November 14, 2025
History Issues Lifestyle Travel & Leisure

Bangkit di Antara Puing-puing Warsawa: Kisah Perempuan Penjaga Kota

Dari penyelamatan anak-anak Ghetto, hingga rutinitas memberi makan burung dara, perempuan Warsawa memainkan peran utama dalam menghidupkan kembali kota sejak kehancurannya pasca-Perang Dunia II.

  • November 3, 2025
  • 6 min read
  • 593 Views
Bangkit di Antara Puing-puing Warsawa: Kisah Perempuan Penjaga Kota

Warsawa bukan sekadar kota tua di Eropa Tengah. Ia jadi saksi peperangan, kehancuran, sekaligus kebangkitan. Dilansir dari laman Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO), lebih dari 85 persen pusat bersejarah Warsawa hancur total selama Perang Dunia II. Jalan-jalan yang dulu ramai berubah jadi reruntuhan, bangunan bersejarah nyaris rata dengan tanah, dan masyarakat tercerabut dari rumah, pekerjaan, bahkan identitasnya.

Masalahnya, sejarah arus utama setempat lebih sering menyorot jasa laki-laki dalam pembangunan kembali kota. Salah satu yang mencolok adalah jasa arsitek yang patungnya dibangun megah di pintu masuk Kota Tua Warsawa, Jan Zachwatowicz.

Arsitek Kota Tua Warsawa Jan Zachwatowicz yang berjasa dalam pembangunan ulang setelah kawasan ini hancur imbas Perang Dunia II. (Foto: Purnama Ayu Rizky/Magdalene)

Baca juga: Somewhere Over The Rainbow: How Jatinangor Feels Like Home

Padahal di tengah reruntuhan kota, perempuan sebenarnya memainkan peran yang tak kalah penting. Mereka bukan sekadar saksi sejarah tetapi aktor utama yang membangkitkan kembali kota dan menghidupkan warisan budaya.

Pertengahan Oktober silam, jurnalis Magdalene Purnama Ayu Rizky berkesempatan menelusuri langsung jejak-jejak perempuan di pembangunan Kota Tua Warsawa.

Pada (17/10), saya sengaja bangun pagi untuk berjalan menyusuri sepanjang Old Town Market Square dan kawasan New Town. Dari penyusuran ini, saya menyadari detail arsitektur kota dipenuhi simbol-simbol tentang peran perempuan. Patung Syrenka, putri duyung yang menjadi lambang Warsawa misalnya. Patung ini mudah sekali ditemukan di berbagai titik kota, termasuk tepi Sungai Wisła dan di halaman Old Town.

Dalam legenda lokal, Syrenka bukan hanya pelindung, tetapi juga sosok yang berubah wujud bergantian antara makhluk air dan manusia. Ia menandakan fleksibilitas, ketahanan, dan kepemimpinan perempuan. Dulunya ikon duyung tersebut memang berulang kali berganti wajah dan tubuh, sampai akhirnya sosok perempuanlah yang bertahan hingga kini.

Putri Duyung yang jadi ikon di Warsawa, Polandia. (Foto: Purnama Ayu Rizky/Magdalene)

Transformasi tersebut menjadi metafora bahwa ,perempuan dalam sejarah Warsawa harus mampu menyesuaikan diri dengan tantangan berbeda. Ini termasuk menjadi pelindung, inovator, dan penjaga komunitas sekaligus.

Mengelilingi kawasan tersebut, saya ditemani Gosia Brzozka-wars, sejarawan lokal yang memandu liputan. Ia menunjuk ke reruntuhan bangunan abad ke-18 yang berhasil dipugar.

“Setiap sudut kota ini punya cerita perempuan,” katanya. “Mereka adalah arsitek sosial, guru, pengrajin, dan aktivis. Ketika kota luluh lantak, mereka tidak menunggu orang lain, tetapi memulai tindakan. Mereka menjaga jaringan sosial, sekaligus membangun kembali identitas Warsawa.”

Selain simbol dan fisik, sosok nyata perempuan juga mewarnai kebangkitan kota. Kazimiera Majchrzak, dikenal sebagai “Perempuan Merpati” (Pigeon Lady), setiap hari memberi makan burung dara di puing-puing Kota Tua. Tindakannya sederhana, tetapi punya makna penting. Ia menghidupkan kembali rutinitas sosial dan mengembalikan harapan bagi warga yang trauma.

Gosia menambahkan, “Tindakan sederhana seperti memberi makan burung itu mengingatkan bahwa hidup bisa kembali, sekalipun perlahan. Setahun setelah Nyonya Kazimiera rutin muncul, populasi warga yang kembali ke pusat kota meningkat menjadi sekitar 300.000 jiwa.”

Burung merpati yang jadi simbol keberadaan Nyonya Kazimiera, sang “Pigeon Lady”. (Foto: Purnama Ayu Rizky/Magdalene)

Baca juga: Polandia Mencuci Wajah Bumi: Jejak Hijau dari Lumbung Kosmetik Eropa Tengah

Perempuan di Sektor Perlawanan dan Rekonstruksi

Peran perempuan Warsawa selama perang tidak hanya simbolis. Ribuan perempuan berada di garis depan, mengambil risiko demi kelangsungan kota. Selama Pemberontakan Warsawa pada Agustus 1944, sekitar 7.000 hingga 12.000 perempuan terlibat aktif dalam Armia Krajowa (Tentara Bawah Tanah Polandia). Mereka bekerja sebagai kurir, perawat, petugas intelijen, dan bahkan terjun di medan pertempuran.

Maria Przytuła, dikenal sebagai Maryna, menavigasi selokan kota sambil membawa perintah antar komandan dan pasukan di tengah hujan peluru. Ia mengatakan dalam arsip wawancara, sebagaimana disampaikan ulang oleh Gosia, “Kami tahu risiko sangat tinggi, tapi itu satu-satunya cara menjaga komunikasi tetap hidup. Kami tidak bisa membiarkan kota ini menyerah.”

Julia Doktorowicz-Hrebnicka, atau Elżbieta, bertugas menyampaikan pesan antar komandan dan pasukan di Grup Radosław. Banyak perempuan muda tewas saat menjalankan tugas sebagai kurir atau perawat. Menurut Gosia, jumlahnya sekitar 700–800 perawat dan lebih dari 300 petugas penghubung tewas atau dibunuh pasukan Jerman.

Bangunan-bangunan khas di salah satu sudut Kota Tua Warsawa. (Foto: Purnama Ayu Rizky/Magdalene)

Selain garis depan, muncul kisah kemanusiaan heroik Irena Sendler, pekerja sosial Katolik Polandia yang menyelamatkan ribuan anak Yahudi dari Ghetto Warsawa. Anak-anak itu diselundupkan melalui koper, karung kentang, atau selokan, sementara daftar identitas asli mereka disembunyikan agar mereka dapat menemukan akar setelah perang.

Liputan langsung ke reruntuhan Old Town juga menyoroti bagaimana perempuan memimpin rekonstruksi. Arsitek perempuan ikut merancang ulang bangunan hancur, pengrajin perempuan memulihkan karya seni, dan aktivis menghidupkan kembali kehidupan sosial yang terputus.

Tanpa perempuan, kebangkitan Warsawa tak akan lengkap. Mereka memulihkan sekolah, teater, dan museum, menjaga bahasa dan tradisi tetap hidup, serta menenun kembali jaringan sosial yang hancur.

Baca juga: The Truth about Manila: The City Has a Lot to Offer Than People’s Prejudices

Simbol Kebangkitan Kota

Kebangkitan Warsawa tidak hanya bersifat fisik; ia juga sosial dan kultural. Simbol kota, terutama Syrenka, menjadi medium narasi peran perempuan. Di Archcathedral, patung putri duyung dihiasi dengan detail unik pada setiap lampu, menampilkan karakter berbeda dari Syrenka. Legenda menyebutkan ia melindungi warga dari ancaman, dan di era pasca-perang, Syrenka menjadi simbol perempuan sebagai pelindung, inovator, dan agen perubahan.

Seniman seperti Pablo Picasso menggambar versi Syrenka dengan palu, menekankan pembangunan dan rekonstruksi alih-alih peperangan, dilansir dari Culture.pl, (2015). Simbol ini menekankan fleksibilitas peran gender di mana perempuan bisa menjadi pelindung, pemimpin, inovator, dan pelaku pembangunan sekaligus.

Patung-patung dan simbol ini bukan sekadar estetika. Mereka membentuk identitas kolektif, menegaskan prinsip kesetaraan gender, dan mengingatkan bahwa kebangkitan kota tidak bisa lepas dari peran perempuan dalam ranah publik dan privat.

Sisa-sisa peluru yang masih tampak di Gereja Katedral Santo Yohanes yang populer di jantung Kota Tua Warsawa. (Foto: Purnama Ayu Rizky/Magdalene)

Berjalan di sepanjang Wisła, saya melihat kembali jejak perempuan di tiap sudut kota. Pengrajin memulihkan ornamen, guru mengajar anak-anak di reruntuhan sekolah, aktivis komunitas mengatur kegiatan sosial, dan warga seperti Nyonya Kazimiera menjaga rutinitas sederhana yang menumbuhkan harapan. Semua tindakan ini, sekecil apa pun, menjadi pondasi bagi kebangkitan sosial, budaya, dan ekonomi Warsawa.

Hari ini, Warsawa, dengan jalan-jalan yang dipugar, fasad bersejarah yang kembali bersinar, dan komunitas aktif, membuktikan bahwa kebangkitan kota tidak bisa dipisahkan dari perempuan. Mereka adalah penjaga memori, pelindung komunitas, dan agen perubahan. Di antara reruntuhan yang pernah mengubur harapan, Warsawa menemukan kekuatannya. Sekali lagi, perempuan tetap menjadi jantung dari kebangkitan itu.



#waveforequality
About Author

Purnama Ayu Rizky

Jadi wartawan dari 2010, tertarik dengan isu media dan ekofeminisme. Kadang-kadang bisa ditemui di kampus kalau sedang tak sibuk binge watching Netflix.