Kehilangan Orang Tua karena COVID-19, Bagaimana Anak-Anak Bertahan?
Anak-anak yang hidup sebatang kara usai orang tuanya meninggal karena COVID-19, rentan terganggu kesehatan mentalnya dalam jangka panjang.
“Tak ada yang mau menyentuh orang tua kami setelah mereka meninggal,” kata Soni Kumari kepada wartawan BBC, Divya Arya, lewat panggilan video.
“Jadi saya menggali liang makam untuk ibu saya dan menguburnya. Saya melakukan semuanya sendiri,” imbuhnya.
Perempuan 18 tahun itu ditinggal mati kedua orang tuanya sekaligus. Sang ayah meninggal lebih dulu karena COVID-19, kemudian disusul ibunya yang tak tertolong usai dilarikan ke rumah sakit karena penyakit serupa. Yang lebih pahit, ia terpaksa memakamkan jasad ibunya di kuburan Negara Bagian Bihar, India sendiri sembari mengenakan alat pelindung diri (APD).
“Dunia kami runtuh dan kami ditinggalkan begitu saja. Dulu orang tua saya membantu begitu banyak orang, namun saat kami memerlukan bantuan, tiada yang peduli,” ujarnya.
Jumlah kematian akibat COVID-19 India pernah jadi yang tertinggi di dunia beberapa pekan lalu sampai akhirnya disalip Indonesia. Soni dalam hal ini, bukan satu-satunya anak yang akhirnya hidup sebatang kara, ditinggalkan bersama dua adiknya yang masih kecil. Ada 577 kasus anak yatim piatu di negara itu hingga Mei lalu. Risikonya berlapis, selain rentan mengalami trauma, kesehatan fisik dan kesejahteraan mereka pun jadi taruhan. Dalam kasus Soni, dunianya runtuh dan ia terpaksa puasa berhari-hari karena tak ada makanan sama sekali, pun bantuan dari negara. Mereka bertiga dikucilkan. Para tetangga baru berani mendekat setelah mereka negatif COVID-19.
Baca juga: Dilema Mama Rawat Keluarga Positif COVID-19
Celakanya, apa yang menimpa Soni juga terjadi di Indonesia. Beberapa waktu lalu, Alviano Dava Raharjo alias Vino (10) berduka sendirian setelah bapak-ibunya, Kino Raharjo (30) dan Lina Safitri (31), warga kampung Linggang, Desa Purworejo, RT 04, Kecamatan Tering, Kutai Barat, Kaltim meninggal dunia. Alviano lantas hidup dengan mengandalkan sumbangan makanan dan minuman dari tetangga yang menaruh perhatian.
Setelah kisahnya viral, sejumlah pihak menawarkan untuk mengadopsinya, termasuk mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti. Hingga artikel ini diturunkan, belum ada putusan nasib Vino akan dirawat siapa, tapi kakek neneknya di Sragen menyanggupi untuk menjaga ia.
Selain Vino, ada Aisyah Aslisa (10), warga Benda, Tangerang Selatan. Siswa kelas 4 Sekolah Dasar (SD) itu ditinggal mati ibunya yang juga merupakan orang tua tunggal. Aisyah untuk sementara dirawat di rumah Kepala Dinas Sosial Tangsel Wahyunoto Lukman, sekaligus akan dibiayai sekolah dan kesehariannya. Penawaran untuk adopsi akan dibuka ketika anak ini sudah cukup pulih dari traumanya.
Kisah Vino dan Aisyah cuma segelintir dari fenomena yatim piatu massal selama pandemi Indonesia. Bahkan di level global sekalipun, data yang dirilis oleh sejumlah lembaga soal anak yatim piatu juga tak cukup representatif memotret angka sebenarnya. Jurnal kedokteran dari Inggris The Lancet (2021) mencatat, lebih dari satu juta anak di seluruh dunia telah kehilangan orang tua karena COVID-19, dan total 1,5 juta telah kehilangan salah satu orang tua, kakek-nenek yang membantu merawat mereka, atau kerabat lain yang bertanggung jawab atas perawatan mereka.
Baca juga: Pandemi, Kesehatan Mental, dan Papa yang Memilih Pergi
Riset The Lancet yang melibatkan peneliti dari CDC, USAID, Bank Dunia, University College London ini menghitung kematian di 21 negara yang menyumbang lebih dari 76% dari semua kasus COVID-19. “Secara global, dari 1 Maret 2020 hingga 30 April 2021, kami memperkirakan 1.134.000 anak ditinggal mati pengasuh utama, termasuk setidaknya satu orang tua atau kakek-nenek,” tulis mereka.
Efek Domino untuk Anak
Anak-anak yang kehilangan orang tua karena COVID-19 tak hanya mengalami trauma panjang jika tak dibantu profesional, tapi juga rentan menderita penyakit, gangguan kesehatan mental, kekerasan seksual, dan hidup miskin. Celakanya, kata peneliti, konsekuensi dari semua kesulitan itu berlangsung seumur hidup. Tak heran jika kemudian pengalaman buruk ini mampu meningkatkan risiko bunuh diri, kehamilan remaja, penyakit menular termasuk HIV/AIDS, dan lainnya.
Rentetan efek domino ini membuat anak-anak yang ditinggal mati orang tua seyogyanya diawasi oleh tenaga profesional. Jangankan anak-anak, orang tua pun butuh cara yang sehat untuk memproses kehilangan. Sementara pada anak, proses ini relatif lebih baik jika dibantu oleh orang lain yang paham soal kesehatan mental.
Baca juga: Putus Sekolah karena COVID-19, Anak Perempuan Ambil Peran Orang Tua
Psikolog Anastacia Satriyo mengatakan pada Magdalene, (22/7), dari pengalamannya mendampingi kasus trauma perpisahan orang tua-anak, ia mengajak anak untuk menggambar, mewarnai, atau membuat play dough yang punya tekstur lembut agar anak punya medium untuk melepas emosi negatifnya dengan sehat.
“Bedanya anak-anak dengan dewasa adalah ada keterlambatan untuk memproses emosi, termasuk yang lahir dari kehilangan. Serapuh-rapuhnya orang dewasa memahami kesedihan, (duka) itu terasa lebih berat di anak. Itulah kenapa kasus bunuh diri umumnya terjadi di umur 15 -24 tahun padahal yang memliki masalah hidup paling berat adalah orang dewasa usia 40-50 tahun. Sekali lagi ini bukan masalah keimanan atau spiritualitas, ini karena alasan medis, struktur otaknya masih dalam perkembangan,” urainya.
Yang tak kalah penting diperhatikan, imbuh Anas, orang tua sudah harus menyiapkan skenario jika hal buruk menimpa mereka.
“Di Amerika, para orang tua biasanya sudah menyiapkan, jika mereka meninggal, hak asuh anak akan dipecayakan pada siapa. Sementara di Indonesia, orang-orang lebih percaya pada pamali jika merencakan skenario buruk macam ini. Padahal, perencanaan ini penting demi meminimalisasi risiko buruk yang kelak bisa jadi menimpa anak saat hidup sendirian,” ungkapnya.
Terkait siapa yang bisa membantu mengurus anak setelah orang tua meninggal, Anas menyarankan agar memprioritaskan pada orang terdekat lebih dulu. Selain lebih terhubung secara emosional, pengasuhan pada keluarga konon bisa membantu anak pulih dengan cepat. Namun, konseling tetap ia sarankan agar anak-anak bisa mengatasi traumanya.
Terakhir yang tak kalah penting adalah negara harus hadir untuk memelihara anak-anak sebatang kara seperti ini. Komisioner Komisi Perlidungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti menuturkan pada Beritasatu, “KPAI mendorong adanya penelusuran dan pemilahan data oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Dari 76.200 orang pasien COVID-19 yang meninggal (data per 20 Juli 2021), berapa orang usia produktif, berapa yang menjadi tulang punggung keluarga, berapa jumlah anak yang dimiliki, dan berapa usianya,” ujar Retno.
Data itu mesti disusun lengkap, termasuk domisili anak-anak agar bisa lebih cepat ditangani oleh pemerintah daerah, tanpa harus diviralkan lebih dulu. Dalam hal ini, lanjutnya, pemerintah perlu memastikan anak-anak terpenuhi keberlangsungan ha katas pendidikan, kesehatan, keamanan, dan lainnya. Pemerintah juga bisa andil untuk menciptakan dan atau mendorong kampanye di media sosial agar anak-anak rentan seperti ini bisa terhindar dari banyak kasus kekerasan dan perdagangan manusia.