Lifestyle

Setahun Pandemi: Bokek, Terinfeksi, dan Frustrasi

Setahun dalam pandemi COVID-19 menghasilkan krisis keuangan, infeksi, dan rasa frustrasi, padahal belum divaksinasi.

Avatar
  • March 25, 2021
  • 7 min read
  • 492 Views
Setahun Pandemi: Bokek, Terinfeksi, dan Frustrasi

Setahun yang lalu, kita semua dihadapkan oleh momok baru: pandemi COVID-19. Sebagai orang yang hidupnya kebanyakan menonton film, saya langsung terbayang Contagion arahan Steven Soderbergh, tentang sebuah pandemi virus yang menewaskan banyak orang, mulai dari Gwyneth Paltrow sampai Kate Winslet.

Awal Maret 2020, ketika Indonesia mengumumkan bahwa sudah ada pasien-pasien pertama COVID-19 (setidaknya yang kita ketahui), saya menonton ulang film ini. Contagion sangat menyeramkan tapi juga menyamankan pada saat yang bersamaan. Menyeramkan karena ia sangat klinis. Virus ini tidak memandang status. Semua orang bisa kena. Dan prosesnya sangat cepat. Menyamankan karena di film tersebut kita melihat bagaimana orang-orang yang berkepentingan, para pejabat dan masyarakat, benar-benar tanggap dalam menghadapi pandemi. Mereka semua gotong royong untuk mencari cara bagaimana mengakhiri cobaan ini.

 

 

Tentu saja realitasnya tidak seperti itu. Dan itulah kenapa Contagion adalah fiksi, bukannya dokumenter. Sepintar-pintarnya Scott Z. Burns menulis skrip Contagion, dia tidak bisa membayangkan politikus yang bisa dengan enaknya menyangkal COVID-19 “”karena negara kita aman dari virus ini. Virus menyeramkan tidak bisa memasuki nusantara karena warga Indonesia baca doa qunut, makan nasi kucing, dan birokrasinya susah.

Mendengar politikus Indonesia ngomong ngawur sebenarnya bukan hal yang baru. Tapi untuk pertama kalinya, saya merasa sangat kesal dan marah dengan kinerja mereka. Semakin lama pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dilaksanakan, semakin lama saya terkurung di dalam kamar kos bersama kucing saya, semakin kesal saya dengan bagaimana pemerintah kita menangani pandemi ini. Saya juga geram dengan orang-orang yang tetap hura-hura di luar rumah, berkerumun tanpa pakai masker dan liburan setelah beberapa bulan dipaksa tinggal di dalam rumah dengan  alasan “gue udah bosen di rumah”.

Baca juga: Derita Anak Kos yang Terinfeksi Covid-19

Setahun Pandemi Kebagian Terinfeksi

Kekesalan saya memuncak ketika saya terinfeksi COVID-19 pertengahan Desember tahun lalu.

Selama pandemi, saya hampir selalu berada di dalam kamar. Bisa dihitung dengan jari berapa kali saya keluar kamar kos. Google yang biasanya memberikan laporan akhir tahun memberitahu saya lewat surel bahwa selama 2020, lokasi terjauh yang saya datangi adalah sebuah kafe di Bogor, yang teman-teman saya datangi karena ia luas dan outdoor. Selain itu, saya hanya ke kafe kalau ada rapat yang tidak bisa dilakukan secara online (hanya kurang dari dua jam), ke pasar, dan ke supermarket.

Selama 2020 saya tidak pernah nongkrong di mal, jalan-jalan, apalagi hura-hura di Holywings. Semuanya untuk menghindari terkena COVID-19. Tapi pada akhirnya, saya masih tetap terinfeksi.

Hari itu saya bangun dalam keadaan luar biasa lelah. Semua sendi tulang saya sakit. Malam harinya saya demam.

Tentu saja saya masih berpikir ini hanya flu biasa, walaupun diam-diam saya sudah mulai berhenti untuk keluar kamar. Saya yang selalu punya stok jahe, kunyit dan teh langsung meramunya menjadi minuman hangat agar berhenti menggigil. Hari itu suhu AC saya pasang di 28 derajat, dan saya tetap menggigil kedinginan.

Saya minum obat flu dan sama sekali tidak terpikir kena COVID-19 karena saya hampir tidak ke mana-mana. Saya keluar seperlunya dan selalu pakai masker. Saya selalu mencuci tangan dan mengganti baju begitu masuk kamar. Yang menyebalkan dari “flu” ini adalah saya selalu merasa lebih baik keesokan paginya, tapi begitu malam tiba dan saya bersiap tidur, badan saya menggigil lagi.

Saya tidak batuk dan hanya sesekali bersin. Hidung pun tidak mampet. Semuanya tampak seperti flu musim pancaroba sampai suatu hari saya tiba-tiba tidak bisa mencium bau.

Ketika saya memotong kencur yang baunya sangat kuat, saya tidak mencium apa-apa. Saya mulai panik. Ini dia, pikir saya waktu itu, mimpi buruk telah tiba. Saya mulai berjalan ke kamar mandi dan mencuci tangan dengan sabun. Saya tidak bisa mencium baunya sama sekali. Kemudian saya mengambil parfum saya yang baunya paling pol dan hidung saya tidak bereaksi. Resmi sudah.

Baca juga: Kiat Bertahan di Tengah Pandemi dari Seorang Penyintas

Setahun Pandemi Alami Krisis Keuangan

Hal pertama yang ada di benak saya ketika saya sadar saya positif COVID-19 adalah, “Oh, ini cara saya mati.” Berlebihan memang, tapi namanya juga orang panik. Dua hari saya panik dan “mempersiapkan mati”. Saya menghapus semua history komputer saya, dan menghilangkan film-film tidak senonoh di dalamnya. Setiap lima menit saya mengetik “apakah kucing bisa ketularan COVID-19” di Google.

Setelah itu, saya mulai tenang. Saya pikir, kalau saya pernah tidur di dalam kamar kos yang dibanjiri air sedengkul selama seminggu dan santai-santai saja, saya bisa mengatasi ini. Setelah membaca berbagai artikel tentang COVID-19 di berbagai media, saya akhirnya memutuskan untuk tidak keluar kamar dan baru akan laporan kalau sudah benar-benar gawat alias nafas sudah sesak.

Yang juga patut dicatat selama saya terinfeksi COVID-19 adalah, saat itu saya lagi bokek-bokeknya. Kalau tidak sakit, saya santai bisa masak sendiri di kos dengan bahan makanan yang sudah beli. Selama sakit, saya sangat berterima kasih kepada fitur paylater, alias membayar belakangan di aplikasi-aplikasi pembelanjaan.

Saya membeli vitamin dan obat-obatan dan makanan lewat aplikasi dan membayar dengan fitur ini. Setiap kali mengambil makanan di gerbang saya selalu mengenakan masker rangkap tiga. Sedihnya, semua makanan tidak ada rasa kecuali asin. Sebagai orang yang doyan makan, ini adalah hal yang paling menyedihkan. Positifnya, saya tidak bisa mencium bau kotoran kucing saya saat saya membersihkan litter box dia.

Sakit kena COVID-19 sendirian di kamar kos sangat menyebalkan. Dan saya tetap memutuskan untuk menghadapi ini sendirian karena saya tahu orang-orang di sekitar saya akan panik jika tahu. Dan kalau mereka panik, saya akan panik. Saya baru laporan kalau saya kena COVID-19 ke beberapa teman dekat setelah sembuh.

Selama sakit, saya hanya berbaring di kasur dengan remote control di tangan. Saya menghindari tontonan yang berat. Saya menyelesaikan tiga musim serial Grey’s Anatomy selama seminggu. Kisah para dokter dan skandal mereka di RS Seattle Grace ternyata efektif untuk membuat saya lupa kalau saya sakit. Setiap kali saya harus zoom meeting dengan rekan kerja, saya selalu berakting sehat karena pamer kesedihan bukanlah hal yang biasa saya lakukan.  

Baca juga: Duh, Angka Pengangguran Muda Naik Gara-gara Pandemi

Setahun Pandemi Situasi Belum Membaik

Tepat 14 hari setelah saya merasakan gejala infeksi COVID-19, flu dan demam hilang, dan saya sudah bisa mencium bau sabun lagi. Beberapa hari kemudian tubuh saya berangsur-angsur normal dan saya baru keluar rumah kos setelah tes awal Februari dan saya kembali sehat walafiat.

Salah satu hal yang paling saya ingat ketika saya sakit adalah, betapa kesalnya saya melihat instastory teman-teman saya yang bersuka cita main ke luar. Setiap kali melihat ada teman saya main ke luar, nongkrong di kafe atau main golf, saya ingin berteriak marah.

Setiap saya membuka Twitter, saya selalu diingatkan dengan kinerja para politikus Indonesia yang benar-benar memuakkan. Saking muaknya saya sampai me-mute nama mereka dan ngeblok akun mereka. Bagaimana bisa di awal pandemi bukannya siaga malah mempromosikan pariwisata? Bagaimana bisa dengan laporan kasus COVID-19 di mana-mana malah bilang “jangan panik, jangan resah, enjoy saja”.

Kalau saya yang akhirnya diberkahi kesembuhan dan tidak mengalami gejala-gejala yang parah bisa sekesal ini dengan kinerja pemerintah dan perilaku orang-orang, saya tidak membayangkan dengan mereka yang terpaksa harus berpisah dengan anggota keluarga, hanya karena pemerintah kita tidak bisa menghadapi masalah ini dari awal dengan tegas. Pasti rasanya dendam di ubun-ubun.

Bagian paling menyedihkan setelah kena COVID-19 adalah mengingat bahwa banyak orang lain di luar sana yang sama sekali tidak peduli dengan virus ini. Bahkan mereka sudah memiliki istilah baru untuk mengolok orang-orang yang waspada dengan virus ini: SJW COVID. Wow. Ternyata peduli kesehatan dianggap tidak asyik.

Setahun setelah pandemi, saya sampai pada kesimpulan bahwa satu per satu orang akan terkena COVID-19 jika mereka tetap se-ignorant ini. Tidak peduli apakah kamu tetap melaksanakan protokol kesehatan atau menaati peraturan, kalau yang lainnya tidak ada usaha, ya akan kena juga.

Semoga proses vaksinasi berjalan lancar dan cepat dilaksanakan buat semua orang. Hanya itu yang bisa saya harapkan sekarang. Dan semoga pemerintah dan pejabat yang selama ini hanya bisa mengecewakan saya bisa mencari cara untuk bisa mempercepat proses vaksinasi yang menjangkau semua.

Ilustrasi oleh Karina Tungari 



#waveforequality


Avatar
About Author

Candra Aditya

Candra Aditya adalah penulis, pembuat film, dan bapaknya Rico. Novelnya ‘When Everything Feels Like Romcoms’ dapat dibeli di toko-toko buku.