
Belakangan, pola pembelian impulsif–yang cuma mengejar kebahagiaan jangka pendek–kian bergeser. Adagium “You Only Live One” (YOLO) digantikan dengan pola pembelian yang lebih bertanggung jawab lewat “You Only Need One” (YONO).
Melansir South China Morning Post, YONO mulanya berkembang di Korea Selatan. Di sana, Gen Z dan Y mulai meninggalkan gaya hidup hedon, dan beralih pada pola pembelian yang cukup. Misalnya, enggak ada kopi overprice untuk menunjang kerja, tidak pula makan atau nongkrong di luar setiap hari.
Ramainya gaya hidup YONO terlihat dari temuan Bank NH NongHyup Korea Selatan, terkait transaksi makan di luar dan pembelian di department store yang menurun. Sepanjang 2024, ada penurunan sembilan persen untuk transaksi makan di luar, dan tiga persen untuk transaksi di department store. Sementara, transaksi pembelian kopi turun tiga belas persen.
Dilansir dari The Korea Times, YONO didorong oleh beberapa faktor, seperti inflasi dan pertumbuhan pendapatan yang stagnan bahkan rendah. Akibatnya, Gen Z dan Y pun lebih memilih untuk membelanjakan uang mereka pada kebutuhan yang pokok-pokok saja.
Enggak hanya di Korea Selatan, belakangan YONO juga populer di Indonesia. Devi Asmarani, jurnalis yang berdomisili di Jakarta, jadi salah satu orang yang mulai menerapkan YONO sebagai gaya hidup. Devi bilang, perubahan gaya hidup tersebut dimulai sejak melihat konten yang mengajak penonton untuk merefleksikan pola pembelian impulsif. Ia yang hobi koleksi barang-barang dapur pun merasa tergocek. Sebab, koleksi berbagai macam bahan dan peralatan dapur, kerap berakhir tak terpakai.
“Aku pernah melihat satu konten, di mana dia membahas ‘kenapa, sih orang-orang sekarang itu terobsesi dengan organizing, sampai harus membeli barang-barang baru?’ Kayak beli container baru untuk selai yang sebenarnya udah ada wadahnya,” ungkapnya pada Magdalene.
“Pokoknya, resolusi tahun ini adalah harus menghabiskan yang aku miliki di dapurku,” tandasnya.
Baca juga: FOMO, YOLO, dan FOPO dari Influencer yang Memicu Kita Kalap Belanja
Membeli dengan Mindful
Sebelum memulai YONO, Devi mengaku berusaha mengedepankan fungsi, dan merefleksikan kebutuhannya sebelum memutuskan membeli barang baru. Lambat laun, teknik ini ia gunakan sebelum belanja pakaian, alat tulis, dan barang lainnya. Ia selalu perlu berpikir sebelum membeli, agar enggak mengedepankan estetika atau kesenangan sesaat.
“Untungnya, di generasiku, enggak ada tuntutan untuk tampil lebih aesthetic. Makanya, sekarang aku selalu mengedepankan fungsi,” ungkapnya.
Laras Sekarasih, Dosen dan Psikolog dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia menjelaskan pembelian kritis ini disebut mindful consumption. Konsumsi ini mengacu pada literasi finansial yang berkaitan dengan kesadaran konsumen akan konsekuensi dari pembelian sebuah barang.
“Perilaku ini bagian dari mindful consumption yang didasari oleh literasi finansial. Jadi, orang-orang yang melakukannya cenderung memikirkan konsekuensi dari apa yang ingin dibeli. Misalnya seperti, ‘benar enggak sih kita perlu?’, ‘wajar enggak sih mengeluarkan uang sebanyak itu untuk benda-benda yang sebenarnya kita udah punya?’ dan sebagainya,” kata Laras.
Pada konteks YONO, tambah Laras, mindful consumption juga meliputi pola pembelian yang tidak spontan dan sulit ditahan seperti impulsive buying. Artinya, dalam melakukan gaya hidup YONO, individu perlu merencanakan pembelian dengan baik, dan menemukan urgensi dari pembelian sebuah barang. Tidak boleh ada barang yang sia-sia.
“Mindful consumption dipresentasikan sebagai antitesis dari impulsive buying. Nah, Impulsive buying sendiri itu adalah pembelian yang sering kali tidak terencana dan sulit untuk ditahan. Dari sini, konsumsi yang sustainable, bermakna, dan bertanggung jawab, jadi jauh lebih dapat tercapai,” imbuh Laras.
Dalam riset bertajuk “Mindful Consumption: Antecedents, Consequences And Marketing Implications” (2019), Sharad Gupta dari Cardiff Metropolitan University, menemukan konsumsi yang mindful terbukti dapat meningkatkan kepuasan hidup. Hal ini berkaitan dengan kesadaran pembelian terhadap barang yang tahan lama dan sesuai kebutuhan.
Baca juga: Lari karena FoMO, Berbahayakah?
YONO Tidak Sama dengan Frugal Living
Sama-sama muncul sebagai alternatif gaya hidup “hemat”, YONO berbeda dengan frugal living. Melansir Fidelity, YONO mengedepankan fungsi, frugal living lebih mengarah pada optimalisasi uang dan berfokus pada pengeluaran.
Sebagai orang yang mulai berhemat, Devi menyadari hal ini. Namun, alih-alih berfokus pada uang, seperti yang dipopulerkan oleh frugal living, Devi lebih memilih untuk mengedepankan fungsi dan kebutuhan, serta bertanggung jawab atas apa yang akan dibeli.
“Kalau frugal living itu menurutku kadang juga jadi enggak sesuai dengan kebutuhan. Misalnya, ngejar beli telur lebih murah, padahal jumlahnya terlalu banyak dan kita enggak butuh. Atau kayak suamiku, beli kurma dua kotak karena katanya jauh lebih murah, tapi malah bikin kulkas penuh. Menurutku, kalau seperti ini, kita justru jadi enggak mindful juga dalam konsumsi. Jadi, lebih baik sedikit aja tapi semuanya terpakai.”
Senada, Ann Martin, Direktur Operasi Credit Donkey juga punya pandangan soal hidup frugal. Kepada Finance Yahoo, Ann bilang, sering kali gaya hidup ini justru punya dampak buruk pada kesehatan mental. Hal ini berkaitan dengan rasa takut saat mengeluarkan uang, padahal kita tahu membutuhkan barang itu.
“Sayang, banyak orang menjadi takut menghabiskan uang demi hidup lebih hemat. Ini dapat menyebabkan kecemasan tentang uang. Dalam situasi terburuk, orang mungkin menjadi terlalu ragu untuk menghabiskan uang bahkan untuk barang-barang penting, yang dapat menyebabkan kualitas hidup lebih rendah secara keseluruhan,” jelas Ann.
Selain itu, Janita Grift, pakar finansial dan pemilik Frugal Fun Finance juga mengakui gaya hidup frugal memang menghabiskan lebih banyak waktu. Masih kepada Yahoo Finance, Janita bilang, untuk melakukan penghematan budget, individu kadang perlu meluangkan waktu lebih banyak untuk menemukan barang termurah. Pada kondisi terparah, perilaku ini bahkan bisa berpengaruh pada kualitas hidup sehari-hari.
“Hidup hemat memang butuh waktu dan usaha. Misalnya, jika berkomitmen menggunakan aplikasi perbandingan harga seperti Flipp, kamu perlu meluangkan waktu mencari harga termurah untuk setiap barang belanjaan. Secara pribadi, saya menghindari berhemat berlebihan. Saya juga hanya membandingkan harga di dua toko, bukan di tiga, empat atau lebih,” kata Janita.
Untuk itu, Laras Sekarasih sendiri mengungkapkan, baik gaya hidup frugal atau YONO, memang bergantung pada konsekuensi yang perlu disadari oleh siapa pun yang ingin mengadopsinya. “It’s a matter of choice, situation, and it’s a matter of convenience.”
Baca juga: Tips Menghilangkan FOMO, Biar Fokus Sama ‘Joy of Missing Out’
Bagaimana Memulainya?
Untuk memulai gaya hidup ini, Devi sendiri punya beberapa tips yang bisa digunakan agar konsumsi barang jadi enggak berlebihan. Mula-mula, sebelum membeli barang baru, Devi menyarankan untuk berefleksi terlebih dahulu dan bertanya pada diri sendiri, soal kebutuhan kita terhadap barang tersebut. Jika tidak bermanfaat, konsumsi bisa ditunda.
“Tanya dulu, ‘saya perlu ini enggak?’ Kalau misalnya sudah punya yang fungsinya seperti ini, kenapa harus beli lagi? Kemudian, kalau memang sudah rusak, baru boleh beli lagi. Yang enggak kalah penting, juga tanyakan ke diri sendiri, ‘apakah dengan membeli barang ini, hidup saya akan jauh lebih baik?’” kata Devi.
Selain itu, menghindar dari tren agar tidak merasa “Fear of Missing Out” (FOMO) juga jadi tips lain yang Devi berikan agar kita enggak termakan pola pembelian boros. Karena tren bergerak super cepat, konsumsi yang didasarkan pada hal ini merupakan tindakan yang kurang bertanggung jawab.
“Kita banyak sekali terdampak oleh FOMO karena tren. Cuma masalahnya, tren bergerak cepat sekali. Apalagi produk fashion. Makanya, aku betul-betul beli barang itu yang timeless dan oke for the living,” imbuhnya.
Berkaitan dengan tren dan FOMO, Laras menyarankan untuk mengurangi salah satu stimulus pembelian, yakni screen time di media sosial. Pasalnya, pada beberapa kasus, semakin banyak melihat media sosial dan melihat para pesohor mempopulerkan sebuah barang baru, bukan tidak mungkin kita dapat lebih mudah terpengaruh membeli barang tersebut.
“Untuk hal-hal seperti ini, self-control aja enggak cukup. Kita juga perlu mengurangi stimulusnya. Kalau berkaitan dengan tren dan influencer gitu ya. Ini juga berkaitan dengan persepsi kita soal tampilan yang keren dan gimana bahagia itu didefinisikan oleh pembelian-pembelian barang yang sebenarnya enggak dibutuhkan. Makanya, menghilangkan stimulus seperti scrolling time itu perlu,” pungkas Laras.
Ilustrasi oleh Karina Tungari
