June 16, 2025
Issues Politics & Society

Dari Kampus ke Ruang Sidang: Kisah Mahasiswa Gugat Negara lewat JR (2)

Mereka berbagi tips sukses mengajukan JR sekaligus menyentil dukungan dari Fakultas Hukum.

  • May 18, 2025
  • 5 min read
  • 1151 Views
Dari Kampus ke Ruang Sidang: Kisah Mahasiswa Gugat Negara lewat JR (2)

Kunci Dikabulkannya JR 

Berdasarkan pengalamannya, Sandy mengungkap dua hal krusial agar permohonan judicial review di MK berpeluang dikabulkan. Pertama, perkuat legal standing atau kedudukan hukum.  

Dalam buku Konstitusi sebagai Rumah Bangsa, Harjono menjelaskan legal standing adalah keadaan di mana seseorang atau suatu pihak memenuhi syarat dan oleh karena itu mempunyai hak untuk mengajukan permohonan ke MK. 

Kualifikasi seseorang agar memiliki legal standing diatur dalam Pasal 51 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK). Pasal ini menyebut bahwa pemohon harus termasuk dalam salah satu kategori, yakni perorangan warga negara Indonesia, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum publik atau privat, atau lembaga negara. 

Dalam membuat legal standing, Sandy menekankan pentingnya mengidentifikasi dan membuktikan kerugian konstitusional yang diakibatkan oleh berlakunya undang-undang yang diuji. Ia menggarisbawahi bahwa sekadar menyatakan diri sebagai warga negara saja tidak cukup untuk memperoleh legal standing.  

Baca juga: Dear Dosen se-Indonesia, Izinkan Mahasiswamu Turun ke Jalan 

Berdasarkan definisi oleh Indonesian Parliamentary Center, kerugian konstitusional adalah kerugian yang dialami warga negara atau pemohon judicial review ke MK akibat berlakunya suatu undang-undang. Kerugian tersebut dapat bersifat nyata (aktual) maupun potensial. 

Menurut Sandy, MK sering kali menjadikan aspek kerugian konstitusional sebagai aspek pertama yang diuji sebelum mempertimbangkan substansi permohonan. 

Dalam merumuskan kerugian konstitusional, pemohon harus menjelaskan secara konkret bagaimana undang-undang yang diuji merugikan mereka, baik dalam bentuk kerugian aktual maupun kerugian potensial. Kerugian konstitusional yang diajukan dalam judicial review biasanya berakar pada hak yang dijamin di dalam Pasal 27 sampai 28J UUD 1945.  

Sebagai contoh, dalam judicial review terhadap UU TNI, para pemohon adalah pencari kerja yang dianggap memiliki kerugian potensial. Jika UU TNI memungkinkan militer bersaing di sektor pekerjaan yang diisi warga sipil, maka peluang kerja bagi warga sipil dapat tergerus. Hal ini dianggap melanggar Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang menjamin setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. 

“Bagi para pencari kerja, mereka sudah capek-capek cari kerja malah diserobot sama TNI, gitu misalnya. Nah, itu kan juga menjadi kerugian konstitusional, karena kan negara menjamin kita punya pekerjaan yang layak, penghidupan yang layak,” papar Sandy. 

Setelah memastikan legal standing kokoh, langkah kedua adalah memperkuat argumentasi hukum. Sandy berpendapat, riset yang mendalam dan landasan akademik yang kuat menjadi kunci agar permohonan mampu meyakinkan hakim konstitusi. 

“Kuatkan argumentasi hukum, perbanyak riset, jangan hanya berdalih pada argumentasi sendiri, tapi carilah data-data, carilah fakta-fakta, carilah argumentasi-argumentasi secara akademik yang bisa mendukung. Karena MK sekarang semakin bergerak pada jalur-jalur akademis yang lebih konstruktif,” paparnya 

Titi Anggraini menambahkan, argumentasi hukum dapat diperkuat dengan menambahkan studi komparasi dari negara demokrasi lain. Ia menyarankan kepada masyarakat yang ingin mengajukan judicial review untuk mempelajari putusan-putusan sebelumnya dan mengikuti sidang MK melalui layanan streaming yang tersedia. 

Baca juga: Muak dan Marah, Mereka Turun ke Jalan: Esai Foto 

Institusi Pendidikan Sebagai Bagian Gerakan Sipil 

Di tengah gejolak politik dan tingginya gelombang aktivisme hukum oleh mahasiswa, Titi mengingatkan agar institusi pendidikan tidak menjadi menara gading yang menjaga jarak dengan realitas sosial. Ia menekankan pentingnya peran kampus, bukan hanya sebagai institusi pendidikan, tetapi juga sebagai bagian dari gerakan sipil. 

“Makanya seorang dosen di kampus bukan hanya menjadi dosen yang mengajarkan ilmu pengetahuan, tapi lebih dari itu bisa menjadi kawan diskusi dan membangun nalar kritis dari peserta didik,” tuturnya. 

“Ini juga menjadi bagian dari merespons situasi dan fenomena sosial di masyarakat supaya kampus bukan hanya hadir sebagai institusi pendidikan, tetapi juga sebagai bagian dari gerakan masyarakat sipil yang menjaga demokrasi dan negara hukum di Indonesia,” imbuh Titi. 

“Kampus enggak boleh takut pada kekuasaan, justru kampus itu adalah laboratorium berpikir. Makanya di kampus kita enggak boleh juga menghakimi orang yang mendukung pemerintah. Sebaliknya, enggak boleh juga menghakimi orang yang enggak mendukung pemerintah,” ujarnya.

Sayangnya, fenomena pembungkaman terhadap kebebasan akademik masih terjadi. Saat demonstrasi mahasiswa pada Agustus lalu, Kompas melaporkan, mahasiswa yang hendak bergabung dengan Aliansi Lampung Menggugat (ALM) mendapat intimidasi dari pihak kampus. Ancaman beredar di grup WhatsApp mahasiswa pada tanggal 19-20 Agustus 2024, menyebut siapa pun yang nekat mengikuti aksi menolak revisi UU Pilkada akan dikenai Surat Peringatan (SP) dari kampus. 

Kemudian pada Oktober 2024, Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga (BEM FISIP Unair) dibekukan oleh pihak fakultas karena membuat karangan bunga satir untuk Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. 

Di tengah berbagai tekanan itu, pernyataan Titi menjadi pengingat penting: Kebebasan berpikir dan berpendapat adalah bagian dari hak konstitusional warga negara yang harus dijamin oleh institusi pendidikan. 

“(Gerakan mahasiswa) dianggap sebagai hak warga negara yang menjadi bagian dari hak konstitusional mereka. Mestinya, memang gerakan mahasiswa itu ditempatkan seperti itu. Tidak perlu menganggap itu sebagai ancaman,” pesan Titi. 

Senada dengan itu, Sandy menekankan pentingnya kampus sebagai ruang terbuka yang tidak boleh takut dengan kekuasaan. 

Baca juga: Sudah Demo dan Marah di Medsos: Apa yang Bisa Kita Lakukan Selanjutnya? 

“Kampus enggak boleh takut pada kekuasaan, justru kampus itu adalah laboratorium berpikir. Makanya di kampus kita enggak boleh juga menghakimi orang yang mendukung pemerintah. Sebaliknya, enggak boleh juga menghakimi orang yang enggak mendukung pemerintah,” ujarnya. 

Menurutnya, kampus harus menjadi mimbar bebas dan forum akademik yang aman, tempat semua pemikiran bisa hadir tanpa takut dihakimi. Sandy juga menegaskan kebebasan berpendapat adalah hak fundamental yang harus dilindungi.  

“Namanya aja pikiran, pikiran itu tidak boleh dihakimi, kebebasan berpendapat itu tidak boleh dihakimi. Bahkan di Indonesia aja diatur bahwa kalau ada kebebasan berpendapat di kampus tuh enggak boleh ada penangkapan, maksudnya enggak boleh ada suatu tindakan hukum yang bisa menjerat orang-orang pemikir di kampus,” pungkasnya. 

Baca artikel bagian pertama di sini. 



#waveforequality
About Author

Muhammad Rifaldy Zelan