‘Mid-Century Modern’: Sitkom Nostalgia yang Tersesat di Era ‘Streaming’

(mengandung sedikit spoiler)
Di tengah menurunnya minat terhadap stasiun televisi konvensional, kehadiran sebuah serial komedi situasi atau sitkom klasik dengan format multicam, direkam di studio dengan tawa penonton langsung, terasa seperti angin segar. Ada alasan mengapa banyak dari kita masih kembali menonton ulang Friends, Seinfeld, atau Will & Grace. Sitkom-sitkom ini menawarkan kenyamanan sederhana: alur cerita ringan, humor yang mudah ditebak, dan karakter-karakter yang gampang dicintai. Setelah hari yang melelahkan, kadang kita hanya ingin tontonan yang tidak menuntut banyak usaha.
Di atas kertas, Mid-Century Modern memenuhi semua kriteria sitkom yang bagus. Dikembangkan duo Will & Grace, Max Mutchnick dan David Kohan, disutradarai maestro James Burrows (Cheers, Frasier sampai Friends), serta dibintangi aktor-aktor andal Nathan Lane, Matt Bomer, Nathan Lee Graham, dan Linda Lavin, seri ini seharusnya sangat menjanjikan. Tapi realitasnya, Mid-Century Modern belum mampu memberikan alasan kenapa ia harus hadir sekarang.
Baca juga: ‘Abbott Elementary’ dan Kembalinya Sitkom Bikinan TV
Premisnya sederhana: seusai kematian salah satu sahabat mereka, tiga laki-laki gay paruh baya memutuskan tinggal bersama. Arthur (Nathan Lee Graham), mantan editor Vogue, kesulitan mengikuti biaya hidup New York; Jerry (Matt Bomer) adalah pramugara tampan namun lugu; sementara Bunny (Nathan Lane) merupakan pebisnis baju dalam perempuan sukses di Palm Springs yang hidup dengan ibunya yang bermulut tajam, Sybil (Linda Lavin). Mereka belajar beradaptasi dengan kepribadian flamboyan masing-masing.
Di era konten melimpah, kisah LGBT telah berevolusi dari tabu menjadi ragam luas, dari Heartstopper yang manis, Elite yang berani, sampai Love in the Big City yang mengharu biru. Sayangnya, Mid-Century Modern sibuk dengan leluconnya sendiri dan lupa bahwa ia tayang di 2025, bukan 1998.
Menempatkan karakter yang sudah terlibas zaman dengan konteks gay sebenarnya adalah ide jenius. Kebanyakan serial TV yang membahas soal LGBT selalu fokus dengan generasi anak muda. Jarang sekali ada yang mau membahas tentang bagaimana generasi LGBT dewasa menghadapi dunia yang sudah berbeda dengan ketika pertama kali Will & Grace tayang di TV. Mid-Century Modern mempunyai peluang untuk membahas soal ini sambil mengajak penontonnya tertawa tapi yang terjadi adalah sebuah sitkom yang ketinggalan zaman.
Padahal, menyorot generasi gay yang menua adalah ide brilian karena topik ini jarang diangkat. Kesempatan menelusuri cara mereka menghadapi perubahan zaman terbuang percuma. Humor yang muncul terasa seperti potongan cadangan Will & Grace: one-liner lawas tanpa sentuhan kekinian. Karakter bisa saja “dipaksa” berbaur di Fire Island atau Coachella untuk memancing komedi baru, namun serial ini lebih nyaman berdebat ala Golden Girls. Sybil memang menghidupkan suasana, tetapi tetap terperangkap formula usang.
Baca juga: Review ‘Mom’: Sitkom Lucu tentang Jadi Ibu Tunggal
Menyaksikan Mid-Century Modern memunculkan pertanyaan apakah kreatornya melihat kompetisi komedi yang hadir saat ini. Audiens tak lagi puas hanya dengan punchline dua kalimat sekali tempel. Tema kesepian dan found family sudah diperas habis, jadi kita butuh sudut pandang segar. Abbott Elementary, meski bukan multicam, membuktikan format klasik bisa hadir dengan humor kekinian, karakter beragam, dan naskah tajam. Mid-Century Modern justru masih mengandalkan candaan pria gay yang bernyanyi sendirian di rumah.
Yang juga mengecewakan adalah karakter-karakter utamanya yang kurang berwarna. Bunny dan Arthur digambarkan sebagai laki-laki gay yang ekstra, bedanya hanya di volume dan tingkat ketajaman lidah. Jerry mungkin paling berbeda karena dia digambarkan yang paling good-looking dan bloon. Tapi ia pun tidak dieksplor lebih jauh padahal ia mempunyai latar belakang yang paling menarik sebgai orang yang meninggalkan Mormonism dan istrinya.
Para aktor jelas piawai untuk menyajikan dialog singkat yang disodorkan penulis. Sayang sekali, serial ini tidak berambisi keluar jalur. Tidak pernah ada kejutan, tidak ada plot yang gila. Bandingkan dengan English Teacher yang menghadirkan plot orang tua murid yang terobsesi dengan posisi seks akrobatik yang mungkin akan dilakukan oleh anak-anak SMA di acara perkemahan. Konflik selesai dalam 22 menit, tuntas.
Baca juga: ‘English Teacher’: Komedi Nyeleneh dari Brian Jordan Alvarez yang Mengocok Perut
Satu episode yang benar-benar menggugah adalah saat Sybil wafat, yang ditulis setelah Linda Lavin meninggal Desember lalu. Di sini, Mutchnick dan Kohan berhasil menunjukkan emosi tulus. Andaikan nuansa autentik itu meresapi keseluruhan musim, Mid-Century Modern bisa menjadi nostalgia baru. Tapi untuk saat ini, sekadar pengingat masa lalu tak cukup. Serial ini harus menyesuaikan diri bila ingin menjadi tontonan yang relevan.
Mid-Century Modern dapat disaksikan di Disney+ Hotstar
