June 16, 2025
Lifestyle

‘Soft Living’: Hidup Pelan Tanpa Rasa Bersalah. Emang Bisa?

Hustle culture sudah bikin banyak orang burnout dan kehilangan arah. Soft living hadir sebagai bentuk perlawanan: Hidup lebih tenang, mindful, dan enggak perlu minta maaf buat istirahat.

  • June 11, 2025
  • 6 min read
  • 3720 Views
‘Soft Living’: Hidup Pelan Tanpa Rasa Bersalah. Emang Bisa?

Akhir-akhir ini, istilah soft living makin sering seliweran di media sosial dan jadi obrolan hangat di kalangan Gen Z. Gaya hidup ini mengajak kita buat hidup lebih pelan, enggak ngoyo, dan lebih santai menjalani hari-hari.

Soalnya, soft living fokus pada hal-hal yang sering kita lupakan: Keseimbangan, kenyamanan, dan kesehatan mental. Fenomena ini muncul sebagai bentuk reaksi dari banyaknya anak muda yang mulai merasa burnout karena ritme hidup yang terlalu cepat dan penuh tekanan.

Dikutip dari Tirto, Gaya Hidup Minim Stres: Apa Iya Soft Life Solusinya?, secara simpel, soft living itu tentang memilih hidup dengan ritme yang lebih kalem dan mindful. Gaya hidup ini mengajarkan kita buat enggak terus-menerus mengejar pencapaian tanpa henti, tapi juga menikmati proses dan jalan hidup itu sendiri. Dalam mindset soft living, sukses enggak cuma soal gaji besar atau jabatan tinggi, tapi juga soal hidup yang tenang, hati yang damai, dan pikiran yang sehat.

Penting dicatat, soft living bukan berarti mageran atau anti-kerja keras. Tapi lebih ke cara kita bilang “stop dulu” ke pola hidup yang selalu sibuk tanpa henti. Ini soal sadar bikin batasan yang sehat, memberikan waktu buat istirahat, dan benar-benar mendengarkan apa yang dibutuhkan tubuh dan pikiran kita.

Baca Juga: Di Balik Kecanduan Kita pada Konten Pamer Gaji di Media Sosial

Asal Mula Tren Soft Living

Dikutip dari Independent, What is TikTok’s ‘soft life era’ and could it be the secret to happiness?, tren soft living muncul sebagai reaksi dari generasi muda terhadap budaya kerja keras yang berlebihan alias hustle culture. Kita semua pasti familiar dengan kalimat-kalimat seperti “kerja dulu, nikmatin nanti” atau “enggak ada sukses tanpa lembur dan capek-capekan.” Tapi, realitanya banyak dari kita justru kelelahan, cemas, bahkan kehilangan arah karena terus merasa harus produktif setiap waktu.

Popularitas soft living mulai naik sejak masa pandemi COVID-19. Saat dunia melambat karena lockdown, banyak orang akhirnya sadar: Hidup enggak harus ngebut terus. Kita mulai belajar lagi bagaimana caranya istirahat, tarik napas dalam-dalam, dan menikmati hal-hal kecil yang dulu mungkin terlewat. Platform media sosial juga ikut menyebarkan vibe ini, dari konten morning routine yang damai, journaling, masak santai, sampai ritual minum teh sore-sore yang estetik banget.

Soft living akhirnya berkembang jadi semacam gerakan gaya hidup yang mengajak kita buat lebih seimbang. Ada ruang buat self-care, kenal diri sendiri, dan waktu santai, tanpa rasa bersalah. Bukan berarti kita anti kerja keras atau enggak punya ambisi, tapi lebih ke arah milih cara hidup yang sehat, mindful, dan sustainable buat jangka panjang.

Baca Juga: Apa itu ‘Frugal Living’, Cara Hidup Hemat tapi Tetap Bahagia

Bedanya Soft Living dan Hustle Culture

Soft living dan hustle culture sebenarnya dua gaya hidup yang punya arah sangat berbeda. Perbedaannya bukan cuma soal cara kerja atau waktu istirahat, tapi juga soal cara kita melihat arti sukses, nilai-nilai hidup, dan prioritas dalam menjalani hari.

  1. Tujuan Hidup: Kualitas vs. Kuantitas
  • Soft Living: Fokusnya lebih ke quality of life. Orang yang menjalani gaya hidup ini biasanya lebih peduli sama kesehatan mental, keseimbangan hidup, dan hal-hal kecil yang bikin bahagia. Hidup dijalani tanpa harus selalu merasa ditekan buat terus lari kencang.
  • Hustle Culture: Lebih mengejar kuantitas, semakin banyak yang bisa diselesaikan, semakin dianggap sukses. Hidup serasa jadi lomba terus-menerus buat jadi orang paling sibuk dan paling produktif.
  1. Gaya Menjalani Hari
  • Soft Living: Hari-hari dijalani dengan santai tapi penuh makna. Ada waktu buat rehat, ngopi sore, baca buku, atau sekadar duduk tenang tanpa merasa bersalah. Enggak harus selalu ada pencapaian besar setiap hari.
  • Hustle Culture: Hari dipenuhi jadwal padat, to-do list panjang, dan multitasking. Waktu istirahat sering dianggap bonus atau bahkan hal yang “mewah” dan jarang bisa dinikmati.
  1. Cara Melihat Kesuksesan
  • Soft Living: Ukuran sukses enggak melulu soal uang atau jabatan. Bisa tidur cukup, punya waktu buat diri sendiri, atau punya hubungan yang sehat juga dianggap pencapaian besar.
  • Hustle Culture: Sukses lebih diukur dari hal-hal eksternal seperti gaji besar, promosi kerja, gelar, atau pengakuan dari orang lain. Semakin sibuk, semakin dianggap berhasil.
  1. Hubungan dengan Diri Sendiri
  • Soft Living: Mengajarkan kita buat lebih peka sama tubuh dan emosi sendiri. Kalau capek, ya istirahat. Kalau lagi down, kasih ruang buat merasakannya. Intinya: treat yourself with kindness.
  • Hustle Culture: Sering kali bikin kita menekan rasa lelah atau stres. Ada anggapan bahwa istirahat itu lemah dan harus terus kuat, meskipun badan dan pikiran sudah kasih alarm.
  1. Apa yang Diprioritaskan
  • Soft Living: Lebih memikirkan hidup jangka panjang yang sehat dan seimbang. Enggak rela mengorbankan kesehatan mental cuma demi ambisi sesaat.
  • Hustle Culture: Cenderung fokus pada hasil cepat. Kebutuhan pribadi sering ditunda atau diabaikan demi mengejar target yang kadang terlalu dipaksakan.

Baca Juga: Mampukah Gen Z Beli Rumah Mungil Kalau Enggak Jajan Kopi?

Tips Memulai Gaya Hidup Soft Living

Memulai soft living bukan berarti kamu harus langsung meninggalkan pekerjaan atau kewajiban harian. Justru sebaliknya, soft living mengajak kita buat menemukan titik tengah antara tanggung jawab dan kebutuhan diri sendiri. Prosesnya pelan-pelan saja, dimulai dari hal kecil yang bikin hidup terasa lebih ringan dan nyaman.

Dikutip dari British GQ, The ‘soft life’ is trending. How can you have one for yourself?, berikut beberapa langkah praktis yang bisa kamu coba buat mulai menjalani gaya hidup ini:

  1. Kenali Diri Sendiri Dulu

Langkah awal yang penting banget: coba lebih jujur sama diri sendiri. Tanyakan hal-hal sederhana kayak:

  • Apa yang bikin kamu gampang capek belakangan ini?
  • Apakah kamu benar-benar menikmati aktivitas harianmu?
  • Kapan terakhir kali kamu merasa tenang beneran?

Dengan memahami perasaan dan kebutuhan diri, kamu bisa mulai mengatur ulang rutinitas jadi lebih realistis dan gak bikin stres.

  1. Revisi Prioritas Harian

Soft living mengajak kita buat berhenti mengejar kesibukan tanpa henti dan mulai hidup lebih mindful. Salah satu caranya: ubah to-do list yang penuh tekanan jadi daftar niat sederhana. Misalnya:

  • “Hari ini aku mau makan siang tanpa buru-buru.”
  • “Malam ini aku mau tidur lebih awal dan enggak buka HP.”

Jangan ragu juga buat bilang “enggak” ke hal-hal yang tidak penting atau bikin kamu capek secara emosional.

  1. Ambil Waktu Istirahat Tanpa Rasa Bersalah

Istirahat itu bukan bentuk kemalasan, itu kebutuhan dasar. Coba deh mulai kasih ruang buat:

  • Tidur siang sebentar pas lagi lelah.
  • Jalan kaki santai pagi atau sore hari.
  • Me time tanpa gadget seharian.

Dan yang paling penting: biasakan diri buat istirahat tanpa merasa bersalah. Kamu bukan robot, dan recharge itu perlu.

  1. Bikin Rutinitas yang Bikin Hati Adem

Mulailah dari rutinitas pagi atau malam hari yang lebih pelan dan menenangkan:

  • Bangun tanpa alarm yang bikin kaget.
  • Awali hari dengan journaling, stretching ringan, atau secangkir teh.
  • Jauhkan ponsel minimal 30 menit setelah bangun dan sebelum tidur.

Rutinitas yang adem bisa bantu suasana hati tetap stabil seharian.

  1. Rutin Merawat Diri

Self-care itu enggak selalu harus mewah. Yang penting, kamu benar-benar hadir untuk dirimu sendiri, baik secara fisik, mental, maupun emosional. Beberapa contoh aktivitas soft living yang bisa kamu coba:

  • Menulis jurnal untuk mengeluarkan unek-unek.
  • Masak makanan favorit buat diri sendiri.
  • Baca buku inspiratif yang bikin semangat.
  • Lakukan latihan napas dalam saat pikiran lagi penuh.


#waveforequality
About Author

Kevin Seftian

Kevin merupakan SEO Specialist di Magdalene, yang sekarang bercita-cita ingin menjadi dog walker.