June 21, 2025
Issues

Bilingual Sejak Balita? Yuk, Cek Lagi untuk Siapa!

Banyak orang tua ingin anak mereka bilingual sejak dini, tapi apakah ini benar-benar yang terbaik untuk mereka?

  • May 20, 2025
  • 4 min read
  • 879 Views
Bilingual Sejak Balita? Yuk, Cek Lagi untuk Siapa!

Di sebuah taman kota, saya mendengar seorang ibu berkata kepada anaknya, “Coba bilang thank you ke tante.” Si kecil mengangguk pelan, lalu mencoba mengucapkan kalimat itu dengan lidah Indonesia yang masih kesulitan melafalkan “th”. Sang ibu tersenyum puas. “Dia memang bilingual sejak usia dua tahun,” ujarnya pada temannya. Saya hanya terdiam, bertanya-tanya dalam hati apakah itu bentuk kasih sayang, atau lebih pada kebanggaan semata.

Membesarkan anak dengan dua atau lebih bahasa menjadi sesuatu yang dirasa penting oleh sejumlah orang tua. Mereka pun menyekolahkan anak di sekolah berbahasa pengantar Inggris, memasukkan anak ke kelas bahasa asing sejak balita, dengan harapan anak siap bersaing secara global. Namun di balik semangat besar itu, muncul pertanyaan kecil tapi penting: Apakah semua ini benar-benar untuk anak?

Baca juga: Penggunaan Bahasa Daerah Tingkatkan Kemampuan Belajar Siswa di Indonesia Timur

Tak diragukan, multibahasa membawa banyak manfaat. Penelitian menunjukkan anak-anak yang tumbuh di lingkungan multilingual cenderung memiliki fleksibilitas kognitif dan kepekaan sosial yang lebih tinggi. Tapi semua itu tidak hadir begitu saja. Diperlukan proses panjang, pendampingan konsisten, dan pemahaman mendalam dari orang-orang dewasa di sekeliling anak.

Di banyak keluarga urban, pengenalan bahasa asing sejak dini sering kali dilakukan bukan karena kebutuhan mendesak, melainkan demi gengsi. “Anak saya sudah bisa bahasa Inggris sejak umur tiga tahun,” menjadi semacam medali kehormatan dalam obrolan antar orang tua. Bahasa menjadi simbol status sosial. Tak jarang, anak tidak diberi ruang untuk memilih. Padahal, hak anak dalam pendidikan bahasa adalah hak untuk memahami dan dipahami.

Bahasa ibu sering kali tergeser, bahkan tergantikan, demi bahasa asing. Padahal, bahasa ibu bukan sekadar alat komunikasi. Ia adalah jembatan budaya, emosi, dan kedekatan. Ketika bahasa ibu diabaikan, anak bisa kehilangan salah satu fondasi penting dalam pembentukan identitas dirinya.

UNESCO dalam laporan Global Education Monitoring Report (2020) menegaskan pentingnya pendidikan berbasis bahasa ibu, terutama di tahun-tahun awal sekolah. Anak yang belajar dalam bahasa yang mereka kuasai menunjukkan hasil akademik dan sosial yang lebih stabil dibanding mereka yang harus belajar dalam bahasa asing.

Namun praktik di lapangan sering berkata lain. Banyak sekolah swasta di Indonesia justru mengurangi atau bahkan menghapus penggunaan bahasa Indonesia dan bahasa daerah demi citra “internasional”. Anak-anak dikenalkan pada bahasa asing sejak usia sangat muda, tanpa terlebih dulu memperkuat kemampuan berbahasa ibu. Ini bukan sekadar soal kurikulum, tapi soal orientasi pendidikan yang lebih menekankan “jualan” daripada kebutuhan perkembangan anak.

Baca juga: Sekolah Berbahasa Inggris Bukan Selalu Terbaik, Pentingnya Adopsi Kearifan Lokal

Pentingnya pendekatan sensitif gender dan hak anak

Dalam konteks multibahasa, anak perempuan sering kali menanggung beban ganda. Studi oleh Kusters et al. (2021) menunjukkan bahwa anak perempuan cenderung didorong untuk menunjukkan performa bahasa yang lebih “sopan” dan “rapi”, mencerminkan ekspektasi gender yang masih lekat dalam pola asuh kita.

Mempelajari lebih dari satu bahasa memang bisa memperluas cakrawala anak. Tapi jika dilakukan tanpa dukungan emosional dan strategi belajar yang tepat, proses ini bisa menjadi beban. Di sinilah pentingnya pendekatan yang sensitif terhadap gender dan berbasis hak anak dalam pendidikan bahasa. Kita perlu bertanya kembali: pendidikan multibahasa ini untuk siapa? Untuk anak, atau demi orang tua yang ingin terlihat modern dan sukses? Di antara label bilingual, trilingual, dan global-ready, anak kadang hanya jadi objek, bukan subjek yang didengarkan.

Pendidikan bahasa seharusnya menjadi ruang aman bagi anak untuk bereksplorasi, bukan sekadar mengikuti tuntutan. Ini berarti memberi tempat bagi bahasa ibu, menghindari tekanan berlebihan, dan membangun pengalaman belajar yang menyenangkan serta inklusif. Sekolah dan institusi pendidikan juga perlu mempertimbangkan kembali pendekatan mereka. Dunia global tidak hanya bicara dalam bahasa Inggris. Dunia global merayakan keberagaman, dan anak-anak kita berhak merayakannya.

Perlu juga disadari bahwa tidak semua anak memiliki akses yang sama terhadap pendidikan multibahasa. Anak di daerah terpencil, anak dengan disabilitas, atau anak dari keluarga marginal menghadapi tantangan dalam mendapatkan pendidikan bahasa yang bermakna dan setara.

Baca juga: Pandemi COVID-19 Hambat Proses Pembelajaran Bahasa Bayi dan Anak

Karena itu, kebijakan pendidikan harus berpijak pada prinsip keadilan linguistik. Ini berarti mengakui bahwa semua bahasa, termasuk bahasa daerah dan bahasa isyarat, memiliki nilai dan tempat penting dalam sistem pendidikan. Literasi multibahasa tidak boleh menjadi hak istimewa segelintir kelompok. Orang tua pun perlu dilibatkan. Banyak dari mereka sebenarnya ingin memberikan yang terbaik bagi anaknya, namun minim informasi. Pendampingan melalui kelas parenting, forum komunitas, dan media edukatif bisa membantu membangun kesadaran kolektif.

Dan pada akhirnya, multibahasa tidak seharusnya menjadi medan prestise orang tua. Ia harus menjadi ruang tumbuh anak, tempat anak merasa dihargai, didengar, dan dimampukan dalam beragam bahasa. Karena yang paling penting bukan seberapa banyak bahasa yang bisa dikuasai anak, tapi apakah mereka merasa dimengerti saat mengucapkannya.

Mutiara Ayu adalah dosen pendidikan bahasa Inggris di Universitas Teknokrat Indonesia dan penulis lepas. Saat ini aktif meneliti isu literasi dan multibahasa di lingkungan pendidikan dasar. Tinggal di Bandar Lampung.



#waveforequality
About Author

Mutiara Ayu