Issues

Pandemi atau Tidak, Orang Tua Tetap Perlu Dampingi Anak Belajar

Jika orang tua berkomitmen untuk mendampingi anak belajar di rumah, dampaknya sangat masif pada capaian akademik mereka.

Avatar
  • November 11, 2021
  • 6 min read
  • 639 Views
Pandemi atau Tidak, Orang Tua Tetap Perlu Dampingi Anak Belajar

Selama pandemi COVID-19 melanda, anak-anak terpaksa melakukan pembelajaran jarak jauh. Hal ini berimbas pada besarnya beban orang tua dalam mendampingi anaknya belajar di rumah. 

Kajian dari pemerintah Jakarta bersama Abdul Latif Jameel Poverty Action Lab Asia Tenggara (J-PAL SEA), misalnya, menemukan orang tua kesulitan memandu anak mereka fokus belajar – terutama untuk siswa kelas 1-3 di sekolah dasar (SD). Tantangan ini lebih besar lagi pada keluarga miskin karena minimnya akses pada materi, gawai, dan sambungan internet.

 

 

Hal di atas juga jadi alasan pemerintah mendorong sekolah di seluruh Indonesia untuk kembali menggelar tatap muka.

Kabar baiknya, studi lembaga penelitian SMERU di Bukittinggi, Sumatra Barat menunjukkan bahwa orang tua di sana berhasil melampaui berbagai tantangan tersebut.

Mayoritas orang tua punya kesadaran tinggi – terlepas latar belakang sosio-ekonomi mereka – untuk membimbing anak mereka. Bahkan, capaian murid di Bukittinggi lebih tinggi selama pandemi ketimbang tahun sebelumnya.

Keberhasilan ini menunjukkan bahwa jika orang tua berkomitmen untuk mendampingi anak belajar di rumah, dampaknya sangat masif pada capaian akademik mereka.

Baca juga: Beban Timpang antara Ibu dan Ayah dalam Pendampingan Belajar dari Rumah

Namun, untuk membangun komitmen yang tinggi seperti ini bagi orang tua di seluruh Indonesia, bahkan selepas pandemi, dibutuhkan kampanye dan strategi dari seluruh aktor sistem pendidikan.

Pendampingan yang Efektif Punya Dampak Masif

Saat ini, Program Research on Improving Systems of Education (RISE-SMERU) di Indonesia tengah meneliti hasil belajar 1.500 murid SD kelas 2-5 selama pandemi di Bukittinggi.

Masyarakat Bukittinggi dikenal amat mengutamakan pendidikan. Mereka, misalnya, mempunyai ungkapan “Biarlah kurang makan, asal tidak kurang ilmu.”

Mayoritas murid di sana minim komunikasi dengan guru setelah sekolah tutup, tetapi selama di rumah mereka tetap belajar enam hari per minggu bersama orang tua. Budaya ini sudah berjalan sebelum pandemi, dan kini makin gencar.

Penelitian kami bahkan mengungkap hasil tes numerasi dan literasi rancangan RISE-SMERU yang diraih murid selama belajar di rumah pada tahun 2020, lebih tinggi dibanding saat belajar tatap muka sepanjang tahun 2019.

Yang mengejutkan, meski hasil tes murid yang orang tuanya berpendidikan lebih rendah berada di bawah murid yang orang tuanya berpendidikan tinggi, murid dari seluruh kelompok sosio-ekonomi sama-sama mengalami peningkatan capaian saat pandemi.

Bahkan, peningkatan paling signifikan terlihat pada murid kelas bawah yang orang tuanya justru berpendidikan rendah – mengejar ketertinggalan mereka dari murid dari kelompok ekonomi lebih tinggi.

Penelitian ini belum final, dan kami masih menanti banyak temuan menarik lainnya. Namun, sejauh ini ada indikasi bahwa sepanjang orang tua punya komitmen dan dukungan yang kuat untuk membimbing anak belajar di rumah, hasilnya akan menakjubkan.

Memupuk Budaya Mendampingi Anak di Rumah

Sayangnya, semangat dan praktik di atas belum menjadi kebiasaan kelompok masyarakat di banyak daerah lain.

Sebagai upaya mendobrak itu, RISE-SMERU menggagas kampanye untuk mendorong partisipasi aktif orang tua dalam pendidikan anak. Program ini bekerja sama dengan Dinas Pendidikan Kabupaten Kebumen di Jawa Tengah.

Mulai Februari 2020, setiap bulan kami gencar mengirimkan surat dan poster kepada orang tua murid di 65 SD, yang mengajak mereka berpartisipasi dalam pembelajaran anak.

Tema selebaran yang kami kirimkan memuat beberapa praktik baik yang bisa dilakukan orang tua – termasuk beberapa pelajaran penting dari studi SMERU di Bukittinggi. Di antaranya adalah pedoman belajar di rumah, menciptakan suasana nyaman dan tenang untuk anak belajar, cara menyemangati anak belajar, membaca bersama anak, bagaimana berkomunikasi dengan guru, dan lain-lain.

Sekarang, para peneliti RISE-SMERU tengah menganalisis dampak tersebut. Apabila kami bisa mereplikasi semangat dan budaya pendampingan yang terjadi di Bukittinggi, cara ini bisa jadi model baik bagi pemangku kebijakan pendidikan di seluruh wilayah Indonesia.

Sekolah Bisa Turut Berperan dengan Menggandeng Orang Tua

Hilangnya capaian belajar, bersamaan dengan gerakan Merdeka Belajar gagasan Menteri Nadiem Makarim, mengingatkan masyarakat bahwa murid belajar dengan laju yang berbeda.

Guru di sekolah berperan mengidentifikasi capaian mereka yang berbeda-beda melalui asesmen rutin, untuk kemudian memberi materi belajar yang sesuai sehingga siswa bisa mengejar ketertinggalannya. Studi kami di J-PAL, misalnya, meneliti metode asesmen bernama Mengajar di Level Yang Tepat (TARL) yang telah teruji selama dua dekade di India.

Namun, proses di atas tidak sepenuhnya bisa terjadi di sekolah sehingga guru perlu komunikasi rutin dengan orang tua.

Di sini, orang tua berperan melanjutkan proses pembelajaran anak sesuai arahan guru – apalagi di tengah masa transisi pembelajaran bauran antara sekolah dan rumah.

Meski demikian, orang tua punya kapasitas maupun waktu untuk mendampingi yang berbeda akibat pekerjaan mereka.

Di sini, pemangku kepentingan perlu mengidentifikasi dukungan yang pas untuk membantu orang tua sekaligus memantau pembelajaran siswa. Kajian dari J-PAL, misalnya, menemukan bahwa perangkat sederhana seperti SMS hingga telepon efektif untuk mempererat pendampingan antara guru dan orang tua.

Di lain sisi, hal yang sebaliknya juga bisa dilakukan – mendekatkan orang tua kepada sekolah dan ruang kelas. Pada akhir 1980-an, sekolah tempat anak salah satu dari kami belajar di Amerika Serikat mengundang orang tua dalam sebuah program kunjungan kelas secara bergiliran.

Hal berkesan yang terlihat adalah kecintaan murid kepada guru. Setiap anak yang datang ke sekolah, pertama-tama mencari gurunya untuk mengucapkan selamat pagi dan menunjukkan kehadirannya. Guru menyambut mereka dengan penuh keramahan.

Sementara di Indonesia, pada masa itu murid masih lebih cenderung menghindar kalau berpapasan dengan guru – mungkin hingga sekarang.

Namun, yang lebih penting, kunjungan seperti ini memungkinkan orang tua memperoleh pengalaman dan pemahaman tentang dinamika di ruang kelas anak mereka. Orang tua menerima informasi tentang apa yang diajarkan, serta mengetahui instruksi dan rencana kelas. Sebaliknya, guru memperoleh umpan balik yang berharga. Pada akhirnya, ini memperkuat ikatan antara rumah dan sekolah.

Baca juga: Masuki ‘New Normal’, Siapa yang Temani Anak Belajar Virtual?

Dinas Pendidikan di tingkat kabupaten/kota atau sekolah, misalnya, bisa merintis program kunjungan seperti ini. Rata-rata kelas di sekolah berisi 30 murid. Kalau setiap tahun kelas menyediakan 30 minggu untuk mengundang orang tua murid secara bergiliran, dan setiap minggu dialokasikan tiga hari, dalam setahun tiap orang tua berkesempatan tiga kali mengamati cara guru mengajar anak mereka.

Pandemi ini merupakan momentum untuk merefleksikan perubahan terhadap strategi dan kebijakan pendidikan. Selain memperbaiki konsep pendidikan sehingga lebih berpihak pada perkembangan tiap anak, masa-masa ini juga membuka wawasan tentang krusialnya peran aktif orang tua dalam proses pembelajaran siswa di rumah.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.



#waveforequality


Avatar
About Author

Syaikhu Usman dkk.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *