December 5, 2025
Issues Politics & Society

#GenerasiCemaZ: Dituntut Terus Produktif, Hilang Ruang Buku, Pesta, dan Cinta 

Saya ngobrol dengan dua orang mahasiswa tentang sistem pendidikan yang menuntut produktif tanpa jeda. Jalan satunya-satunya mereka: ‘Hustle culture’.

  • August 9, 2025
  • 8 min read
  • 1323 Views
#GenerasiCemaZ: Dituntut Terus Produktif, Hilang Ruang Buku, Pesta, dan Cinta 

Buku, Pesta, Cinta 

Tiga kata itu konon mendefinisikan kehidupan mahasiswa, kata mendiang aktivis Soe Hok Gie. Buku melambangkan pengetahuan, pesta menyimbolkan interaksi sosial, dan cinta menggambarkan aspek emosional seperti hubungan romantis atau persahabatan. 

Simbol tersebut kerap dipakai untuk meromantisasi masa-masa kuliah. Katanya, kuliah adalah masa penuh kebebasan dan paling berwarna dalam hidup anak muda.  

Namun, alih-alih menjalani masa kuliah dengan buku, pesta, dan cinta, banyak dari mahasiswa hari ini justru tenggelam dalam bayang-bayang tekanan CV yang harus paripurna, portofolio yang memukau mata, dan standar kesuksesan yang ditentukan sejak bangku kuliah, membuat mereka mau tak mau selalu produktif tanpa jeda. 

Setidaknya ini yang dirasakan oleh “Frisma”, 19, dan “Nana”, 21, dua perempuan yang sedang menempuh pendidikan di salah satu universitas ternama Jakarta. Saya berbincang dengan keduanya, dan ini kisah mereka. 

Baca juga: #GenerasiCemaZ: ‘Full Time’ Susah Dicari, Magang Dieksploitasi, ini Kisah ‘Fresh Graduate’ di Jakarta (1) 

Frisma, 19, Semester 2 

“Organisasinya dua, kepanitiaannya ada berapa, ya? Empat atau lima. Mungkin lebih dari lima. Aku sendiri sampai bingung ngitungnya,” ucap Frisma sambil menghitung dengan jari. 

Ketika liburan tiba, banyak orang mungkin akan pergi berlibur ke luar kota, berwisata, atau sekadar leha-leha. Namun berbeda dengan Frisma, ia justru memanfaatkan waktu luang untuk mengikuti berbagai kegiatan kampus dan luar kampus. Di libur semester ini, ia tercatat aktif di dua organisasi dan lebih dari lima kepanitiaan. 

Salah satu yang ia ikuti adalah organisasi eksternal kampus yang bergerak di isu anak muda. Di sana, Frisma menjabat sebagai koordinator program bulanan. Tugasnya enggak sedikit, ia bertanggung jawab atas perencanaan hingga pelaporan kegiatan. 

Di organisasi internal kampus, yakni himpunan mahasiswa, Frisma menjabat sebagai wakil kepala divisi humas dan publikasi. Tugas Frisma mengelola media sosial serta menyusun agenda study visit ke organisasi lain. 

Selain berorganisasi, Frisma juga mengikuti sejumlah kepanitiaan. Salah satunya adalah kegiatan pengabdian di lembaga pemasyarakatan (lapas), di mana ia terlibat dalam merancang program belajar bagi warga binaan dan menyiapkan para pengajar yang akan turun ke lapas. 

“Kita datang ke lapas, terus kita ngajar, bantu warga binaan biar punya mindset baru dan bisa bangun kehidupan baru pas keluar nanti,” jelasnya. 

Selain itu, Frisma juga menjadi bagian dari kegiatan amal yang diadakan oleh fakultas. Peran sebagai sekretaris membuat Frisma harus mengelola berbagai keperluan administratif, mulai dari pencatatan rapat sampai mengurus proposal dan laporan pertanggungjawaban acara. 

Tak berhenti di situ, Frisma pun turut berpartisipasi dalam kegiatan pengabdian masyarakat yang dilaksanakan di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar). Ia bertugas memastikan semua kebutuhan teknis dan logistik berjalan lancar, mulai dari tahap persiapan hingga pelaksanaan di lapangan. 

Bila ditanya alasan mengikuti begitu banyak kegiatan di libur semester ini, kata Frisma, karena merasa gelisah jika tak produktif. 

“Kalau misalkan aku diem (enggak ikut kegiatan apa-apa), itu aku merasa bersalah sama diri aku. Kayak, kok enggak ngapa-ngapain, ya? There is something wrong with me,” tuturnya. 

Frisma tak bisa menampik kalau banyaknya kegiatan yang ia ikuti didorong oleh fear of missing out (FOMO). Ia khawatir jika tidak memiliki cukup pengalaman sejak dini, maka akan kesulitan mendapatkan magang. 

“Aku pengen banget magang di semester empat atau lima secepat mungkin. Makanya aku mengumpulkan pengalaman lewat kepanitiaan dan organisasi,” ujar Frisma. 

Hasrat untuk terus produktif juga datang dari rasa cemas saat melihat teman-temannya lebih aktif. Frisma mengaku insecure dan tertekan, hingga merasa harus berlomba sejak awal masa kuliah. 

“Jujur, aku merasa berkompetisi. Aku merasa tertekan. ‘Kok, gue enggak bisa ngedapetin itu (banyak pengalaman)?’ Dan itu juga jadi salah satu alasan kenapa aku mencari kegiatan, mencari pencapaian sebanyak-banyaknya, dan secepat mungkin (sejak semester awal),” kata Frisma. 

Dorongan untuk terus produktif akhirnya berujung pada kelelahan mental. Gangguan psikologis Frisma yang sempat mereda kembali kambuh. 

“Aku ke psikiater lagi pas banget semua kegiatan yang aku jalanin ini running secara bersamaan. Gangguan aku kambuh lagi dan aku sampai harus minum obat lagi.” 

Baca juga: Ijazah ‘Wah’, Cari Kerja Susah: Di Balik Maraknya Pengangguran Gen Z 

Nana, 21, Semester 6 

Nana sedang berada di tahun ketiga kuliahnya. Artinya, gelar sarjana sudah ada di depan mata. Namun semakin dekat masa kelulusan, semakin besar pula tekanan yang ia rasakan. 

Akhir-akhir ini Nana kerap dihantui rasa gelisah. Ia takut pengalaman yang ia punya belum cukup menjual untuk dunia kerja. 

“Kalau mereka (mahasiswa lain) punya pengalaman yang lebih banyak dibanding aku, pasti kan mereka yang lebih ngejual dibanding aku,” kisah Nana soal keresahannya. 

Keresahan itu bukan tanpa dasar. Sejak tahun pertama kuliah, Nana memang cukup aktif mengejar pengalaman. Ia sudah menjalani empat magang dan aktif di dua organisasi kampus. 

Magang pertamanya ia jalani saat masih duduk di semester dua. Sebuah perusahaan multinasional menghubungi Nana lewat LinkedIn dan menawarkan posisi sebagai AI Language Developer, mengembangkan bahasa Indonesia dalam sistem kecerdasan buatan. 

Nana mengiyakan ajakan itu. “Hitung-hitung nambah pengalaman,” katanya. 

Meski terdengar selaras dengan jurusan Sastra Indonesia yang ia ambil, Nana menemui banyak tantangan. “Ini kan ranahnya linguistik. Sedangkan aku baru ketemu mata kuliah linguistik itu dua semester. Jadi untuk belajarnya sendiri menurut aku belum banyak,” tutur Nana. 

Tantangan tidak berhenti di situ. Di waktu yang sama, Nana juga sedang mengambil 21 SKS mata kuliah wajib, sementara perusahaan tempat ia magang menaruh ekspektasi kerja delapan jam sehari. “Berat banget di situ sih sebenarnya,” kenang Nana. 

Di luar itu, Nana juga aktif di organisasi kampus. Ia tergabung di badan eksekutif mahasiswa (BEM) dan salah satu unit kegiatan mahasiswa (UKM). Jadwalnya padat, energinya terkuras, tapi Nana tetap merasa belum cukup. Ia kembali magang di semester enam sebagai penulis berita di sebuah media selama dua bulan. 

Setelahnya, Nana mencoba melamar magang lagi ke banyak tempat dengan posisi serupa. Namun, meskipun sudah punya dua pengalaman magang dan beberapa kegiatan organisasi, ia tidak kunjung mendapat panggilan.  

Di momen itu, Nana mulai menyadari pengalamannya selama ini masih belum cukup “menjual” di mata rekruter. Ia mulai mempertanyakan kembali semua pencapaiannya. 

“Aku coba banyak banget apply ke perusahaan, mulai dari yang udah punya nama sampai ke yang baru aku dengar namanya. Tapi untuk dapet panggilan tuh menurut aku susah banget, sih,” ujar Nana. 

Hingga akhirnya dua tempat menerima lamaran magang Nana dalam waktu bersamaan: Satu di lembaga pemerintah sebagai humas, dan satu lagi di startup edukasi sebagai content writer. Alih-alih memilih, Nana mengambil keduanya. Alasannya sederhana: “Biar bisa nambah portofolio dan CV-ku makin punya isi.”  

Nana tahu keputusan itu akan mengorbankan waktu hingga tenaga. Namun di tengah persaingan kerja yang semakin ketat, ia merasa tak punya banyak pilihan. “Aku ngerasa kalau misalnya aku kurang punya portofolio, aku takut nanti enggak bisa perform dan diterima di dunia kerja. Jadi aku memutuskan untuk double magang.” 

Baca juga: Wisuda: Perayaan Jerih Payah yang Dikapitalisasi 

Negara Mendesain Mahasiswa Produktif Tanpa Jeda 

Fenomena mahasiswa yang terus-menerus merasa harus produktif, enggak lepas dari desain pendidikan tinggi kita. Hari ini semua itu semakin mengarahkan mahasiswa untuk menjawab kebutuhan industri. 

Kebijakan seperti Kampus Merdeka–yang kini berganti nama menjadi Diktisaintek Berdampak, diklaim sebagai bentuk peningkatan kualitas lulusan. Namun di baliknya, terdapat dorongan agar mahasiswa secepat mungkin bisa diserap ke dalam pasar kerja. 

Masalahnya, tujuan program itu enggak sejalan dengan kondisi ketenagakerjaan saat ini. Melansir Detik, Kementerian Ketenagakerjaan mengungkap bahwa jumlah pengangguran di Indonesia pada tahun 2025 telah mencapai 7,28 juta orang, 1,01 juta di antaranya merupakan lulusan perguruan tinggi negeri. 

Sementara itu, menukil Good Stats, pada 2024 Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat terdapat 909 ribu pencari kerja yang terdaftar. Namun, lowongan kerja yang tersedia hanya 630 ribu. Hal ini berarti ada sekitar 279 ribu pencari kerja yang belum terserap. 

Meskipun Frisma dan Nana belum lulus kuliah, keduanya tetap merasakan dampak secara enggak langsung. Mereka dituntut selalu produktif untuk memenuhi CV dan portofolio agar kelak punya nilai jual di mata perusahaan. Frisma dan Nana dibentuk dengan logika pasar, mengumpulkan portofolio sebanyak dan sedini mungkin supaya mereka “layak jual” di pasar kerja. 

Situasi ini menunjukkan bagaimana kampus kini beroperasi sebagai sistem kapitalisme. Slaughter dan Leslie (2004) menyebutnya sebagai academic capitalism, yakni ketika institusi pendidikan tinggi tak lagi semata-mata memproduksi ilmu pengetahuan, melainkan mulai berorientasi pada pasar dan profit.  

Dalam rezim ini, kampus mendorong mahasiswa untuk menjadi komoditas yang siap dijual: Semakin banyak pengalaman, sertifikat, dan portofolio yang dikumpulkan, semakin tinggi pula nilai jual mereka di mata industri.  

Dengan demikian, tuntutan untuk terus produktif bukan hanya datang dari dalam diri mahasiswa, tetapi juga merupakan hasil dari desain struktural yang menjadikan pendidikan sebagai mesin reproduksi pasar. 

Jeda Bukan Malas, tapi Cara Bertahan dan Melawan 

Di tengah dorongan untuk terus produktif, banyak mahasiswa akhirnya terperosok dalam jebakan “ambil semua kesempatan”. Frisma mengakui alih-alih merasa berkembang, ia justru kelelahan hingga harus menemui psikiater.  

“Jujur, aku agak nyesel juga. Kayaknya lebih baik jangan buru-buru. Ambis boleh, tapi tetap harus selektif,” ujarnya.  

Dalam pengalamannya, hampir semua tawaran kegiatan Frisma terima tanpa mempertimbangkan dampaknya secara jangka panjang. “Setiap ada orang yang nawarin ke aku, terus aku iyain, ujungnya malah jadi beban buat aku.”  

Frisma menekankan pentingnya mempertimbangkan nilai dari setiap aktivitas yang ingin diikuti, bukan sekadar mengejar banyaknya pengalaman di CV. Dorongan untuk produktif memang ada, tapi mahasiswa juga perlu ruang untuk memilah, menolak, dan beristirahat.  Di tengah berbagai tuntutan dan tekanan, berhenti sejenak bisa jadi bentuk perlawanan kecil yang menyelamatkan. 

Simak series artikel #GenerasiCemaZ lainnya di sini: 

1. #GenerasiCemaZ: ‘Full Time’ Susah Dicari, Magang Dieksploitasi, ini Kisah ‘Fresh Graduate’ di Jakarta (1) 

2. #GenerasiCemaZ: ‘Full Time’ Susah Dicari, Magang Dieksploitasi, ini Kisah ‘Fresh Graduate’ di Jakarta (2)

Ilustrasi oleh Karina Tungari 

    About Author

    Muhammad Rifaldy Zelan

    Muhammad Rifaldy Zelan adalah penyuka makanan pedas tapi gak suka berkeringat. Ia juga suka duduk-duduk di taman dengan pikiran kosong.