Issues Opini Politics & Society

Kita Belum Benar-benar Menang, ini Agenda Perjuangan Berikutnya

Gerakan #PeringatanDarurat tak boleh berhenti sampai Pilkada rampung atau saat pejabat baru dilantik.

Avatar
  • August 28, 2024
  • 5 min read
  • 2112 Views
Kita Belum Benar-benar Menang, ini Agenda Perjuangan Berikutnya

Pada (25/8), Komisi Pemilihan Umum (KPU) akhirnya mengesahkan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 8 Tahun 2024. PKPU tersebut mengakomodasi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Nomor 70/PUU-XXII/2024. Dengan PKPU itu, kecil kemungkinan putra Presiden Joko “Jokowi” Widodo bisa mencalonkan diri di Pilkada. Pun, kans skenario kotak kosong bisa dicegah karena bakal semakin banyak calon kepala daerah yang bisa berlaga. 

Itu tentu adalah kemenangan rakyat, tapi perjuangan belum benar-benar selesai di sini. Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Violla Reininda, (26/8), punya kekhawatiran, pemerintah bakal punya siasat lain untuk menggolkan kepentingannya di era lame duck ini. Yang paling parah adalah bisa saja pemerintah membuat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu), membahas kembali revisi UU Pilkada, atau memundurkan pelaksanaan Pilkada hingga Desember demi mengakomodasi Kaesang untuk berkontestasi di Pilkada. 

 

 

Di luar Pilkada, ada sejumlah hal yang juga menjadi sinyalemen bahwa tak seharusnya gerakan #PeringatanDarurat itu terhenti. Beberapa hari belakangan kita melihat kekerasan polisi pada para demonstran, baik jurnalis, mahasiswa, aktivis, dan rakyat lainnya. Di Bandung, demonstran mahasiswa terancam kehilangan penglihatan usai diduga dilempar batu oleh aparat. Di Semarang, anak-anak yang sedang mengaji harus mengalami sesak napas buntut dibombarbir gas air mata polisi. 

Di saat bersamaan, rakyat dibuat gerah oleh borjuisme keluarga pejabat yang flexing dengan pesawat jet pribadi ke Amerika Serikat (AS). Sementara, para pembela sibuk pasang badan dan menormalisasi tindakan tersebut. Jangan lupakan juga sejumlah Rancangan Undang-undang (RUU) kontroversial yang menunggu untuk dibahas dan disahkan di sisa akhir waktu. 

Berangkat dari hal-hal inilah, sejumlah pakar hukum yang tergabung dalam Constitutional and Administrative Law Society (CALS) menyerukan beberapa agenda perlawanan ke depan sekaligus memetakan rute gerakan #PeringatanDarurat setelah kawal putusan MK, (26/8). Video lengkap pernyataan mereka bisa disaksikan di sini.  

Baca juga: Sudah Demo dan Marah di Medsos: Apa yang Bisa Kita Lakukan Selanjutnya? 

Lawan Brutalitas Polisi 

Saat demonstrasi pecah di berbagai kota, polisi disorot karena menggunakan kekerasan untuk mengawal massa. Yang terbaru, dikutip dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang, puluhan mahasiswa terpaksa dilarikan ke rumah sakit karena brutalitas aparat. Selain gas air mata, polisi juga menghujani massa dengan peluru karet. Fatalnya, masih dikutip dari sumber yang sama, puluhan mahasiswa dan siswa STM yang ditahan, tak diizinkan mendapat pendampingan hukum.  

Sebelumnya dalam liputan Magdalene juga disebutkan, dalam aksi massa (22/8), polisi sempat menahan total 159 demonstran, dari pelajar, mahasiswa, hingga aktivis. Di antara mereka yang ditahan, ada Asisten Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Iqbal Ramadhan dan Direktur Lokataru Delpedro Marhaen. Selain menahan demonstran, polisi juga mengintimidasi dan melukai jurnalis yang meliput aksi. 

Rakyat meradang hingga tagar #DaruratKekerasanAparat menggema di media sosial. Masalahnya, kekerasan polisi ini hampir selalu muncul, tak cuma dalam pengawalan aksi massa tapi juga bidang kehidupan rakyat lainnya. Terlebih, saat ini wewenang polisi untuk menggunakan kekuasan yang eksesif berpotensi lebih besar karena pemerintah sedang mengebut pembahasan revisi UU Polri. 

“Dalam demo di Jakarta misalnya, ada 19 demonstran yang ditetapkan sebagai tersangka pengrusakan fasilitas umum, melawan negara, dan aparat. Karena itulah, penegakan hukum terhadap kasus ini harus dikawal. Demikian juga dengan kasus kekerasan polisi lainnya,” ucap Violla Reininda, anggota CALS dalam video Youtube mereka. 

Baca Juga: Tak Penuhi Kuorum, Rapat Paripurna DPR Pengesahan RUU Pilkada Batal 

Jokowisme dan Warisan Nilai-nilainya 

Pada (23/8), Kurawal Foundation dalam akun Instagram resminya membuat penjelasan tentang betapa bahayanya Jokowisme. Ia menyebut Jokowisme adalah ideologi penuh kekosongan, anti-intelektualisme, dan keinstanan cara berpikir. Ideologi itu muncul mengingat Jokowi dalam satu dekade terakhir menerapkan patronase dagang yang menguntungkan partai politik hingga taipan ekonomi, alih-alih rakyat. 

Dari sinilah ia melahirkan banyak konflik kepentingan. Karena itulah tak heran selama periode Jokowi memimpin, kita melihat pemerintah eksekutif, legislatif, dan yudikatif berkonsolidasi, bahkan menggembosi UU atas nama kepentingan kelompok. 

Denny Indrayana yang juga bagian dari CALS angkat suara. Ia merangkum Jokowisme itu dalam empat modus operandi. Pertama, cawe-cawe gate ketika Presiden RI dengan terang mengintervensi dan menunjukkan keberpihakan dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Kedua, Mahkamah Keluarga gate yang mengeluarkan putusan Nomor 90 Tahun 2024, sehingga jalan Gibran Rakabuming di Pilpres lancar jaya. Ketiga, Mahkamah Agung gate  di mana memberi ruang pada Kaesang untuk maju Pilkada—meskipun yang terakhir berhasil kita patahkan. Keempat, KPK gate, yakni ketika rezim Jokowi menaruh orang-orang tak kompeten di KPK, melemahkan mereka dengan tes wawasan kebangsaan dan UU KPK. 

Karena itulah, ungkap Denny, kita perlu melawan ideolodi Jokowisme. Ideologi ini bisa jadi tetap langgeng meski secara de facto, Jokowi sudah lengser pada Oktober nanti. “Semua ini adalah pelecehan terhadap rakyat. Yang kita lawan adalah kepemimpinan yang tidak percaya konstitusi seperti Jokowi dan kepemimpinan serupa mendatang,” tuturnya. 

Baca Juga: #PeringatanDarurat: Putusan MK, Penolakan DPR, dan Kejutan Pilkada 2024 

Deretan RUU Bermasalah 

Yance Arizona, bagian dari CALS menyoroti deretan RUU yang berbahaya. Mulai dari RUU perubahan atas UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, RUU perubahan ketiga atas UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Polri, RUU perubahan atas UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Pun revisi UU Penyiaran. 

Hampir semua RUU yang notabene menjadi inisiatif DPR itu, tak mengutamakan kepentingan rakyat tapi memperbesar kekuasaan pemerintah. Dalam hematnya, DPR sekadar jadi proksi Presiden untuk membahas RUU yang problematik. Sementara, Jokowi tampak mencuci bersih tangannya meski diam-diam ialah yang mengendalikan semua. 

Beni Kurnia Illahi yang juga merupakan anggota CALS sepakat. “Kita tahu banyak produk hukum yang dibahas ugal-ugalan tak berdasarkan prinsip penyelenggaraan UU yang baik. Peraturan itu dibahas tanpa naskah akademik yang memadai, dibuat praktis, dan tak melibatkan rakyat. Pengkhianatan terhadap cita-cita Reformasi 1998 inilah yang harus kita kawal berikutnya. 

Pada akhirnya, kata Zainal Arifin Mochtar dalam video yang sama, #PeringatanDarurat tak cuma untuk mereka yang kini menjalankan kekuasaan tapi juga untuk penguasa-penguasa berikutnya. “Ini adalah peringatan bahwa kami, rakyat, tidak akan pernah mati. Kami akan terus jadi oposisi yang mengkritisi selama penguasa mencoba merusak demokrasi. Kami ada dan akan terus melakukan peringatan,” ungkapnya. 



#waveforequality


Avatar
About Author

Purnama Ayu Rizky

Jadi wartawan dari 2010, tertarik dengan isu media dan ekofeminisme. Kadang-kadang bisa ditemui di kampus kalau sedang tak sibuk binge watching Netflix.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *