‘Attachment Style’: Apakah Kamu ‘Avoidant’, ‘Anxious’, atau ‘Secure’?
Mengenal attachment style bisa membantumu menavigasi cara berelasi romantis.
“Mungkin pasangan kamu avoidant. Pernah dengar istilah Attachment Styles?”
“Belum, Mba. Cuma aku sering dengar tentang avoidant dan anxious. Memang apa maksudnya?”
Percakapan itu terjadi antara ‘Elisa’ dan psikolognya, beberapa bulan lalu. Elisa pernah enam kali pacaran, tapi tak pernah putus semenyakitkan seperti hubungan terakhirnya. Mantan pacarnya minta putus tiba-tiba dan hilang begitu saja. Tidak memblok media sosial atau kontak Elisa, tapi memutus komunikasi. Ajakan bertemu dan percakapan ringan tak ada yang digubris. Buat Elisa, kelakuan itu berefek besar. Ia bukan cuma diterpa depresi berat hingga kesulitan fokus pada hidup, tapi juga mempertanyakan diri hingga berujung ke pikiran-pikiran bunuh diri.
Ia tak mengerti salahnya, jika bertanya dan ingin minta maaf pun, komunikasi tak pernah berbalas.
Kegusaran itu yang akhirnya ia bawa ke psikolog. Beberapa kali konseling, Elisa dikenalkan teori Attachment Style oleh sang terapis. Teori ini menjelaskan cara seseorang menjalani hubungan dengan orang lain, yang umumnya sudah terbentuk sejak kecil.
Teori ini mengenal empat jenis attachment style atau gaya keterikatan: secure (aman), avoidant (penghindar), anxious (pencemas), dan disorganised (gabungan avoidant dan anxious). Hanya satu di antara keempat ini yang dianggap “aman”, yang lainnya termasuk yang tidak.
Teori ini awalnya dikenalkan John Bowlby, psikiater terkemuka asal Inggris. Ia mengamati bagaimana ikatan paling awal dalam hidup bayi dengan orang tua atau pengasuh utama mereka dapat berdampak pada cara individu itu menjalani hubungan ketika dewasa. Awalnya, teori Bowlby hanya mencetuskan tiga jenis attachment: secure, avoidant, dan anxious.
Secure attachment—yang dianggap paling sehat—terbentuk ketika pengasuh atau orang tua bersikap sensitif dan responsif, selalu hadir, terutama dalam usia enam bulan sampai dua tahun pertama. Namun, ketika kebutuhan dasar dan emosional anak tidak terpenuhi, ia akan kesulitan mempercayai orang lain. Anak-anak seperti itu mungkin menganggap ikatan sosial tidak aman atau stabil. Inilah cara anak membentuk ikatan yang tidak aman atau insecure attachment.
Pada 1960-1970an, psikolog Mary Ainsworth mengembangkan teori Bowlby dan menambahkan disorganised atau fearful-avoidant sebagai jenis attachment style baru. Sejak itu, attachment style sering dipakai dalam dunia psikologi untuk membantu orang dewasa menavigasikan hubungan dan relasi mereka.
“Lewat teori ini aku jadi paham, yang dilakukan mantanku bukan karena tingkahku atau akulah penyebabnya. Melainkan karena attachment style-nya sendiri,” kata Elisa. “Mengenali dan membaca-baca lebih dalam tentang teori ini enggak bikin sakitnya hilang atau berkurang, tapi seenggaknya aku bisa memahami situasi dengan lebih baik,” tambahnya.
Baca juga: Kenalkan Teman ke Pasangan, Perlu Enggak Sih?
“Semuanya bukan karena kamu, tapi karena attachment style-ku,” mungkin kedengaran kayak hadiah buat orang-orang yang takut komitmen, kata Amir Levine, seorang psikolog yang menulis buku Attached (2010). Buku itu ia kerjakan bersama koleganya, Rachel Heller. Tujuannya waktu itu untuk membantu dirinya menavigasikan diri setelah putus, sekaligus untuk membantu orang-orang dewasa lain yang bernasib sama.
“Mungkin bisa jadi panduan yang kita harap kita punya sebelum kita mulai pacaran,” kata sang penulis pada The Guardian.
Ada asumsi bahwa semua orang bisa mencintai dengan kapasitas sama, tambah Levine. Namun, attachment style kita bekerja seperti program: “Lebih dalam dari sekadar komunikasi saja, dia memengaruhi persepsi kita pada dunia, seringkali tanpa kita sadari,” ungkap Levine.
Sebuah studi di Amerika Utara dan Eropa bilang bahwa sekitar 25 persen populasi adalah avoidant, dan 20 persen adalah anxious.
Orang-orang anxios biasanya sangat dipengaruhi dan fokus pada “apakah partner mereka mencintai mereka balik atau tidak?”, sementara para avoidant menyamakan intimasi dengan kehilangan kebebasan dan memilih menjauh atau menghindar tiap kali konflik datang.
Mempelajari jenis attachment mana yang kita miliki, menurut Levine, bisa membantu kita berhenti melakukan kesalahan serupa dan memperbaiki hubungan berikutnya. Meski terbentuk sejak kecil, bukan berarti attachment style kita tidak bisa berubah. Berdasarkan sebuah studi 1994, satu dari empat orang berubah—biasanya hasil dari hubungan dengan orang yang punya secure attachment style.
Orang-orang secure biasanya nyaman memberi dan menerima cinta dan intimasi. Mereka jatuh hati pada orang-orang yang bikin mereka bahagia. “Orang-orang secure akan membantu kita sadar kalau tidak ada ancaman,” kata Levine. Ia mencontohkan Steve si barista dalam Sex and the City yang mendekati Miranda yang avoidant. Steve yang secure bisa membantu Miranda mengatasi masalahnya tanpa memberi penghakiman. Masalahnya, meski secara statistik orang-orang secure banyak—mencapai 55 persen populasi—mereka juga sering dianggap tidak menarik oleh mereka yang tidak secure.
Baca Juga: Alasan di Balik Melabrak Teman Pasangan
“Banyak di antara kita yang merasa hubungan penuh konflik, drama, dan sebagainya itu yang menarik,” kata Elisa. Lewat konseling dan pengenalan dengan attachment style, dia belajar bahwa hubungan yang sehat justru yang lebih sering terasa stabil. “Bukan berarti enggak ada ributnya, tapi yang bisa sama-sama melewati percakapan sulit. Tanpa ada yang kabur, atau malah menyecar terus,” tambahnya.
Dalam Attached, dijelaskan bahwa mereka yang anxious dan avoidant sering kali tertarik pada satu sama lain. Masalahnya, orang yang anxious akan terus-terusan mencari kedekatan dan intimasi, sementara pasangan avoidant-nya terus-terusan menarik diri dan menjauh dari relasi.
“Orang-orang dalam hubungan anxious-avoidant bisa mengubah perilaku mereka dengan intropeksi, dan seringnya terapi,” tambah Levine.
“Buatku, tahu tentang attachment style juga bukan cuma membantu menavigasi hubungan lampau atau yang akan datang nanti. Aku juga jadi belajar banyak lagi tentang diriku sendiri, apa yang terjadi di masa lalu, apa yang bikin aku seperti aku hari ini, dan itu semua yang ngebantu banget di saat-saat sulit datang,” kata Elisa.