Culture Prose & Poem

Meneguk Air Mata

Lebaran ini, kami meneguk air mata untuk Ibu yang jatuh berderai. #cerpen

Avatar
  • May 12, 2021
  • 9 min read
  • 861 Views
Meneguk Air Mata

Lebaran kali ini, aku mengambil air wudu untuk Ibu. Ini bukan untuk salat hari raya.

Pagi ini, aku merasakan air keran di masjid tak sedingin air yang mengalir memandikan Ibu, tetesan air mandi untuk Ibu yang terakhir kali. Karena masih banyak yang harus diurus dengan kepala dingin, aku berupaya menahan air mata yang tumpah. Tak ada satu pun keluarga yang pernah menjadwalkan pemakaman orang tua pada hari raya. Kepulangan abadi adalah satu-satunya acara yang terselenggara tanpa rapat persiapan, apalagi gladi bersih. Lagi-lagi, aku yang harus  maju untuk mengerjakan begitu banyak hal—persis saat Ayah berpulang—sedangkan Amira dan Anisa duduk di luar masjid, entah mengurusi apa. Semoga salah satu dari mereka sudah menelepon pemakaman.

 

 

Benar saja. Amira sudah menelepon pemakaman. Di  arena pemakaman sudah terlihat tenda yang sudah dibangun menaungi tanah pemakaman yang akan menjadi rumah Ibu. Seperti biasa, pemakaman selalu ramai, seperti hari raya biasanya karena para keluarga dan kerabat ingin melepas rindu dan mengucap doa. Bagi keluarga kami, hari raya itu kami justru mengucapkan selamat jalan dan melepas Ibu.

Tidak banyak orang yang datang mengantar Ibu pulang. Hanya kami, ketiga  anaknya; beberapa teman kantor Ibu, dan anggota keluarga yang belum mudik. Kami disambut dua orang tukang gali kubur yang tengah mengelap keringat yang bercampur tanah. Melihat bercak tanah yang menempel di kaos putih tipisnya membuatku berasumsi: rumah terakhir Ibu bukanlah rumah pertama yang mereka bangun hari ini.  

Aku memandang sekitar pemakaman yang cukup luas yang terdiri dari berbaris-baris nisan. Ada tiga tenda lain. Ternyata bukan hanya kami yang berduka hari ini. Aku sedikit merasa ditemani oleh perasaan yang tak bisa kuberi nama ini.

Baca juga: Hilangnya Sono

Seorang ustaz mengarahkanku saat aku perlahan meletakkan Ibu di liang lahat. Ini bukan kali pertama aku ke pemakaman, tetapi ini  pengalaman pertamaku mengazani seseorang sebelum disemayamkan. Dan aku masih belum tahu apa yang kurasakan.

Proses pemakaman Ibu tidak mengalami banyak masalah. Mungkin karena Anisa dan aku sudah banyak belajar dari pemakaman Ayah. Sementara, Amira sibuk mondar-mandir seperti mahasiswa magang di kantor baru. Ia menyibukkan diri dengan mengangkat telepon dan membalas pesan.

“Aldi, orang-orang akan berkunjung ke rumah,” kata Amira. Ia menunjukkan teleponnya yang sejak tadi berisik betul karena banjir pesan. “Kita perlu beli apa, Al?”  

Aku teringat acara buka puasa pekan lalu. “Minta tolong Anisa untuk menghubungi  ibu penjual snack untuk acara  buka puasa. Air kemasan juga masih ada sisa kan?” kataku.

Kami pulang, meninggalkan Ibu di rumahnya yang bau.

                                                                        ***

“Ibumu itu…,” ujar seorang teman kantor Ibu yang kemudian melanjutkan kalimatnya dengan kisah tentang Ibu.

Anisa mengangguk halus kepada siapa pun yang bersemangat menceritakan pengalaman bersama Ibu. Senyum Anisa memperlihatkan kesabaran. Tak seperti Amira yang sudah tenggelam lagi dalam berisiknya bunyi notifikasi, Anisa tampak menikmati setiap keping kisah tentang Ibu yang tidak kami ketahui. Satu-satunya hal yang mampu mengalihkan perhatian Amira adalah tenggorokannya yang kering sehingga dia mengambil segelas air kemasan beserta sedotan plastik dan menawarkanku.

Air putih adalah hal termewah pada acara yang sumpek, terutama jika ditemani beberapa butir batu es. Walau kami sudah meletakkan dua  kipas angin, udara tetap gerah dan para tamu tampak bercucuran keringat. Bau tubuhku selepas dari kuburan juga masih lekat di tubuh. Makanan ringan yang dibeli Anisa masih menggunung. Teh kemasan dari teman Amira juga belum dibuka. Para tamu tampaknya mencari air putih.

“Mas Aldi, air putih … habis…,” bisik Anisa.

Sebelum aku berdiri, Amira sudah bangun dari tempat duduknya. Baginya, ini alasan yang kuat untuk mengundurkan diri dari gerombolan ibu yang sibuk berbagi cerita tentang Ibu. Dengan sigap Ami meluncur ke dapur.

“Ibumu itu…,” ujar seorang tante lainnya kepada Anisa yang masih yang  bertahan mendengarkan sambil mengangguk-angguk seperti nona rumah yang baik. Dari semua cerita Si Tante, kami jadi tahu bahwa setiap Agustus, Ibu sering lembur karena acara ulang tahun perusahaan.

Aku bisa melihat terselip kecemasan di wajah Anisa, karena Amira belum juga kembali dari dapur.

“Terakhir, Al, ” kata Amira yang membawa kardus gelas air putih ke ruang tamu.

Baca juga: Ibu Sudah Melawan

Rumah ini kini adalah rumah duka. Akan tetapi, Ibu selalu mengajarkan untuk jadi tuan rumah yang baik. Suguhkan apa yang ada. Berikan kenyamanan bagi yang datang ke rumah. Itu artinya, jika di rumah tidak ada teh, kopi, atau sirop, kita tetap bisa jadi tuan rumah yang budiman dengan cara memberikan mereka segelas air putih. Perkataan Ibu yang ini lekat di kepalaku.

Sebetulnya, di ruangan ini ada lima gelas air kemasan yang sudah dibuka tapi entah milik siapa. Semua berpencar. Orang-orang begitu pandai menyia-nyiakan sesuatu yang mudah diperoleh. Bisa saja kugabungkan air itu menjadi satu gelas penuh. Tiba-tiba, aku  merasakan Ibu menangkap pemikiranku. Ia memang sudah berpulang, tapi rasanya ia belum jauh.

 Bu, ini hari Lebaran. Warung dekat rumah sedang tutup. Banyak orang membuka rumahnya untuk para tamu, semua orang membeli air untuk menjadi tuan rumah budiman, Bu. Tetangga juga mudik semua. Mau minta tolong sama siapa, Bu?

“Aldi, di laci ada uang Mbak Amira. Ambil aja untuk membeli air.” Si Sulung Amira mengeluarkan perintah, seperti biasa.

Di laci itu, aku menemukan tumpukan bon, kunci, pulpen, uang, dan serenceng sedotan.  Seharusnya ada gelas air kemasan di sini! Setidaknya satu! Sebelum aku menemukan harta karun itu, Amira sudah berdiri di sampingku. Artinya, aku sudah harus bergegas.

***

Jajaran minimarket di jalan seperti sederetan tong kosong nyaring yang bunyinya. Mereka memasarkan diri sebagai terlengkap tapi nyatanya tak bisa memenuhi keinginanku di hari yang murung ini.

Setelah berkeliling belasan minimarket dan warung, ternyata stok air kemasan mereka kosong semua.

“Kalau Lebaran memang gini, Mas,” demikian kata Pak Kasir.

“Rokoknya satu, deh,” ujarku setengah putus asa.

Pak Kasir menekan-nekan tombol mesin kasirnya. Aku tergoda memandang brosur promo di meja kasir. Biasanya brosur minimarket atau supermarket seperti inilah yang dibawa Ibu pulang ke rumah. Katanya, berhemat itu baik. Jajan harus di waktu yang tepat. Ah, tapi percuma kalau sekardus air putih promo dari tiga puluh ribu jadi dua puluh ribu kalau produknya tidak ada!

“Mau sekalian isi pulsanya, Mas?”

Aku tersenyum tipis, menggelengkan kepala, dan menggerutu karena mereka semua kehabisan air mineral.

“Kembaliannya boleh didonasikan?”

Ya Tuhan, kalau aku memutuskan untuk donasi, tolong mudahkan pencarian air ini.

Aku mengangguk, menyelesaikan transaksi, lalu keluar minimarket.

Sejenak, aku duduk di kursi kayu dekat tukang martabak yang sedang tutup. Ketika hendak menyalakan rokok, aku baru sadar aku lupa membeli korek api. Untungnya, dunia masih menyediakan kebaikan. Tukang parkir muncul tiba-tiba—selalu begitu ya—dan menawarkanku korek api. Akhirnya aku beristirahat.

Aku melepas lelah dari tamu di rumah, dari teman Amira dan Anisa, dari dongeng tentang Ibu, dan tentunya dari kalimat “turut berduka cita”. Seandainya aku meneguk air setiap mendengar kalimat itu, sudah pasti aku kembung sekarang. Atau mabuk air putih.

Telepon berdering. Tentu saja panggilan dari Amira. Belum sempat aku menyapa, ia sudah menyambarku dengan pertanyaan-pertanyaan. Dapat air atau tidak? Sudah ke mana saja? Masih mau cari atau mau pulang saja?

“Mbak, aku pulang aja, deh. Tamu juga suruh pulang aja.”

Satu batang rokok lagi, baru aku pulang.

Aldi, Aldi, Aldi. Mengurus acara fakultas, bisa. Rapat sampai subuh, sanggup. Negosiasi dengan yang petinggi kampus, becus. Timur ke barat cari vendor, lancar. Jualan stiker, ludes. Beli konsumsi untuk panitia, mampu. Menjamu tamu di rumah dengan air putih? Kacau!

Tukang parkir itu muncul lagi di hadapanku.

“Mas, mobilnya ngalingin motor mau keluar.”

Racau lamunanku terpaksa berhenti, berganti dengan deru mesin mobilku. Si Tukang Parkir menyuruhku “terus, terus”. Begitu tugasnya selesai, ia mendekat ke jendela mobil. Aku menurunkan jendela, memberikannya uang, dan melihatnya menggigit sedotan! Dari mana dia bisa dapat sedotan? Pasti dari air kemasan di kardus ‘kan?

Aku memilih rute pulang yang berbeda dengan rute berangkat. Barangkali di rute pulang ada minimarket yang punya stok kardus air putih. Tapi tetap saja terjadi kelangkaan air putih. Yang ada ialah orang-orang naik motor. Satu motor bertiga hingga berlima. Rantang di tangan kanan. Ketupat di tangan kiri. Dan pada saat itu, aku baru ingat lagi: hari ini adalah hari raya.

Baca juga: Besok Giliranku Mati

Rumah duka yang sebelumnya penuh gema cerita tamu tentang Ibu, kini kembali menjadi rumah kami. Sepi. Amira memunguti gelas-gelas air kemasan yang tidak kosong. Masih saja tebersit di kepalaku, semua air itu bisa digabung. Dari mana orang-orang itu belajar tidak menghargai air? Sebuah sumber daya. Elemen yang juga membentuk diri manusia.

Saat Amira permisi ke dapur untuk membuang sampah, aku mulai menggulung karpet. Saat itu, sembari menggulung, kulihat Anisa yang tengah selonjoran di teras tampak lelah. Anisa melepas kerudungnya, mengusap air keringat yang bercucuran, membiarkan dia melepas lelah karena tampaknya dia  belum istirahat sama sekali selama aku mencari air. Saat masuk ke ruang tamu, ia mengacak-acak kardus air kemasan. Air mukanya kusut. Bibirnya semrawut. Aku hanya bisa tersenyum pasrah.

“Aku ambil air dari dispenser, deh. Mas mau juga?” tanya Anisa.

Aku mengangguk.

Bu, ini hari Lebaran. Biasanya kita sedang lelah-lelahnya setelah keliling ke rumah Pakde Hendar, Budhe Nani, dan Eyang Slamet. Sampai rumah, kita semua lomba lari ke dispenser mengambil air. Membuka kulkas. Mencari es batu. Melepas dahaga.

“Aldi,” seru Amira, “dispenser kita rusak ya?”

Di depan dispenser, Anisa dan Amira duduk di lantai sembari mendongakkan kepala, merapatkan mata, mengerutkan alis. Air di gelas belum penuh, bahkan belum sampai setengahnya. Aku mengguncangkan galon, supaya air turun.

“Coba dibuka sarung galonnya, Mas. Jangan-jangan betulan habis.” kata Anisa.

Air habis. Benar-benar habis. Sedangkan, air di gelas belum penuh. Aku mendadak lesu dan tubuhku ikut jatuh ke lantai. Kami bertiga saling pandang, mengusap air keringat di wajah masing-masing, melirik kardus air kemasan yang kosong dan mengutuk gelas air kemasan yang sudah terbuka tapi bersisa. Kami menarik napas bersama-sama. Malam itu, kami meneguk air mata.  Air mata kami untuk ibu yang akhirnya runtuh berderai.

Ilustrasi oleh: Adhitya Pattisahusiwa


Avatar
About Author

Firnita

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *