Culture

Pelajaran dari (Film) Kartini

Bukan soal 'imperalisme Jawa' atau hak istimewa bangsawan, tapi yang terpenting adalah bagaimana perempuan Indonesia bisa memiliki semangat juang sebesar Kartini.

Avatar
  • April 18, 2017
  • 5 min read
  • 1046 Views
Pelajaran dari (Film) Kartini

Bagi perempuan Indonesia, nama Kartini sudah tidak asing lagi. Dalam pelajaran sejarah, nama Raden Ajeng (atau Raden Ayu) Kartini merupakan salah satu yang kerap disebut.

 

 

Tanggal lahirnya diperingati setiap tahun sehingga mustahil tak mengingat (atau minimal mengetahui) namanya. Meski peringatan hari lahirnya kemudian hari digugat sebagian kalangan yang merasa bahwa pahlawan perempuan Indonesia bukan hanya Kartini, dan hingga kini terus menuai pro kontra, namun Hari Kartini tidak hilang begitu saja. Bulan April masih dikait-kaitkan dengan Kartini, termasuk yang terbaru adalah biopik Kartini karya sutradara Hanung Bramantyo yang dijadwalkan mulai tayang 20 April 2017.

Dalam pemilihan judul, Hanung lebih memilih menggunakan judul singkat “Kartini”, bukannya “Raden Ajeng Kartini” atau “Raden Ayu Kartini”, dengan merujuk pada buku Pramoedya Ananta Toer berjudul Panggil Aku Kartini Saja. Pada halaman 258 buku tersebut, Pram mengutip surat Kartini kepada kawannya Estelle Zeehandelaar, yang berbunyi: “Panggil aku Kartini saja—itulah namaku.”

Film dimulai dengan adegan pingitan terhadap Kartini. Ia bergelar Raden Ajeng sejak lahir sebab ayahnya adalah keturunan salah seorang raja Jawa. Saat beranjak remaja, Kartini harus dipingit untuk menjadi Raden Ayu (panggilan untuk perempuan yang dipersunting bangsawan). Ayah Kartini, R.M.A. Sosroningrat juga seorang Bupati Jepara. Namun Kartini lahir bukan dari istri resmi Sosroningrat melainkan dari seorang selir bernama Ngasirah. Sewaktu Kartini lahir, ayahnya masih menjabat sebagai Asisten Wedana. Dalam film ini digambarkan bagaimana Kartini kecil ngotot ingin tidur dengan Ngasirah yang memiliki kamar di belakang rumah utama. Sejak kecil Kartini memiliki ikatan yang kuat dengan ibu kandungnya tetapi ia selalu dipisahkan karena perbedaan kedudukan.

Di buku Pram halaman 47, disebutkan bahwa ayah Kartini menikah dengan perempuan keturunan Ratu Madura yang kemudian bergelar Raden Ayu Sosroningrat. Anak-anak perempuan dari pernikahan ini dipersiapkan agar kelak menjadi Raden Ayu. Meski lahir dari rahim Ngasirah, Kartini juga tak luput dari pingitan itu. Ia harus menjadi Raden Ayu.

Di film ini, Hanung menggambarkan Kartini sebagai sosok yang tomboi, sangat berbeda dengan saudara-saudaranya yang sangat feminin dan penurut. Kartini sangat membenci pingitan. Ia selalu ketiduran setiap kali diajarkan cara merawat tubuh; ia kelelahan saat diajari cara berjalan dengan setengah merangkak; dan ia sangat benci dikurung di dalam kamar. Kartini juga sedih karena abangnya, Drs. R.M. Sosrokartono mendapatkan pendidikan yang baik di Belanda, sedangkan dirinya dikurung di dalam rumah, hanya dipersiapkan untuk dipinang.

Sang abang adalah pintu gerbang Kartini mengenal dunia di luar rumah. Kartonolah yang memberikan buku-buku kepada Kartini agar adiknya tidak bosan selama menjalani pingitan. Hal ini digambarkan di film dengan kunci yang diberikan Kartono kepada Kartini untuk kabur dari pingitan. Dari kunci itu Kartini membuka sebuah pintu dan menemukan tumpukan buku di balik pintu. Rasa ingin tahu Kartini membawa kehidupan baru baginya. Membaca, membuka pemahamannya tentang kebebasan, tentang kehidupan di dunia lain di luar tembok rumah. Setelah membaca buku-buku berbahasa Belanda, Kartini mulai menulis artikel di koran dan surat kepada sahabat-sahabatnya di Belanda. Surat-surat itu yang kemudian dikumpulkan dalam satu buku berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang.

Film ini bisa dinikmati sebagai film semata, sebagai hiburan informatif untuk mengetahui biografi seorang feminis paling terkenal di Indonesia. Dalam fungsi hiburan informatif, film ini mampu menuntaskan rasa penasaran terhadap sosok Kartini di masa lampau dengan segala kehidupannya yang rumit. Dialog bahasa Jawa yang digunakan sepanjang film, diselingi dialog berbahasa Belanda, bisa jadi menunjukkan keadaan yang sesungguhnya di masa itu. Setting tempat yang dibuat sedemikian rupa mendekati aslinya juga membantu memberi gambaran visual tentang kehidupan Kartini.

Tetapi, adakah relevansinya dengan masa sekarang? Pentingkah kita selalu merayakan hari lahir Kartini dan mengenang perjuangannya?

Kisah hidup Kartini mungkin tidak mewakili kisah hidup seluruh perempuan Indonesia, sebab Indonesia bukan cuma Jawa. Dan pahlawan perempuan bukan cuma Kartini. Mereka berjuang dengan caranya masing-masing, terkadang lebih dihargai sebab mereka mengangkat senjata, memimpin perang, juga berpolitik. Tetapi untuk perempuan berusia 18 tahun yang dikurung di dalam rumah, dengan budaya patriarki yang begitu kuat mengakar, Kartini adalah sosok yang tak bisa juga diremehkan.

Seperti kata Pramoedya, menulis adalah bekerja untuk keabadian. Kartini mengabadikan penderitaannya, keinginannya untuk memperoleh pendidikan, harapannya untuk mencintai lelaki yang ia cintai dan keberaniannya dalam mendobrak patriarki, dalam tulisan. Hingga kini, 113 tahun setelah kematiannya, surat-suratnya masih dicari, masih dibaca, masih tersimpan di perpustakaan-perpustakaan. Buku Pram tentang Kartini juga masih dicetak ulang. Untuk perempuan muda berusia 18 tahun yang meninggal pada usia 25 tahun, perjuangan Kartini sangat progresif di zamannya. Apa yang dilakukan para gadis masa kini di usia 18 hingga 25 tahun?

Hari lahir Kartini mungkin tidak penting-penting amat dirayakan atau diperingati, apalagi lewat lomba kostum menggunakan pakaian daerah karena hal itu sudah melenceng jauh dari cerita perjuangan Kartini sesungguhnya.

Yang terpenting adalah bagaimana perempuan Indonesia bisa memiliki semangat juang sebesar Kartini. Terlepas dari ia seorang perempuan Jawa yang berdarah bangsawan. Tembok rumah Kartini di masa lalu bisa diartikan sebagai apa saja yang menghalangi kemajuan perempuan Indonesia di masa kini: kekerasan, pelecehan, ketidakadilan, generalisasi berlebihan terhadap moral perempuan. Apa yang bisa kita lakukan sebagai perempuan untuk mendobraknya? Apakah kita bisa berjuang untuk mengubah kalimat “Kamu harus melakukan ini” menjadi “Saya lebih ingin melakukan itu”?

Bagi saya, inilah alasan, mengapa perjuangan Kartini tetap relevan hingga saat ini. Bukan dilihat dari sisi “itu hanya perjuangan melawan imperialisme Jawa” semata, tapi semangat seorang perempuan yang memperjuangkan kebebasannya, harapannya, cita-citanya, cintanya, dengan segala keterbatasan yang mengekangnya. Tidak semua perempuan bisa dan mau berjuang untuk ini.


Avatar
About Author

Tenni Purwanti

Tenni Purwanti berprofesi sebagai jurnalis sejak 2011 hingga sekarang. Di luar aktivitas jurnalistiknya, Tenni menulis sejumlah prosa yang dimuat di media massa dan buku antologi. Bisa disapa di akun media sosial @rosezephirine.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *