Kebijakan e-KTP untuk Transgender: Progresif Tapi Tetap Harus Dikritik
Kemudahan membuat e-KTP untuk komunitas transgender dinilai sebagai langkah maju, tapi tidak tiba-tiba menghilangkan perilaku diskriminatif.
Jeje Bahri, seorang transpuan berusia 22 tahun, merasa campur aduk ketika mendengar berita April lalu bahwa komunitas transgender bisa membuat e-KTP tanpa Kartu Keluarga (KK) dan Akta Kelahiran. Ia senang karena hal itu menjadi langkah maju dalam pemenuhan hak warga negara.
“Awalnya saya tidak percaya, tapi baru ngeh bahwa informasi itu valid melalui media. Saat itu saya baru sadar ini beneran,” ujar Jeje kepada Magdalene (2/5).
Kebijakan tersebut diumumkan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri (Ditjen Dukcapil Kemendagri) pada rapat koordinasi virtual bersama organisasi untuk kesetaraan komunitas LGBT Suara Kita yang mengawal kebijakan.
Kebijakan Kemendagri tersebut diinisiasi agar komunitas transgender bisa membuat kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) tanpa harus membawa dokumen pribadi seperti KK dan Akta Kelahiran. Kedua hal itu kerap menjadi hambatan dalam pembuatan kartu identitas karena banyak transgender yang keluar atau diusir dari rumah dan tidak lagi memiliki akses untuk dokumen-dokumen tersebut. Dengan memiliki KTP, komunitas transgender bisa mengakses layanan publik seperti BPJS Kesehatan, dan keperluan lainnya.
“Jangan lupa juga ada kerja keras para aktivis yang melobi pemerintah hingga hak dasar [transgender] bisa terpenuhi,” ujar Jeje, yang tergabung dalam Qbukatabu, sebuah portal dan layanan tentang seksualitas basis queer serta feminisme.
Baca juga: Kasus Aprilio Manganang: Hukum Sudah Akomodatif, Masyarakat Belum
Proses Advokasi dan Pembuatan KTP yang Lebih Cair
Anggun Pradesha, seniman dan aktivis yang ikut mengawal kebijakan ini, mengatakan telah melakukan rapat dengan Direktur Pendaftaran Penduduk Ditjen Dukcapil Kemendagri, David Yama, (6/5) dalam unggahannya di Instagram. Rapat tersebut merupakan aksi lanjutan untuk pembuatan e-KTP bagi komunitas transgender setelah dimandatkan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, Zudan Arif Fakrulloh.
Anggun juga mengatakan proses advokasi pembuatan KTP saat ini sangat mudah dan cair. Berbeda dengan upaya yang sebelumnya dilakukan dengan Dinas Sosial (Dinsos) Provinsi DKI Jakarta yang mandek karena persyaratan administrasi yang rumit, organisasi pemohon kebijakan harus berbentuk yayasan yang terdaftar sebagai organisasi binaan Dinsos. Selain itu, diperlukan juga status orang terlantar untuk para individu yang hendak membuat KTP, ujarnya dalam satu video di Instagram.
“Upaya mengurus KTP sudah dimulai sejak 2014, tapi harus mendampingi satu per satu dengan mengurus surat secara manual. Lalu baru tahun ini, Suara Kita melakukan pendekatan dan mendapat kontak Pak Zudan,” ujar Anggun kepada Magdalene (7/5).
Ia menambahkan, Suara Kita telah mendata 265 orang transgender, namun hanya 54 data yang bisa terverifikasi, sementara yang lainnya terhambat oleh kelengkapan data yang diberikan. Karenanya, perlu verifikasi langsung dari individu yang bersangkutan agar data bisa direkam lalu e-KTP dapat dicetak, ujarnya.
Agar proses verifikasi tersebut berlangsung lancar, Anggun mengatakan pihaknya akan “menjemput bola” serta melakukan pendataan tahap awal di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) Juni ini.
Zudan mengonfirmasi bahwa pihak Ditjen Dukcapil akan membahas tindak lanjut hingga mengawal proses pembuatan KTP setelah perayaan Idul Fitri hingga Juni.
“[Kebijakan ini] agar semua Warga Negara Indonesia berusia 17 tahun ke atas punya KTP elektronik dan KK. Supaya mereka bisa mendapatkan pelayanan publik yang lebih baik,” ujarnya kepada Magdalene lewat pesan WhatsApp (7/5).
Baca juga: Lucinta Luna dan Obsesi Kita dengan Selangkangan Orang Lain
Syarat Nama dan Jenis Kelamin Saat Lahir Problematik
Dalam situs Kemendagri disebutkan, proses pendataan tidak harus dilakukan di Jakarta, tetapi seluruh Dinas Dukcapil di Indonesia. Sementara itu, untuk individu yang memiliki KTP versi lama, Dukcapil akan melakukan verifikasi dan pencocokan data agar e-KTP bisa dicetak.
Meski demikian, sejumlah warganet menilai persyaratan untuk mencantumkan nama dan jenis kelamin lahir memiliki unsur transfobia karena tidak mencerminkan ekspresi gender mereka saat ini.
Zudan mengatakan, pendataan KTP disesuaikan dengan identitas saat lahir karena tidak terdapat kolom jenis kelamin khusus transgender. Sementara itu, Kepala Dinas Dukcapil Sulawesi Selatan Sukarniaty Kondolele mengatakan, dalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk) hanya dikenal dua jenis kelamin, laki-laki dan perempuan. Sukarniaty dan Zudan mengatakan hal itu bisa berbeda jika telah melakukan perubahan nama dan jenis kelamin lewat Pengadilan Negeri.
“Terkait dengan transgender, pendokumentasian administrasi kependudukan tetap sesuai jenis kelamin saat lahir. Namun bisa bermohon untuk melakukan perubahan elemen data kependudukan [jenis kelamin] setelah ada dasar penetapan pengadilan,” jelas Sukarniaty kepada Magdalene (30/4).
Khanza Vina, Ketua Sanggar Waria Remaja (Swara) mengatakan isu nama dan jenis kelamin tersebut memiliki dampak pada komunitas transgender. Namun, saat ini kita harus fokus memprioritaskan kebutuhan KTP untuk transpuan yang bekerja di sektor informal dan individu yang kesulitan dalam akses layanan masyarakat karena tidak memiliki kartu identitas.
“Yang dibutuhkan lebih dahulu adalah KTP dan pemenuhan hak dasar. Nanti mungkin kita bisa bicara lebih luas tentang kolom jenis kelamin hingga identitas gender yang inklusif,” kata Khanza kepada Magdalene.
Ia mengatakan, kebijakan itu menjadi hal krusial untuk individu yang lari atau diusir dari rumah ketika masih sangat muda. Selain itu, untuk mereka yang tidak memiliki akses berkas identitas karena stigma dan diskriminasi dari keluarga yang belum bisa menerima identitas yang sesungguhnya.
“Harapannya, semakin banyak masyarakat yang peduli dengan kelompok minoritas, transgender, disabilitas, penganut agama penghayat, dan anak jalanan yang belum terpenuhi haknya sebagai warga negara,” Khanza menambahkan.
Baca juga: YouTuber Hina Transpuan: Natural Belum Tentu Benar
Potensi Diskriminasi Transgender Masih Ada
Bonni Rambatan, seorang penulis trans nonbiner, mengatakan kebijakan KTP sebagai langkah kecil yang patut diapresiasi, amun, kita harus tetap kritis karena kebijakan ini tidak serta merta menciptakan masyarakat ramah komunitas transgender. Potensi terjadinya diskriminasi dari masyarakat hingga institusi pemerintahan tetap menjadi ancaman.
“Hal ini sulit dibingkai sebagai visibilitas transgender karena masih ada sentimen transfobia. Pemerintah tidak secara tiba-tiba baik hati. Harus diingat ada aktivis transpuan yang berjuang untuk ini dan perjuangan masih panjang,” ujarnya kepada Magdalene (1/5).
Ia menekankan hal penting yang dibutuhkan komunitas transgender adalah advokasi secara struktural agar terciptanya ruang kerja hingga proses hukum penggantian identitas yang ramah transgender.
Perspektif non-diskriminatif itu juga dibutuhkan dari sektor kesehatan karena kebijakan tersebut mengharapkan hak dan akses layanan kesehatan setara bagi seluruh warga negara. Maka dari itu, dibutuhkan personel tenaga kesehatan yang siap melayani tanpa stigma dan memahami reaksi hormon berbeda dari seseorang setelah transisi, ujarnya.
“Mencari dan konsultasi dengan psikiater yang paham trauma atau gender dysphoria di komunitas transgender juga sulit,” ujar Bonni.
“Selama masyarakat masih memandang kesehatan dikaitkan dengan biologis cis-gender dan biner [pandangan non-diskriminatif] itu masih jauh,” ia menambahkan.
Jeje mengatakan, kesadaraan menjadi salah satu kunci melawan stigma yang telah mengakar di komunitas LGBT. Rasa tidak ingin tahu dan sifat terbuka karena stigma membuat masyarakat merasa nyaman melakukan diskriminasi.
“Banyak tenaga kesehatan yang tidak tahu cara menghadapi kami. Masih diskriminatif, tidak paham dan kebingungan karena ketidaktahuan menangani pasien,” ujarnya.
Ilustrasi oleh Karina Tungari