Lifestyle

Sejarah ‘Casual Friday’ dan Alasan PNS Pakai Baju Bebas Tiap Jumat

Banyak kantor pemerintahan yang meminta karyawannya berpakaian “bebas” tiap Jumat. Dari mana ide ini berasal? Dan apa tujuannya?

Avatar
  • March 18, 2022
  • 5 min read
  • 2161 Views
Sejarah ‘Casual Friday’ dan Alasan PNS Pakai Baju Bebas Tiap Jumat

Aparatur Sipil Negara atau ASN identik dengan seragam coklat dan batik biru mereka. Namun, peraturan memakai seragam ketika bekerja ini berusaha diubah Bupati Trenggalek Moch Nur Arifin.

Dalam peluncuran Pakaian Dinas Harian (PDH) di Kabupaten Trenggalek 14 Februari lalu, Arifin menerapkan kebijakan baru. Ia mewajibkan jajarannya mengenakan pakaian kasual di hari Jumat.

 

 

Kebijakan ini sebenarnya bukan hal yang baru. Di dunia, tren memakai baju kasual di hari Jumat dikenal dengan istilah Casual Friday. Ia bahkan jadi tren yang lumayan popular, sampai-sampai banyak orang yang memberikan tips padu-padan pakaian yang cocok untuk tema Casual Friday, sebuah kata kunci yang hasil pencarian lebih dari 4,6 juta di Google.

Salah satu orang yang selama bekerja mengikuti tren ini adalah Papaku. Sebagai karyawan yang sempat bekerja di salah satu perusahaan swasta yang menerapkan Casual Friday, aku sudah tidak heran selama bertahun-tahun melihat Papa sibuk mix and match pakaian kasualnya tiap Jumat. Ia punya banyak referensi dan tidak pernah ketinggalan jaman. Dia bahkan sampai membeli hoodie dan t-shirt yang senada dengan sneakers-nya.

Kata Papa, bersiap-siap diri di hari Jumat bikin mood-nya lebih baik. Semacam selebrasi kecil-kecilan untuk menyambut akhir pekan.

Tapi sebenarnya sejak kapan sih tren Casual Friday ini ada? Dan kenapa jadi kebijakan banyak perusahaan-perusahaan dunia?

Baca Juga:  Bra Perempuan dari Masa ke Masa: Sebuah Catatan

Berawal Dari Hawaii dan Taktik Jualan Pabrik Garmen

Dilansir dari Today I Found Out dan The Atlantic, fondasi dari tren Casual Friday lahir dari sebuah taktik pemasaran asosiasi garmen Hawaii bernama The Hawaiian Fashion Guild pada 1962. The Hawaiian Fashion Guild awalnya mencoba mencari taktik pemasaran untuk menjual lebih banyak kemeja Aloha. Dalam pencarian taktik pemasarannya, mereka terinspirasi dari kampanye di Honolulu pada 1946 yang berhasil menciptakan “Aloha Week”, sebuah pekan budaya Hawaii.

Perayaan ini tidak hanya membantu membentuk rasa identitas nasional bagi orang Hawaii pasca- perang, tetapi juga membantu memulai industri garmen Hawaii yang sedang berkembang. Bahkan pada awal 1990-an, karena minat yang kuat pada acara tersebut, perayaan ini diperpanjang sampai satu bulan penuh dan diberi nama Festival Aloha.

Bill Foster, presiden The Hawaiian Fashion Guild, melihat adanya potensi menggiurkan. Ia kemudian meluncurkan sebuah taktik pemasaran bernama Operation Liberation. Tujuan dari taktik pemasaran ini adalah untuk membujuk para politisi agar mengizinkan pegawai pemerintah mengenakan kemeja Aloha, tidak hanya untuk mengalahkan panas di musim panas, tetapi juga untuk mendukung industri garmen negara.

Dengan kualitas bahan yang baik dan dengan motif warna-warni yang khas, melalui Operation Liberation, Foster mendistribusikan masing-masing dua kemeja Aloha kepada setiap anggota Dewan Perwakilan Hawaii dan Senat Hawaii.

Taktik pemasaran Foster ternyata berhasil. 

Dilansir dari Henry Davidsen, pemerintah Hawaii pun segera mengeluarkan dekrit. Dekrit ini merekomendasikan penduduk laki-laki untuk kembali memakai ‘pakaian aloha’ selama bulan-bulan musim panas dan mulai berlaku pada Hari Lei (1 Mei), bertepatan pada perayaan budaya warga Hawaii.

Tiga tahun kemudian, Foster, secara resmi memulai kampanye lobi untuk meyakinkan para pengusaha agar mengadopsi Aloha Friday. Dia menjualnya sebagai cara untuk mengizinkan karyawan berpakaian lebih santai pada hari terakhir minggu kerja selama beberapa bulan dalam setahun.  Konsep ini secara resmi diadopsi pada tahun 1966 dan disambut dengan lebih sukses lewat Aloha Friday yang jadi acara mingguan di Hawaii.

Baca Juga: Sejarah Rok: Dari Simbol Kejantanan sampai Alat Konstruksi Gender

Tren Casual Friday di Perusahaan-Perusahaan Swasta

Tren Casual Friday di perusahaan-perusahaan swasta mulai populer di dunia bisnis berkat dua perusahaan besar di Amerika Serikat. Dalam buku Bill & Dave: How Hewlett and Packard Built the World’s Greatest Company (2007), Hewlett-Packard (HP) Company memiliki “ritual” unik dalam perusahaan mereka.

Sebelumnya HP memiliki ritual pesta bir tiap Jumat sore, sebuah ritual selebrasi mingguan HP untuk menghargai setiap kontribusi yang dilakukan karyawannya.  Ritual ini berkembang dan memunculkan gagasan yang mengizinkan karyawan mereka memakai pakaian kasual tiap Jumat. Dengan harapan menambah produktivitas kerja mereka dengan suasana lebih santai minim tekanan.

Praktik ini pun dengan cepat menjadi praktik standar di perusahaan. Namun, Casual Friday mulai mendapatkan momentumnya dalam dunia bisnis ketika Levi Strauss & Co. atau biasa kita kenal dengan Levi’s melancarkan strategi pemasaran mereka. Dilansir dari Business Insider, pada 1992 Levi’s memulai kampanye pemasaran gerilya untuk mencoba mendefinisikan gagasan “Business Casual” sesuai keinginan mereka.

Baca Juga:  Sejarah Celana: Simbol Penting Gerakan Perlawanan Perempuan

Dorongan kampanye ini lahir karena Rick Miller, Public Relation (PR) Levi’s, menemukan masalah yang timbul dari tren Casual Friday yang diadopsi Silicon Valley. Ia melihat orang-orang kebingungan saat ingin mengganti pakaian bisnis mereka yang resmi dengan pilihan yang lebih kasual. Pakaian Hawaii dan sendal terlalu santai digunakan untuk bekerja.

Levi’s lalu membuat brosur “A Guide to Casual Business Wear” dan mengirimkannya ke sekitar 25.000 bisnis di seluruh Amerika Serikat. Brosur ini dalam prosesnya tidak hanya membantu perusahaan yang mencoba mencari cara untuk mendefinisikan pakaian kasual yang dapat diterima di tempat kerja, tetapi juga iklan terselubung untuk celana Levi’s Dockers-khaki yang sebelumnya hanya digunakan di lapangan golf.

Kampanye pemasaran gerilya ini sukses besar. Banyak pelaku bisnis akhirnya menggunakan elemen dari panduan ini sebagai pedoman dalam menetapkan kebijakan berpakaian Casual Friday di perusahaan mereka masing-masing.

Dalam setahun, ide Casual Friday pun menyebar ke seluruh dunia bisnis. Trennya lalu diadopsi kantor-kantor pemerintahan dengan asumsi akan membuat karyawan mereka lebih produktif dan santai tiap Jumat datang.

Pertanyaannya, apakah asumsi itu masih relevan sampai hari ini?



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *