Film Barbie di Tangan Greta Gerwig, Apakah Bisa Jadi Feminis?
Greta Gerwig, sutradara film Little Women, akan menggarap film Barbie, tapi apakah kisahnya cukup feminis?
Rambut pirang, mata biru, dan tubuh langsing, Barbie adalah contoh kecantikan paripurna standar eurosentris. Bergandengan dengan Barbie ada Ken yang tak kalah sempurna dengan kulit kecokelatan. Kesempurnaan itu kemudian dipersonifikasi dalam sosok Margot Robbie dan Ryan Gosling untuk film Barbie yang dikabarkan dalam proses produksi. Greta Gerwig, sutradara Little Women (2019) bersama Noah Baumbach, sutradara Marriage Story (2019) yang akan menggarap film tersebut. Bahkan menurut media, Gerwig mulai mengerjakan proyek ini sejak dua tahun lalu.
Jika melihat sepak terjang Gerwig maupun Baumbach di dunia film, rasanya sulit membayangkan seperti apa cerita film Barbie yang ditulisnya. Gerwig dengan karya yang sarat narasi kehidupan perempuan dan Baumbach dengan ceritanya yang emosional, tampak jauh dengan tipikal film Barbie. Pasalnya, dalam dua dekade belakangan, film-film Barbie identik dengan kisah fantasi kerajaan yang senada dengan film princess Disney.
Barbie yang banting setir menjadi semacam kisah slice of life dengan sentuhan feminisme memang menimbulkan pertanyaan. Robbie yang juga digadang-gadang sangat cocok memerankan bonekanya Mattel itu, memberikan komentarnya terkait ‘anomali’ tersebut.
“Saat orang mendengar Barbie pasti memikirkan ‘saya tahu film ini nantinya tentang apa’, dan ketika mendengar Greta Gerwig yang menulis dan menyutradarai mereka akan, ‘Oh, oke mungkin saya tidak mengetahuinya,” ujar Robbie kepada Vogue.
Gerwig bisa saja memberikan kejutan menyenangkan dengan caranya menggiring narasi feminisme dalam cerita Barbie. Jika eksekusinya bagus, Barbie versi Gerwig bisa menjadi panutan untuk generasi mendatang dan mengubah citra Barbie di mata publik. Namun, upaya inklusif menjadi bumerang ketika casting filmnya masih terkurung dalam lensa kulit putih yang stereotipikal. Selain itu, melihat kesejarahan Barbie, apakah boneka tersebut bisa menjadi feminis?
Baca juga: Mainan Beridentitas Gender Lebih Berisiko dari yang Kita Pikir
Panutan Buruk dan Problem Citra Tubuh
Untuk berpuluh-puluh tahun, Barbie sering jadi standar perempuan yang baik dan sempurna. Dia pun menjadi salah satu alat yang menetapkan standar kecantikan tidak masuk akal. Karenanya, Barbie menjadi akar dari isu citra tubuh buruk yang dimiliki perempuan, terutama untuk anak-anak yang masa kecilnya dilekatkan dengan boneka tersebut.
Gemma Witcomb, psikolog dari Loughborough University mengatakan, beberapa penelitian telah menunjukkan kalau anak perempuan yang terekspos dengan Barbie memiliki rasa percaya diri rendah dan tidak menyukai tubuhnya. Dalam skala yang lebih besar lagi, idealisasi tubuh kurus dan langsing seperti Barbie pun menimbulkan kebiasan tidak sehat yang berujung pada gangguan makan.
“Proporsi tubuhnya Barbie menunjukkan body mass index (BMI) sangat rendah yang memungkinkannya untuk tidak menstruasi. Selain itu, probabilitas memiliki bentuk tubuhnya itu kurang dari satu di antara 100 ribu perempuan,” tulisnya di The Conversation.
Selain itu, tubuh Barbie yang ‘indah’ juga dinilai tercipta dari seksualisasi perempuan atau male gaze. Berkaitan dengan hal itu, boneka Barbie memang terinspirasi dari boneka Bild Lilli dari Jerman, sebuah karakter kartun dari komik untuk laki-laki dewasa. Ruth Handler, si penciptanya Barbie, membeli boneka itu di 1950-an kemudian memodifikasinya untuk cucunya, Barbara.
Baca juga: Banyak Versi Film Cinderella, Apakah Kisahnya Cukup Feminis?
Upaya Perbaikan Citra Barbie
Karena dorongan dari masyarakat atas dampak yang diberikannya, Mattel pun memutar otak untuk menemukan cara Barbie bisa kembali diterima. Barbie kemudian memperbarui diri dengan keragaman bentuk tubuh, warna kulit, bahkan pekerjaan yang menunjukkan pemberdayaan perempuan. Barbie dinilai sebagai tokoh feminis yang terlupakan.
Susan Shapiro, penulis buku Barbie: 60 Years of Inspiration, mengatakan Barbie yang hadir di 1960-an itu memberikan pilihan karier bagi perempuan. Selain itu, Barbie menjadi boneka yang menawarkan berbagai pilihan di antara boneka lain yang fokus pada keibuan perempuan. Penggambaran itu cukup radikal di masanya yang belum ramah kesetaraan gender. Ia pun semacam pelopor perempuan karier, ujarnya.
“Ada kebangkitan dalam Barbie. Mattel membuat pilihan yang bagus, seperti boneka Shero yang memiliki perempuan figur publik dan menjadikan mereka boneka, seperti Ashley Graham, Gabby Douglas dan Ava Duvernay, “ ujarnya dikutip dari i-D.
“Sekarang (Barbie) tentang menjadi pintar dan apapun yang diinginkan,” imbuhnya.
Baca juga: Cruella dan Cara Disney Menulis Ulang Karakter Antagonis Perempuan
Meskipun begitu, upaya tersebut juga tidak lepas dari aspek bisnis. Ketertarikan kepada Barbie perlahan-lahan terus menurun. BBC memberitakan Barbie yang memiliki citra khusus tidak menjadi favorit dan lebih memilih mainan lain untuk anak. Konsultan dari Brand Finance, Richard Haigh menyatakan, brand value boneka tersebut jatuh di antara 2015 sampai 2016.
Upaya menjadi inklusif itu pun menyerupai Victoria’s Secret yang ingin kembali relevan. Di era kesejahteraan sosial dan mengedepankan pemikiran woke, cara merayakan keragaman dikomodifikasi untuk bisnis agar tidak mati. Hal yang senada juga bisa diterapkan pada upaya mengubah citra Barbie lewat film.
Barbie dan Satir ‘Most Popular Girl in School’
Status feminis Barbie cukup terpolarisasi. Meski demikian, serial Youtube-nya tentang keseharian Barbie dan persahabatan memang meninggalkan pesan yang bagus. Namun, pencitraan Barbie yang berkesan ada pada serial Most Popular Girl in School (MPGIS). Alih-alih menawarkan Barbie yang cantik, baik hati, dan idaman semua orang, MPGIS memberikan Barbie yang suka nyablak, menyebalkan, dan konyol.
Serial stop motion dari Youtube itu menceritakan tentang kehidupan sehari-hari anak SMA di AS menggunakan boneka Barbie palsu. Ceritanya pun sering absurd tentang drama geng anak populer yang tidak masuk akal. Singkatnya MPGIS semacam gabungan antara film Mean Girls dan serial The Simpsons. Komedi satirnya yang mengejek perundung di sekolah menjadi salah satu faktor serial itu menggaet banyak penggemar di dunia maya.
MPGIS menggambarkan Barbie sebagai sosok yang tidak sempurna. Selain itu, menjadikan sosoknya sebagai bahan bercandaan semacam menghilangkan kekuatan dalam memberikan dampak negatif.
Oleh sebab itu, agar film Barbie feminis lebih relevan, maka Barbie harus memiliki kekurangan, atau berani menyindir stigma tertentu, seperti Legally Blonde yang mengejek serta memecahkan stereotip perempuan pirang bodoh. Jangan sampai, film Barbie itu tetap terjebak dalam stereotip apalagi melanggengkan white feminism yang heteronormatif.