Buat Ekspektasi Tak Realistis, Yang Saya Pelajari dari Film Romcom Remaja
Menonton film komedi romantis remaja menyenangkan karena alur yang ringan dan menjadi referensi percintaan kaum lajang tidak pernah pacaran.
Sebagai manusia seperempat baya tanpa pengalaman romansa dari remaja sampai dewasa (tidak pernah pacaran), pengetahuan saya tentang percintaan datang dari film. Saya bisa menghabiskan waktu seharian menonton film romcom remaja bahkan membatalkan nongkrong bareng teman hanya untuk nonton.
Saya yang sering risi ditanya soal love life pribadi, tapi suka nonton romcom sampai lupa waktu memang sedikit kontradiktif. Namun, layar kaca yang menjadi batas semacam melindungi saya dari emosi meledak-ledak karena cinta yang cringe sekaligus bisa merasakan ‘oh, ini ya yang namanya jatuh cinta’. Intinya, romcom membuat candu karena tidak harus susah berpikir. Saya bisa mematikan otak dan menikmatinya secara maksimal, tidak seperti saat menonton Inception dan Interstellar.
Meskipun ditonton tanpa ‘ngotak’, tidak berarti film romcom bisa dipukul rata tidak berkualitas. Walaupun ada beberapa yang memiliki plot murahan dan tidak jelas, seperti trilogi The Kissing Booth (2018-2021) dan After (2019). Namun, menurut Constance Grady, penulis di media Vox, penilaian film romcom untuk orang ‘bodoh’ dan sinema jelek berakar dari pemahaman genre itu ditujukan kepada perempuan. Karenanya, itu disebut tidak memiliki nilai dan menjadi produk budaya yang harus dijauhi.
“Film romantis komedi yang paling baik, membawa kebahagiaan. Mereka tentang hubungan antarmanusia dan orang saling mengubah satu sama lain untuk menjadi yang terbaik. Semuanya adalah isu kompleks yang sebenarnya juga kayak mendapatkan perhatian dan film romcom mendekati isu itu dengan cara menyenangkan,” ujarnya.
Tidak semua film romcom remaja punya kualitasnya jelek. To All The Boys I’ve Loved Before (2018), misalnya, berhasil menarik perhatian kita dan menjadi film komedi romantis terbaik satu dekade terakhir. Jalan cerita pura-pura pacaran juga tampak sangat basic, tapi ketika Lara Jean dan Peter Kavinsky akhirnya pacaran sungguha, tetap saja membuat bahagia dan geregetan. Singkatnya, tidak ada yang salah dengan menonton film romcom.
Baca juga: 7 Hal yang Bisa Bikin Sinetron Istri Terobsesi K-pop Lebih Meyakinkan
Belakangan ini saya juga jadi sering menonton film komedi romantis remaja. Alasannya karena satu per satu teman sekolah menikah dengan pacar mereka saat remaja, sedangkan saya sibuk main otome games atau gim simulasi perkencanan. Akhirnya selama tiga hari saya menonton film teen romcom klasik untuk ‘merasakan’ cinta monyet yang tidak sempat saya alami. Berikut beberapa hal yang \saya petik dari binge watching film romcom remaja:
1. Suka Rangga karena dia Nicholas Saputra atau Tsundere?
Rasanya kurang afdol kalau tidak menonton ratu film komedi romantisnya Indonesia, Ada Apa dengan Cinta (2002). Setelah menonton ulang di usia yang bisa dibilang dewasa saya semacam bisa melihat AADC dengan lensa baru dan lebih menghargai tarik ulurnya Cinta dan Rangga. Namun, sekarang saya malah dibuat sedikit kesal dengan sifat cool Rangga. Saya pun bertanya-tanya kenapa sih orang-orang sangat mengidolakan Rangga?
Jawaban paling tepat mungkin karena diperankan oleh Nicholas Saputra yang bisa buat satu negara jatuh cinta. Atau karena dia semi-tsundere yang dalam cerita romantis menjadi semacam ‘formula’ membuat perempuan jatuh cinta. Situasi ini mengingatkan saya pada Patrick Verona dalam film remaja 10 Things I Hate About You (1999). Sama seperti respons orang kepada Rangga, saya menyukainya karena diperankan Heath Ledger. Yah, sekali lagi saya manusia yang suka kontradiksi diri sendiri.
2. Kenapa Harus Luar Negeri?
Satu hal yang membuat saya kesal dengan film Indonesia karena ketagihan ke luar negeri untuk menambah drama. Memang, sih ketika Adit dan Tita dari Eiffel…I’m in Love berkencan di Paris membuat saya ‘jatuh pingsan’. Tapi, lama kelamaan film Indonesia yang menjual mimpi ke luar negeri membuat saya sedikit muak.
Sebagai anak daerah yang menyaksikan cerita cinta teman-teman mentok makan bakso tusuk di pinggir jalan, film romcom semacam ini tampak sangat mengada-ada. Saya butuh lebih banyak kisah romantis remaja makan mi instan bareng di warung’ karena sebenarnya anak remaja enggak punya banyak duit.
Baca juga: ‘Emily in Paris’ Serial Absurd, Tapi Tontonan Sempurna di Kala Pandemi
3. Kehidupan Nyata Enggak Punya ‘Soundtrack’
Saya sangat menyayangkan kehidupan nyata tidak punya soundtrack atau lagu yang jadi latar belakang untuk semua kejadian hidup. Sama seperti di AADC, saya butuh Melly Goeslaw menyanyikan Bimbang setiap saya kebingungan. Saya juga berharap Patrick Verona menyanyikan I Can’t Take My Eyes Off of You untuk membuat masa remaja saya lebih ‘berwarna’. Seperti film-film komedi romantis yang punya lagu khas, saya butuh soundtrack untuk membuat perjalanan naik bis antarkota jadi lebih syahdu.
4. Plot Perempuan Jelek yang Enggak Laku Bikin ‘Cringe’
Saya sangat menyukai Crazy Little Thing Called Love (2010) karena menjadi gerbang untuk film-film Thailand. Namun, saya jadi sering merinding cringe dengan plot dari buruk rupa jadi cantik. Pasalnya, Nam (Pimchanok Luevisadpaibul), pemeran utama film itu, memang sudah cantik dari dulu dan hanya ‘dibuat’ jelek dengan ‘kulit hitam’ yang sebenarnya agak problematis. Jadi enggak kaget amat ketika dia ‘mendadak’ cantik.
Senada dengan film She’s All That (1999), Laney Boggs (Rachael Leigh Cook) yang dijuluki social pariah sudah cantik dan ‘dibuat jelek’ dengan kacamata (sebuah penghinaan untuk orang berkacamata). Formula sama juga dipakai dengan versi reboot-nya, He’s All That (2021) . Memang benar, remaja zaman sekarang penampilannya lebih rapi. Tapi, tidak semua anak remaja bisa seperti itu karena banyak juga yang agak ‘culun’.
Baca juga: Keintiman ‘Normal People’ yang Membuat Gemas
5. Saya Jadi Susah Cari Pacar, Ekspektasinya Ketinggian
Menonton film romcom remaja membuat saya bertanya ‘Mereka orang Indonesia kok dibolehin pacaran?’ ketika melihat Milea yang akrab dengan ibunya Dilan. Milea juga tidak realistis dengan gaya rambut yang enggak ‘mekar’ seperti anak 90-an.
Namun, tetap saja menonton film komedi romantis remaja memberikan rasa bittersweet apalagi mengenang masa sekolah. Misalnya di film Taiwan You Are The Apple of My Eye (2011) yang relatable karena menikah biasanya tidak sama kekasih di sekolah. Selain itu, ketika menonton film semacam ini saya jadi sadar alasan langgeng dengan status jomblo, kerap berharap meet cute di toko buku dan ekspektasi yang ketinggian.