutradarai Ti West, X ingin menyampaikan sex positivity. Yakni gagasan setiap orang berhak memiliki ruang untuk mengeksplorasi serta mengekspresikan gender dan seksualitasnya, tanpa merasa malu maupun dihakimi. Sayangnya, kebebasan itu dibatasi usia.

Secara eksplisit, hal itu disampaikan Bobby-Lynne (Brittany Show) lewat dialognya. “Suatu hari, kita akan terlalu tua untuk berhubungan seks,” tuturnya.

Kalimat tersebut seolah membatasi Pearl lantaran usianya tak lagi muda. Sebagai perempuan paruh baya, karakternya dipotret semakin menyeramkan dengan hasrat seksual yang terpendam. Belum lagi penampilan fisiknya–mengenakan gaun putih panjang, bertubuh kurus, rambut putihnya yang rontok, dan berkulit keriput.

Sisi menakutkan itu tak luput dari aksinya sebagai antagonis, menghabiskan nyawa seluruh karakter muda akibat kecemburuannya. Pearl tidak lagi sebebas mereka, yang dengan mudah menyalurkan hasrat seksual. Ia seperti terjebak dalam tubuh yang renta, dengan libido yang masih bergelora.

Bahkan, sebuah adegan memperkuat anggapan, tubuh perempuan lansia itu menjijikkan. Yaitu ketika Pearl berbaring di sebelah Maxine, dan membelainya yang sedang tertidur. Adegan tersebut seperti membandingkan tubuh Maxine yang masih kencang, dengan tubuh Pearl yang kulitnya sudah mengendur.

Baca Juga: 5 Film Horor Indonesia Terbaik Yang Bikin Merinding

4. Barbarian (2022)

Saat mendatangi Airbnb yang disewa, Tess Marshall (Georgina Campbell) menemukan rumah tersebut sudah ditempati Keith Toshko (Bill Skarsgård). Marshall memutuskan menghabiskan satu malam di rumah itu. Namun, sebelum sempat meninggalkan tempat, ia menemukan kejanggalan di ruang bawah tanah.

Mengikuti rasa penasarannya, Marshall menemukan sosok perempuan tua–The Mother (Matthew Patrick) di ruang bawah tanah. The Mother tampaknya telah menetap di sana untuk waktu yang cukup lama. Hal itu terlihat dari sejumlah barang miliknya yang terletak di basement, seperti televisi dan tumpukan pakaian.

Mengikuti nalurinya sebagai ibu, karakter The Mother dipotret senang merawat anak. Ciri ini direpresentasikan lewat tayangan di VHS tape yang disaksikan, menampilkan ibu sedang mengasuh anak.

Di samping itu, The Mother juga “merawat” para korban–penyewa Airbnb–yang dikurungnya, dengan memberikan susu di dalam dot layaknya bayi. Ia memanggil Marshall “my baby”, dan membelainya penuh cinta.

Meskipun demikian, penampilan The Mother jauh dari gambaran ibu yang mengasihi. Ia hadir dalam wujud perempuan tua. Tubuhnya tinggi besar, dengan rambut panjang yang menipis. Sementara jemari dan kukunya begitu panjang, serta gigi yang tak lagi lengkap membuat The Mother lebih mengerikan.

Zach Cregger, sang sutradara, tak hanya menampilkan hagsploitation lewat rupa The Mother, tetapi adegan demi adegan.

Salah satunya ketika AJ Gilbride (Justin Long), aktor yang diduga pelaku pemerkosaan, membuat The Mother murka akibat tidak mau minum susu dari dot. Alhasil, The Mother membawa Gilbride ke kamarnya. Ia menidurkan Gilbride di pangkuannya, kemudian memaksa Gilbride menyusu dari putingnya.
Mungkin Cregger memperlihatkan adegan tersebut sebagai hukuman untuk Gilbride atas perbuatannya. Namun, sama seperti X, ketakutan Gilbride terhadap The Mother, justru memperkuat citra perempuan paruh baya. Bahwa mereka menyeramkan, tak lagi menarik, dan menjijikkan. Sehingga laki-laki lebih takut berhadapan dengan perempuan yang lebih tua sebagai konsekuensi perbuatannya, dibandingkan kesadaran untuk tidak melakukan melakukan kekerasan.



#waveforequality


Avatar
About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *