Stigma Bunuh Diri hingga Pengaruh Media Sosial: Penyebab Terjadinya Bunuh Diri pada Anak Remaja
Buntut marak kasus bunuh diri pada anak remaja, apa penyebab terjadinya?
Belakangan ini kasus bunuh diri pada anak-anak dan remaja semakin marak. Kasus terbaru terjadi di awal Maret kemarin. Anak laki-laki berusia 11 tahun ditemukan tewas gantung diri di rumahnya. Kejadian ini terjadi di Banyuwangi, Jawa Timur.
Motif sang anak memutuskan untuk mengakhiri nyawanya karena depresi sering dirundung oleh teman-temannya. Mereka sering mengolok-olok anak ini karena ia seorang anak yatim. Sang anak pun sering mengeluh dan juga menangis karena masalah ini. Hal ini pun menjadi perhatian masyarakat Indonesia. Mereka merasa miris mengapa hal ini makin banyak dan sering terjadi.
Kasus lainnya yang juga menghebohkan Indonesia sempat terjadi di tahun 2020. Korban berinisial N di salah satu SMP di Jakarta Timur lompat dari lantai empat gedung sekolahnya. Ia juga melakukan keputusan bunuh diri ini karena dirundung oleh teman sekolahnya.
Berdasarkan data dari WHO, angka kematian yang dikarenakan bunuh diri menjadi peringkat keempat terbesar. Angka ini mengacu pada usia di rentang 15-29 tahun di seluruh dunia. Selain itu WHO pada tahun 2016 juga mencatat bahwa Indonesia masuk ke dalam salah satu negara dengan angka percobaan bunuh diri pada anak remaja paling banyak.
Mungkin ini angka ini akan semakin bertambah mengingat ada banyak kasus yang tidak dilaporkan atau ditutupi oleh pihak keluarga.
Lalu apa sebetulnya yang menjadi penyebab dari maraknya kasus bunuh diri pada anak dan remaja ini?
Baca juga: Saat Adik Remaja Jatuh dalam Depresi, Kita Bisa Bantu Apa?
1. Stigma Bunuh Diri (Masih Dianggap Aib dan Tidak Mensyukuri Hidup)
Kebanyakan kasus bunuh diri pada orang dewasa terjadi karena masalah ekonomi, perselisihan di dalam rumah tangga hingga cekcok dengan orang tua. Untuk itulah bagi sebagian orang bunuh diri adalah sebuah aib dan harus ditutupi kasusnya.
Mengutip wawancara Dr. Sandersan Onnie, mahasiswa pasca-doktoral di Black Dog Institute Australia oleh CNN, ia mengatakan stigma bunuh diri masih jadi salah satu hambatan terbesar dalam pendataan kasus ini.
Menurutnya di Indonesia, bunuh diri masih dianggap aib, suatu hal yang sangat memalukan. Orang-orang pun menganggap kalau mereka memutuskan mengakhiri hidup dengan bunuh diri maka dianggap tidak bermoral.
Akibat stigma ini kasus bunuh diri menjadi under-reported atau tidak terlapor karena stigma tersebut. Orang-orang yang berniat melakukan percobaan bunuh diri juga disebut memiliki masalah kejiwaan.
Orang dewasa saja sulit untuk mengatasi masalah mereka, apalagi usia anak-anak hingga remaja yang masih belum sempurna pikirannya. Anak remaja cenderung menutup diri jika ada masalah seperti depresi yang terjadi pada mereka.
Baca juga: Kesehatan Mental Mulai Banyak Dibicarakan, tapi Stigma Tetap Ada
2. Guru BP di Sekolah Hanya Menghukum Anak Nakal
Kesadaran akan masalah kesehatan mental ini tidak hanya bisa diselesaikan oleh satu pihak saja. Selain butuh dukungan penuh dari keluarga, pihak sekolah juga harus turut serta membantu masalah ini. Di sekolah memang dikhususkan untuk mempunyai satu guru BK atau bimbingan konseling. Tapi nyatanya fungsi guru BK masih belum maksimal.
Seperti yang kita tahu kebanyakan siswa-siswa yang dipanggil ke ruang guru BK hanyalah anak nakal saja. Guru BK pun seakan kehilangan fungsinya sebagai pusat untuk bimbingan konseling. Akibatnya banyak dari anak dengan gejala masalah mental ragu-ragu untuk menceritakannya pada guru BK. Mereka beranggapan kalau mereka mengadu akan dicap sebagai anak nakal.
Maraknya kasus bunuh diri pada anak dan remaja ini pun mulai disadari oleh Lina (bukan nama sebenarnya), salah satu guru BK untuk SMP di Pulau Belitung. Ia mengatakan pihak sekolah sudah mulai mengawasi masalah ini.
“Masalah berita anak bunuh diri yang muncul beberapa waktu lalu memang sudah jadi pembicaraan kami sebagai pihak sekolah. Apalagi kasus ini terjadi karena bully yang dilakukan oleh teman sebayanya. Saya juga mengajak kepala sekolah dan guru lain untuk ikut memperhatikan keadaan para siswa, jangan sampai hal ini terjadi,” ujarnya melalui wawancara via telepon.
Ia menyebutkan memang guru BK identik dengan menangani kasus kenakalan pada anak dan remaja. Apalagi untuk umur di rentang SMP ini sangat rentan terjadi. Tapi ia juga sempat beberapa kali mendapat kasus siswa yang depresi karena nilai ujian jelek atau putus dengan pacarnya. Lina juga sudah menghimbau bagi para siswa untuk bisa lebih terbuka padanya jika terdapat masalah depresi semacam ini. Usia-usia yang masih labil ini menurutnya seringkali tidak punya keberanian untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.
Ketakutan jika diadukan ke orang tua, atau malu akan diolok-olok teman menjadi faktornya. Untuk itulah ia merasa bahwa pembicaraan empat mata akan lebih baik dibandingkan harus membawa orang tua. Kadang orang tua belum bisa memahami depresi yang dialami oleh anaknya.
“Apalagi kami di daerah ya, mayoritas memang orang sini masih percaya hal-hal gaib. Atau bunuh diri sering dianggap aib keluarga. Contohnya saja siswi perempuan depresi karena ditinggal pacar ini sering dibilang kalau mereka ‘diguna-guna’. Padahal ada banyak faktor, mungkin karena ia merasa sedih karena tidak penyemangat. Hal-hal seperti ini sering kali diabaikan,” ungkap Lina.
Karena itulah sebagian dari mereka kerap stress hingga akhirnya tidak berani untuk menceritakan kejadian sebenarnya.
Baca juga: Bertahanlah, untuk Sehari Lagi, Lagi, dan Lagi
3. Faktor Media Massa dan Media Sosial Sangat Berpengaruh
Tontonan anak di era sekarang memang sudah lebih bebas. Kekerasan-kekerasan seringkali diperlihatkan di televisi. Akibatnya banyak anak juga yang meniru untuk melakukan hal semacam itu. Padahal televisi dan media massa lainnya tidak hanya dibuat untuk hiburan tapi juga edukasi.
Kasus bunuh diri akibat televisi ini terjadi di India pada tahun 2019 silam. Ketika itu seorang anak berusia 10 tahun gantung diri dengan lilitan pakaian yang dibuatnya pada ventilasi rumah. Saat ditemukan, korban sedang seorang diri di dalam rumah. Motif bunuh dirinya pun ditemukan karena terpengaruh acara reality show di televisi.
Pola pikir anak yang belum sempurna pun cenderung meniru apa saja yang dilihatnya. Hal ini pun bisa menjadi pembelajaran bagi stasiun televisi agar bisa menyajikan tontonan yang lebih baik.
Selain media massa seperti televisi, internet dan media sosial sekarang menjadi sarana yang paling banyak dilihat anak remaja. Cyberbullying dan pelecehan dunia maya bisa saja terjadi menimpa anak remaja. Apalagi sekarang jejak digital bisa bertahan lama dan dilihat siapa saja. Maka kemungkinan hal ini sangat beresiko tinggi.
Salah satu kasus bunuh diri akibat cyberbullying di media sosial ini terjadi pada penyanyi Korea Selatan Choi Jin-ri atau dikenal sebagai Sulli. Ia mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri di rumahnya. Motifnya adalah karena komentar jahat dan kebencian di media sosial yang ditujukan kepadanya. Ia pun merasa depresi karena intimidasi online yang terus berdatangan padanya. Sulli masih berusia 25 tahun saat itu dan tergolong umur yang masih muda.
Kasus ini juga banyak terjadi pada anak remaja. Dua kasus terjadi di Irlandia dan Inggris. Motif kasusnya sama, kedua remaja ini memutuskan bunuh diri karena komentar jahat yang diterima melalui aplikasi Ask.fm. Kedua korban ini tidak tahan karena terus-terusan diejek melalui kolom komentar.
Tidak hanya komentar jahat di medsos, remaja Inggris berusia 14 tahun Molly Russell nekat bunuh diri di tahun 2017 lalu. BBC mengabarkan bahwa Molly mengakhiri hidup karena ilustrasi bunuh diri sering muncul di Instagramnya.
Kisah Molly juga yang memicu pihak Instagram untuk membuat sensitivity screens, berguna untuk menyembunyikan gambar-gambar ilustrasi menyakiti diri sendiri dan bunuh diri.
Ayah Molly berkata melalui BBC, sudah waktunya untuk melindungi anak muda yang tidak bersalah daripada membiarkan media sosial mengambil keuntungan dari memonetisasi kesengsaraan anak-anak.
Ilustrasi oleh: Karina Tungari