Jadi ‘Si Paling Cinta’ Alias ‘Hopeless Romantic’, Salah Enggak Ya?
Mereka penganut ‘hopeless romantic’ meyakini adanya cinta sejati dalam relasi. Kurang lebih seperti cerita Disney yang enggak sesuai dengan realitas.
Hopeless Romantic – Saat menyaksikan konser, “Bintang” merasakan seseorang menepuk bahunya. Spontan, ia menoleh dan bertabrak pandangan dengan lelaki asing. Keduanya saling mengulurkan tangan, lalu bertukar nama.
Malam itu jadi awal mula cerita romantis Bintang dengan laki-laki tersebut, menuju happily ever after. Sayang, semua hanya berupa skenario yang ia ciptakan dalam kepala. Mentok-mentok dituangkan ke folder catatan dalam ponsel, menjadi naskah cerita pendek yang dikonsumsi sendiri.
“Tapi nanti gue jijik sendiri, terus gue hapus deh notes-nya,” cerita Bintang pada Magdalene, (21/6).
Perempuan yang bekerja sebagai kreator konten di media itu mengaku senang menuliskan skenario-skenario tersebut. Alasannya, ini bikin dia bahagia, meskipun semua hanya khayalan belaka. Terlebih, berkaca pada pengalaman percintaannya, ia kerap gagal tiap memulai hubungan. Misalnya sewaktu berseragam putih biru, orang yang ia taksir menatapnya. Katanya, laki-laki itu melihat Bintang seperti orang aneh. Sementara, di Sekolah Menengah Atas (SMA), gebetannya meminta dijodohkan dengan teman baiknya.
Di satu sisi, sejumlah pengalaman itu membuat Bintang menyerah akan kehidupan percintaannya. Namun, masih ada harapan akan happily ever after yang tertulis dalam notes di ponselnya.
“Anggap aja tulisan itu manifesting, biar nanti gue juga punya cerita bahagia,” katanya. Ia mengaku, angan-angan itu enggak luput dari film yang disaksikannya semasa kecil, seperti Barbie dan para putri yang kisah cintanya berujung manis.
Pandangan Bintang terhadap kehidupan percintaannya, lebih dikenal sebagai hopeless romantic. Ini adalah sebutan untuk orang yang tetap percaya pada cinta, tanpa memedulikan pengalamannya dalam hubungan romantis yang enggak selalu berjalan mulus.
Biasanya, mereka yang memiliki pandangan ini melihat “cinta bisa mengalahkan segalanya”. Yang seperti sering ditampilkan dalam cerita-cerita putri Disney. Pun, lewat karakter seperti Jane Nichols (Katherine Heigl) dalam 27 Dresses (2008), yang percaya kebahagiaannya bersama pangeran berkuda putih pasti akan datang.
Kepercayaan terhadap romansa sedemikian rupa, akan membentuk ekspektasi tinggi dalam mencari sosok pasangan maupun menjalin relasi romantis. Dalam Passion, connection, and destiny: How romantic expectations help predict satisfaction and commitment in young adults’ dating relationships (2016), peneliti Sarah Vannier dan Lucia Sullivan mengatakan, ekspektasi itu cenderung menciptakan kekecewaan ketika pasangan yang hadir dalam hidup tidak sesuai.
Lantas, apakah hopeless romantic dapat dikatakan lebih merugikan mereka yang memercayainya?
Baca Juga: Cinta Bertepuk Sebelah Tangan, Haruskah Berhenti Jadi Bucin Keras Kepala?
Menjadi Hopeless Romantic, Baik atau Buruk?
Jatuh cinta terhadap gagasannya sendiri akan sosok pasangan—tapi bukan orang yang sebenarnya, merupakan definisi yang menjelaskan keadaan seorang hopeless romantic.
Mereka yang memercayai gagasan ini, umumnya selalu memiliki “tempat” untuk pasangan, yang sejak awal diciptakan lewat angan-angan. Bahkan, sebenarnya mereka bukan jatuh cinta terhadap pasangannya, melainkan gagasan ideal soal pasangan tersebut.
Ini mengingatkan saya dengan karakter Jane Nichols. Sepanjang hidupnya, ia diceritakan selalu menyibukkan diri sebagai bridesmaid untuk teman-temannya, dan excited ketika sesi pelemparan bunga dilakukan. Tentu dengan harapan, pernikahan selanjutnya adalah gilirannya bersama prince charming. Pun akhirnya ia menikah dengan seorang jurnalis tampan.
Meskipun karakternya fiktif dan tipikal film romantis Hollywood pada umumnya, Nichols juga menampilkan realitas yang ada. Menurut Vannier dan Sullivan, mereka yang punya kepercayaan dan ekspektasi tinggi dalam hubungan romantis, juga menganggap pasangannya memenuhi harapannya.
“Sulit untuk mengatakan, apakah ini karena mereka melihat pasangannya seperti prince charming, atau mereka memang menemukan pasangan yang sesuai ekspektasinya,” tulis kedua peneliti tersebut.
Namun, ekspektasi tinggi dalam relasi romantis dapat berujung pada beberapa hal enggak realistis apabila diterapkan dalam hubungan yang sebenarnya. Menurut Vannier dan Sullivan, perbedaan antara ekspektasi dan persepsi terhadap relasi yang sedang berjalan, akan mengarah pada kualitas relasi yang buruk.
Baca Juga: Cinta Bukan Segalanya: Kiat Hindari Fantasi Pernikahan Disney
“Kepuasan dan komitmen dalam hubungan jadi berkurang,” tulis keduanya.
Pun skenario penuh romansa yang selama ini diharapkan, dapat merugikan hingga membahayakan diri sendiri.
Contohnya, kita jadi enggak mengenali red flag dalam hubungan, akibat terlalu fokus pada sifat-sifat yang bikin jatuh cinta. Padahal sebenarnya, tanda-tanda bahwa orang tersebut bukan sosok yang tepat, sedikit banyak terlihat dari perilakunya. Mungkin pasangan bersikap manipulatif, hobi gaslighting, cemburu berlebihan, atau abusif. Sayangnya, semua itu terabaikan dan baru disadari, ketika euforia jatuh cinta mulai berkurang.
Pengalaman itu dirasakan Bintang saat berpacaran di bangku kuliah. Ia harus menjadi korban perselingkuhan. Perempuan 22 tahun itu mengatakan, kejadian tersebut membuatnya merasa enggak layak untuk dicintai. Ia sendiri berulang kali terjebak dalam lingkaran yang sama.
“Gue naif banget, tetap mau maafin, percaya kalau dia bisa berubah. Sampai akhirnya capek sendiri dan putus,” ujarnya.
Selain itu, mereka yang hopeless romantic cenderung berakhir dalam hubungan toksik. Menurut breakup coach Kendra Allen, penyebabnya adalah love bombing. Mereka rela melakukan apa pun agar dicintai, dan pasangannya menjadi sosok yang diinginkan. Kondisi ini membuat mereka mudah tertipu dengan ucapan manis yang sebenarnya omong kosong dan berdampak buruk untuk relasi.
“Waktu itu mantan gue milih untuk enggak ngomong kalau pergi bareng teman perempuan. Katanya mending diem-diem, daripada ketahuan malah ribut,” ucap Bintang.
Sayangnya, ia justru mengamini pernyataan sang mantan. “Gue ikutan mikir, daripada ribut dan nambah masalah, mending gue enggak tahu,” tuturnya.
‘The Half of It’: Bukan Kisah Cinta yang Diidamkan Semua Orang
Ubah Hopeless Romantic Jadi Hopeful Romantic
Sebenarnya yang perlu dipermasalahkan dari hopeless romantic, adalah tidak menyadari kalau ekspektasinya merugikan diri sendiri dan hubungan. Sebab, itu hanya relasi mirip fairytale yang tertanam dalam pikiran, dan menjadi tolok ukur. Imajinasi itu bisa berujung pada konflik yang merusak relasi.
Pasalnya, ketika hubungan itu enggak sesuai dengan ekspektasi, konflik yang terjadi lebih sulit diselesaikan. Alhasil, mereka memutuskan untuk mengakhiri hubungan lantaran menganggap tidak ditakdirkan bersama.
Namun, bukan berarti ekspektasi dan imajinasi milik hopeless romantic akan terus berakhir menyedihkan. Sebab, harapan itu dapat disesuaikan dengan realitas, yang disebut sebagai hopeful romantic.
Psikolog sosial dan peneliti Dr. Justin Lehmiller mendefinisikan hopeful romantic, sebagai kepercayaan dalam hubungan romantis diiringi dengan pola pikir yang berkembang. Artinya, permasalahan dilihat sebagai tantangan yang perlu diselesaikan, dan dapat menguatkan relasi. Bukan tanda bahwa relasi harus diakhiri.
Selain itu, orang-orang yang memiliki pemahaman hopeful romantic lebih mengutamakan harga diri dibandingkan hubungannya. Tentu mereka akan memperjuangkan relasinya supaya berhasil, tetapi bukan berarti akan banyak berkorban, terlebih sampai melewati batasan yang ditetapkan untuk diri sendiri.
Itu juga bukan berarti mereka tidak memiliki ekspektasi, hanya saja enggak sebanyak hopeless romantic. Ekspektasi itu yang berusaha disesuaikan Bintang. Meskipun ada banyak skenario yang kerap kali dibuat, ia memahami realitas pasti akan berbeda dengan harapannya.
“Sebenarnya dari awal gue udah bikin mindset itu, supaya enggak kecewa kalau realitasnya enggak sesuai,” tuturnya.
Bintang juga enggak lagi punya harapan muluk. Ia hanya menginginkan pasangan yang bisa saling memahami, mendukung, dan terbuka satu sama lain.
“Terbuka di sini maksudnya ceritain apa aja ke gue. Terus kalau berantem juga dibahas, maunya masing-masing kayak apa, bukan asal jawab, ‘terserah kamu’,” jelasnya.
Keterbukaan dan kejujuran itu yang sebenarnya menjadi kunci keberhasilan hubungan. Pun mereka yang hopeful romantic tidak menghindar dari pembicaraan yang dianggap tidak nyaman. Namun, pada akhirnya ini akan kembali pada upaya masing-masing untuk mempertahankan hubungan.