Screen Raves

‘The Fallout’: Trauma Tak Berarti Hidup di Balik Kegelapan

Jika sebagian film mengeksploitasi trauma dengan kesedihan atau kemarahan, ‘The Fallout’ menunjukkan remaja yang bisa hidup berdampingan dengan trauma dan tetap bahagia.

Avatar
  • February 22, 2022
  • 6 min read
  • 5990 Views
‘The Fallout’: Trauma Tak Berarti Hidup di Balik Kegelapan

Artikel ini mengandung spoiler

Tipikal film yang menggambarkan kehidupan remaja AS, 6 menit pertama The Fallout (2021) menampilkan Vada (Jenna Ortega) yang rajin scrolling media sosial, dan menyantap minuman Starbucks.

 

 

Sebagai sosok hangat, periang, dan cerdas, ia senang menghabiskan waktu bersama sahabatnya, Nick (Will Ropp). Pun, ia dekat dengan adik, Amelia (Lumi Pollack), yang memasuki masa remaja dan pertama kali mengalami menstruasi.

Sayangnya, kehidupan sebagai remaja yang stabil auto-berputar 180 derajat, ketika penembakan terjadi di sekolah. Saat pelaku menarik pelatuk pistol, Vada sedang berada di toilet bersama Mia (Maddie Ziegler), siswi populer dan selebgram dengan 82 ribu pengikut, yang tengah merias wajahnya untuk pemotretan. Lantas keduanya bersembunyi dalam cubicle toilet, disusul Quinton (Niles Fitch) yang kaosnya berlumuran darah milik saudara kandungnya.

Tragedi itu mengubah beberapa aspek dalam diri Vada. Hubungannya dengan Nick merenggang, ketika sahabatnya itu memilih menyuarakan keresahannya lewat gerakan, agar penembakan sedemikian rupa tidak terulang. Sementara, perempuan itu belum pulih dari keadaannya, dan memilih tidak bersekolah untuk sementara waktu.

Ulasan film the fallout

Baca Juga: ‘Euphoria’: Adiksi, Seks, dan Romantisme ‘Coming of Age’

Selain itu, Vada menjauh dari orang tua dan adiknya, yang kebingungan menghadapi kondisi si anak sulung. Kendati demikian, mereka memberikan ruang untuknya memproses peristiwa yang menimpa. Namun, ia cenderung menutup diri dan berperilaku seolah dirinya baik-baik saja, meninggalkan kekhawatiran pada keluarganya.

Berawal dari mengirimkan pesan singkat, Vada memilih mendekatkan diri pada Mia, seseorang yang dianggap dapat memahami situasinya, setelah melalui tragedi bersama. Keduanya memiliki latar belakang berbeda. Vada berasal dari keluarga kelas menengah, sedangkan kedua ayah teman barunya adalah seniman yang jarang hadir dalam hidupnya.

Hubungannya dengan Quinton juga lebih intens. Meskipun tidak ditunjukkan lewat banyaknya adegan antara keduanya, Vada mampu menyampaikan empati atas kehilangan yang dialami temannya itu, dengan memeluknya dalam diam.

Trauma Tak Melulu Berupa Kesedihan

Jika dibandingkan sejumlah film yang memiliki permasalahan serupa, berfokus pada pergumulan hati orang tua—seperti Mass (2021), Beautiful Boy (2010), Elephant (2003), dan We Need to Talk About Kevin (2011)—The Fallout memperlihatkan kompleksnya dampak trauma pasca-penembakan pada remaja.

Tiga puluh menit setelah adegan penembakan, mungkin penonton bertanya-tanya, kapan Vada akan mengalami breakdown hingga larut dalam depresi dan mengurung diri di kamar. Namun, Megan Park selaku sutradara film ini tidak ingin menampilkan itu.

Alih-alih mengeksploitasi kesedihan sebagai dampak posttraumatic stress disorder, secara nyata ia memberikan sudut pandang lain dari remaja yang berusaha menguatkan, dan memeriksa keadaan satu sama lain. Ini dilakukan tanpa perlu membahas kejadian yang mengguncang mental.

Mia dan Vada tidak pernah membicarakan perasaannya, selain pada pertukaran pesan yang pertama kali dikirimkan. “Just kind of numb,” jawab Vada dengan jujur, mendeskripsikan keadaannya. Sesuatu yang tidak diutarakannya kepada orang lain selain Mia.

Review film the fallout

aca Juga: Film ‘The Boys in the Band’ Tampilkan Trauma Komunitas Gay

Walaupun meninggalkan kesan pemberontak dan menyangkal kondisi mental, mereka memiliki caranya sendiri dalam menghadapi trauma, yakni mengonsumsi alkohol dan narkoba, eksperimentasi seksual, atau sekadar hangout di kamar dan kolam renang.

Melalui perilaku tersebut, Park menunjukkan karakter Vada yang belum mau mengakui dan tidak tahu bagaimana cara mengelola emosinya. Tingkah laku itu juga merupakan caranya mengekspresikan kekacauan diri, dan dipandang sebagai waktu terbaik dalam hidup.

Sepanjang film, Park enggan memberikan kepastian akan alur yang akan dibawa. Sedikit harapan muncul bahwa trauma Vada akan segera pulih setelah mengikuti konseling bersama Anna (Shailene Woodley), terapis yang dipilihkan orang tuanya.

Namun, dalam sesi itu ia berusaha mengalihkan pembicaran dan menimpali perkataan Anna dengan sarkasme. Apa pun dilakukan, selain mengomunikasikan perasaannya.

Pun berulang kali ia menyatakan, mampu mengendalikan emosinya dengan baik, dan menyebut “low-key” sebagai gambaran kondisi emosionalnya, meskipun sang terapis memberikan kesempatannya untuk menjadi rentan dan memvalidasi emosi.

Faktanya, trauma yang dialami Vada berlapis. Ia tidak hanya merasa takut kejadian itu akan terulang, atau berduka atas nyawa remaja seusianya yang harus terenggut dalam peristiwa tersebut. Ia justru merasa bersalah dan mempertanyakan mengapa dirinya yang selamat.

Baca Juga: Trauma Perundungan dari SD Terbawa hingga Dewasa

Secara keseluruhan, The Fallout memberikan pemahaman dan ekspektasi dari realitas, bahwa trauma dan duka cita bukanlah suatu kondisi yang penyelesaiannya dapat ditetapkan berdasarkan kurun waktu. Ataupun memiliki jawaban pasti tentang cara mengatasi untuk bangkit dan 100 persen pulih, sebagaimana keadaan sebelum tragedi terjadi.

Di akhir cerita, Vada memutuskan membuka diri pada Anna dan mampu menamai emosinya. Ia mengaku takut berada di sekolah, serta tidak mampu terlibat dalam gerakan yang dilakukan Nick dan merasa pertemanannya berakhir. Perempuan 16 tahun itu juga marah terhadap pelaku yang mengacaukan hidup banyak orang hanya dalam 6 menit, dan mengaku sulit move on dari tragedi tersebut.

Validasi emosi itu memberikan angin segar di akhir film, juga Vada yang akhirnya menceritakan eskapisme ataupun caranya menghadapi trauma pada sang ibu. Suatu hal yang nyata, tetapi minim ditampilkan dalam film yang mengemas trauma.

Eksploitasi Trauma dalam Film The Fallout

Tak sedikit film maupun serial televisi yang mengangkat trauma, menjadikan situasi dan permasalahan yang dialami karakter sebagai latar belakang, sekaligus bagian dari identitasnya. Bahkan memberikan kesan seolah tak ada harapan dalam hidup setelah tragedi, seperti disebutkan dalam Stories Are What Save Us: A Survivor’s Guide to Writing About Trauma (2021).

Pernyataan tersebut dapat dilihat dalam sejumlah film. Salah satunya Dawn of Justice (2016), karakter Bruce Wayne (Ben Affleck) yang memiliki PTSD berupa teror mimpi apokaliptik. Pun film itu tidak hanya menampilkan kekerasan massal, tetapi cara orang-orang menanggapi trauma dengan berlindung pada seseorang yang dianggap mampu melindungi. 

Menurut Dan Sanchez, penulis dan digital content manager di Foundation for Economic Education (FEE), film-film Marvel dan DC itu menargetkan audiens pasca-peristiwa 9/11. Penyebabnya, warga AS tertarik pada tontonan yang menayangkan kekacauan dan kehancuran, setelah tinggal di balik bayang-bayang trauma selama 15 tahun.

Demikian halnya film yang mengangkat trauma lainnya, yaitu Halloween (2018). Menceritakan Laurie Strode (Jamie Lee Curtis) yang mengalami trauma setelah selamat dari pembunuhan massal pada empat dekade lalu.

Akibatnya, ia berusaha melindungi diri dan keluarganya, dari Boogeyman atau Michael Myers (Nick Castle), sang pelaku. Dan trauma tersebut yang melatarbelakangi alur cerita, hingga alasan Strode bersikap protektif terhadap anak dan cucunya.

Hal serupa dijelaskan dalam The Roles of Trauma in Plot and Charactres of Roxanne Gay’s An Untamed State (2019) oleh Diah Hasna Nabilla. Pada penelitian tersebut dinyatakan, trauma mampu mengubah kepribadian dan kehidupan seseorang, serta menyebabkan luka pada tubuh dan pikiran.

Selain itu, trauma dinilai memiliki peranan penting dalam alur cerita, dan menimbulkan tindakan kekerasan yang membuat trauma orang lain. Atau setidaknya berdampak pada orang-orang di sekitarnya, seperti anak Strode yang memilih menjauhi sang ibu. 

Dalam sebagian film, trauma direpresentasikan sebagai perkara yang dapat diselesaikan dalam waktu tertentu, atau menjadi akhir dari penyelesaian masalah, seperti Strode yang hidup lebih tenang setelah menaklukan Myers.

Padahal, ending yang lebih realistis dapat disajikan. Karena kenyataannya, seseorang akan tumbuh berdampingan dengan trauma. Itulah yang berusaha disampaikan Park dengan open ending dalam The Fallout, tentang hidup yang tidak harus baik-baik saja, maupun melupakan kejadian yang telah menjungkirbalikkan hidup seseorang.

Ini tidak berarti mereka akan selamanya berada di balik “kegelapan”, karena para penyintas juga berhak merasa gembira, sekalipun trauma itu masih melekat.



#waveforequality


Avatar
About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *