June 23, 2025
Issues Opini Politics & Society

Sudah Kuartal Kedua, Apa Kabar ‘No Buy Challenge 2025’?

Ia hadir bukan sebagai gerakan anti-konsumsi, ia hadir sebagai gerakan perlawanan halus, jeritan atas himpitan ekonomi, sekaligus pertanda buat pemerintah segera bertindak.

  • May 22, 2025
  • 6 min read
  • 1029 Views
Sudah Kuartal Kedua, Apa Kabar ‘No Buy Challenge 2025’?

2025 menginjak kuartal kedua, tapi kantong masih tercekik. Alias semua harus serba diirit, belum ada perubahan berarti sejak inflasi meningkat, dan PHK massal terjadi di mana-mana. Di tengah kenaikan harga kebutuhan pokok yang membuat ibu-ibu menjerit histeris, tahun lalu muncul sebuah gerakan akar rumput yang—ironisnya—tidak dirancang oleh Kementerian atau Komite Strategis Nasional mana pun. No Buy Challenge 2025, namanya.

Ia adalah respons publik untuk ikat pinggang kencang-kencang, di tengah krisis ekonomi. Sebuah tantangan untuk tidak membeli apa pun selain yang benar-benar dibutuhkan selama 2025. Ia bisa jadi tindakan sederhana, tapi dalam praktiknya muncul sebagai bentuk perlawanan halus, refleksi mendalam, sekaligus—mari kita akui—jeritan para perempuan lintas segmen atas himpitan hidup.

Gerakan ini tidak lahir dari ruang seminar mahal, yang dipromosikan oleh content creator terkenal. Ia tumbuh dari dapur-dapur para ibu yang mengobrol di beberapa forum online, dari grup WhatsApp perempuan-perempuan lintas profesi yang mengeluh harga telur naik lagi, dari feed Instagram perempuan pekerja yang harus memilih antara bayar cicilan kendaraan atau bayar UKT anak yang terus melejit. Dalam lanskap digital yang dipenuhi euforia belanja daring, No Buy Challenge tampil seperti tamparan.

Ia bukan anti-konsumsi, tapi ajakan untuk berpikir: Apakah hari ini kita membeli karena butuh, atau karena sedang menambal kekosongan eksistensial?

Baca juga: Apa itu ‘No Buy Challenge’: Ada Perlawanan, Ada Penghematan

Inflasi Tinggi dan Upah yang Segini-gini Aja

Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat inflasi nasional per Februari 2025 tercatat 5,2 persen, dengan lonjakan paling signifikan di sektor pangan dan transportasi. Sementara itu, upah riil buruh nyaris stagnan, bahkan menurun di beberapa provinsi.

Di hadapan realitas ini, tidak heran jika banyak perempuan—sebagai pengatur anggaran domestik—memutar otak agar uang belanja cukup sampai akhir bulan, bahkan jika itu berarti mengganti merek sabun cuci atau menunda beli bra baru sampai kawatnya mulai menyerah.

Di TikTok dan Instagram, gerakan ini menemukan gaung. Perempuan dari berbagai latar belakang membagikan strategi bertahan: Menyusun anggaran mingguan, membuat daftar ‘non-essential’ yang dikunci seperti kotak Pandora, bahkan merekomendasikan ‘detoks belanja’ sebagai bentuk self-care yang lebih sehat daripada sheet mask Korea.

Dalam akun instagramnya, Cempaka Asriani (@casriani), seorang pengamat fashion adalah contohnya. Ia giat berkampanye tentang ‘Mindful Consumption’, sebuah gerakan yang sadar bahwa konsumsi yang sehat adalah yang terukur dan dibutuhkan. Gerakan ini adalah protes terhadap budaya over-consumptive yang ramai dipropagandakan media.

Dalam Podcast Rahasia Media, Di Balik Influencer Culture, Cempaka juga membagikan tips belanja cermat yang bisa menghindarkan kita dari budaya belanja berlebihan.

“Kenapa sih saat kita mau beli sesuatu kita harus mikir dulu? Seenggaknya pertama, buat apa? Apakah kita mampu atau enggak? Dananya ada atau enggak? Mengganggu pengeluaran gue buat yang lain apa enggak? Gue bisa pakai dalam jangka panjang atau enggak?” kata Cempaka.

Hal-hal seperti ini, tentunya bisa menjadi patron bagi beberapa perempuan untuk memperketat keinginan untuk berbelanja secara impulsif.

Mereka bukan hanya peserta tantangan, tapi sebuah gerakan pembuat narasi tandingan—bahwa hemat bukan selalu hasil dari pilihan, melainkan strategi bertahan hidup.

Baca juga: ‘Buy Now! The Shopping Conspiracy’ Bongkar Cara Perusahaan Bikin Kamu Belanja Terus

Derita Struktural: Negara, Kamu Ngapain Aja?

Yang jadi menarik adalah cara negara merespons—atau lebih tepatnya, tidak merespons. No Buy Challenge disambut hangat seperti seorang anak yang datang mengetuk pintu orang tua membawa nilai rapor bagus-bagus, padahal dia sudah belajar tanpa listrik dan wifi. Pemerintah tampak senang: Rakyatnya berinisiatif hemat, kreatif mengelola keuangan, mandiri dalam menghadapi krisis. Tentu, ini lebih murah daripada memberi subsidi. Mengapa negara harus repot dengan kebijakan fiskal yang progresif jika warga sudah bisa survival sendiri dengan metode Marie Kondo dan efisiensi via spreadsheet Excel?

Perempuan yang menolak belanja tidak dianggap sebagai simbol krisis, melainkan duta ketahanan ekonomi rumah tangga. Kita tidak lagi bicara soal ketimpangan upah, ketidakpastian kerja sektor informal, atau minimnya jaring pengaman sosial. Kita bicara tentang “gaya hidup minimalis”—yang sebenarnya lahir dari keterpaksaan. Sebuah bentuk glamorisasi dari kemiskinan terstruktur, lengkap dengan filter pastel dan caption inspiratif.

Tentu saja, lahir dari mereka yang memutar otak kreatif karena terpaksa, dan berusaha tetap tersenyum meski banyak anggaran harus dipotong.

Baca juga: Aku Ngobrol dengan Penganut YONO tentang Hidup Anti-FOMO, ini Katanya

Bukan Cuma tentang Penghematan, Tolak Budaya Konsumtif

Namun di balik sindiran itu, No Buy Challenge juga menunjukkan sesuatu yang lebih dalam: Bagaimana perempuan tetap menemukan ruang agensi di tengah situasi yang menekan. Alih-alih pasrah, mereka mengubah kecemasan menjadi kontrol. Gerakan ini adalah cara perempuan memegang kendali atas hidupnya, sekecil apa pun. Menolak membeli bisa jadi satu-satunya keputusan finansial yang bisa mereka buat secara penuh: Tentu saja, dengan sekuat tenaga menolak intervensi iklan, atau algoritma e-commerce.

Di sinilah letak daya kritisnya. Gerakan ini bukan hanya tentang penghematan, tapi juga tentang penolakan terhadap budaya konsumtif yang telah lama dipelihara oleh kapitalisme. Penolakan terhadap narasi bahwa kebahagiaan bisa dibeli, bahwa menjadi perempuan berarti menjadi pasar yang selalu lapar akan lipstik baru dan gantungan boneka Labubu edisi terbatas. Di balik No Buy Challenge, ada upaya perempuan merebut kembali narasi atas tubuh, waktu, dan dompet mereka.

Namun, jangan sampai agensi ini disalahartikan sebagai solusi struktural. No Buy Challenge bukan jawaban atas krisis ekonomi, melainkan cermin yang memantulkan betapa sistem sosial kita masih bertumpu pada daya tahan individu, bukan pada keadilan kolektif. Perempuan boleh pintar mengatur belanja, tapi itu tidak mengubah fakta bahwa banyak dari mereka dibayar lebih rendah, mendapat beban ganda, dan minim dukungan negara dalam urusan pengasuhan dan perawatan.

Maka jika hari ini perempuan memilih tidak membeli, itu bukan karena mereka tidak mampu, tetapi karena mereka terlalu sering dipaksa mampu. Terlalu sering diminta bertahan tanpa diberi perlindungan, terlalu sering diminta berhemat atas nama ketahanan nasional, padahal yang rapuh bukan dapur mereka—melainkan struktur sosial yang membiarkan mereka sendirian menanggung beban.

No Buy Challenge 2025 adalah tanda zaman. Ia menunjukkan bahwa perempuan tak pernah kehabisan cara untuk menyiasati hidup. Tapi, jangan biarkan kecakapan ini dijadikan dalih negara untuk abai. Di balik kreativitas mereka menyulap keterbatasan menjadi kebijakan rumah tangga.

Ironisnya, di tengah inflasi tahunan yang tercatat hanya 0,76 persen pada Januari 2025—terendah dalam 25 tahun terakhir—harga kebutuhan pokok seperti minyak goreng, beras, dan kopi bubuk justru tetap naik. Sementara itu, kelompok perawatan pribadi dan jasa lainnya mengalami inflasi sebesar 8,43 persen pada Februari 2025 .

Jika pemerintah terus mengandalkan ketahanan domestik tanpa memberikan dukungan struktural, jangan heran jika No Buy Challenge berubah jadi gerakan turun ke jalan, agar perhatian pemerintah betul-betul jatuh di sorot lampu yang tepat.

Foggy FF- seorang ibu, novelis dan esais tinggal di Bandung. Menulis tentang isu perempuan dan kesehatan mental.

Ilustrasi oleh Karina Tungari



#waveforequality
About Author

Foggy FF