July 14, 2025
Lifestyle

Berteman di Era Algoritme: Pengalamanku Coba Aplikasi Timeleft dan Berkomunitas

Saat media sosial dikendalikan algoritme, aku iseng mencoba aplikasi Timeleft untuk mencari teman. Namun ternyata, relasi paling ‘real’ justru kutemukan di luar layar lewat komunitas.

  • June 18, 2025
  • 9 min read
  • 663 Views
Berteman di Era Algoritme: Pengalamanku Coba Aplikasi Timeleft dan Berkomunitas

Kalau ditanya kabar terakhir teman-teman lama, aku bisa menjawab di luar kepala: Seorang teman kuliah sedang mempersiapkan pernikahan, sedangkan teman main di Sekolah Menengah Atas (SMA) baru melahirkan anak perempuan beberapa hari lalu. Ada juga senior di kampus yang pindah ke Jepang, dan salah satu teman dekat semasa Sekolah Dasar (SD) kehilangan ponselnya saat berlibur ke Singapura. 

Mungkin kamu menebak, aku tipe yang sering menanyakan kabar teman-teman. Enggak sepenuhnya salah, tapi biasanya cuma pada teman-teman dekat. Sementara kenalan, teman-teman lama, atau yang enggak begitu akrab, hidupnya “kutonton” dari layar kecil. 

It’s Instagram stories that do its magic. Melihat foto atau video singkat yang diunggah teman-teman, terkadang membuatku merasa tahu kabar mereka. Padahal, enggak sesederhana itu. 

Seperti “menyalakan api” di TikTok, mengirim video tiap hari jadi caraku merawat pertemanan—meski lebih sering nonton dan komentar ketimbang benar-benar tukar kabar. Kebiasaan ini sering bikin aku berasumsi: Selama masih saling kirim video lucu, artinya semuanya baik-baik saja. Faktanya, kami hampir enggak berinteraksi secara nyata. 

Sebenarnya, algoritme mempermudah kita mengetahui kabar terkini dari teman-teman. Terlebih di usia dewasa, di mana tak lagi leluasa menentukan jadwal nongkrong, karena punya kegiatan dan prioritasnya masing-masing. Mengobrol lewat aplikasi pesan instan pun belum tentu bisa dilakukan secara intens, dengan alasan kesibukan. Maka, menyalakan api TikTok belakangan ini jadi pilihan. 

Dalam Digital Intimacy: How Technology Shapes Friendships and Romantic Relationships (2023), peneliti Kamdin Parsakia dan Mehdi Rostami menjelaskan, saling mengirim konten media sosial bisa menjaga relasi. Namun jika hubungan terlalu bergantung pada komunikasi digital, justru bisa timbul salah paham dan memutus ikatan emosional

Aku sering ada di fase itu—kehilangan koneksi emosional dengan teman dekat karena “percakapan” kami cuma berisi kiriman Instagram Reels. Bertemu belum tentu sebulan sekali, dan obrolan di WhatsApp pun seadanya. 

Momen-momen itu bikin aku merasa perlu membangun pertemanan baru. Entah untuk cari support system lain, atau sekadar bersenang-senang. Seolah membaca pikiranku, algoritme Instagram mulai sering menampilkan iklan Timeleft—platform asal Prancis yang mempertemukan orang asing lewat makan malam. Pertengahan Mei lalu, aku kembali memberi algoritme kesempatan untuk “menyetir” pertemananku. 

Baca Juga: Menilik Tanda-tanda Pertemanan yang Baik 

“Memercayakan” Algoritme untuk Menentukan Pertemanan 

Di media sosial, algoritme membentuk echo chambers—lingkaran gema tempat kita hanya terpapar konten yang sesuai minat dan pandangan pribadi. Pola kerja serupa diterapkan Timeleft, aplikasi pertemanan asal Prancis yang mulai hadir di Jakarta. Untuk bergabung, kita diminta mengisi hampir 30 pertanyaan dalam bentuk tes kepribadian. 

Pertanyaannya dimulai dari yang sederhana: Seperti gender, pekerjaan, dan area pertemuan yang diinginkan. Tapi kemudian berubah menjadi lebih filosofis dan personal: “Do you consider yourself more of an author’s film enthusiast or mainstream blockbuster lover?” “On a scale of one to ten, how stressed are you?” Hingga akhirnya: “How important is spirituality to you?” 

Setelah menjawab semua pertanyaan, “nasib” kita sebagai peserta ada di tangan algoritme Timeleft. Ia yang akan menentukan siapa teman makan malam kita—enam orang asing dengan kesamaan minat, nilai, atau pola pikir. 

Dua pekan setelah mendaftar, tiba juga malam yang ditunggu. Sekitar 35 menit sebelum pukul tujuh malam, aku memesan ojek online menuju restoran masakan Indonesia di bilangan Karet, Jakarta Selatan.  

Aku mencoba membayangkan suasana yang akan terjadi. Hanya ada dua kemungkinan: Obrolannya nyambung atau canggung semalaman. Timeleft sengaja tak memberi tahu siapa pun yang akan kita temui, hingga kami benar-benar duduk bersama di meja. 

Dalam wawancaranya dengan Cosmopolitan, Co-Founder dan CEO Timeleft, Maxime Barbier, mengatakan kerahasiaan identitas itu penting. Tujuannya agar peserta tidak punya ekspektasi apa pun—baik terhadap individu maupun makan malam itu sendiri. Dengan begitu, relasi bisa terbangun tanpa prasangka atau penilaian awal seperti yang sering terjadi di aplikasi kencan. 

Jujur, that’s what bugs me about talking to strangers when you don’t know a thing about them. Bagaimana jika ada peserta yang melontarkan komentar seksis atau candaan diskriminatif? Apalagi, sejauh ini Timeleft belum menyediakan pedoman jelas untuk menangani kasus pelecehan atau situasi tidak nyaman. 

Untungnya, malam itu berjalan cukup menyenangkan. Kami berlima—tiga perempuan dan dua laki-laki—berusia sekitar akhir 20-an hingga awal 30-an. Axel, 32, peserta asal Filipina, berhasil mencairkan suasana. Ia memandu percakapan seputar profesi, hobi, dan alasan masing-masing bergabung di Timeleft. Rata-rata sedang mencari koneksi baru di usia dewasa. 

“Kalau di sekolah gampang buat temenan secara organik, di usia dewasa enggak begitu,” ujar salah satu peserta perempuan. “Apalagi gue belum bisa ngatur waktu buat ikut komunitas.” 

Seperti komunitas, Timeleft memungkinkan kita mengenal lebih dari lima orang sekaligus. Namun bagi Axel, ini bukan sekadar mencoba. Sejak Agustus 2024, ia sudah ikut sesi makan malam Timeleft sebanyak 32 kali—dan masih terus hadir setiap Rabu malam. 

Dari sekitar 100 orang yang ditemuinya lewat aplikasi ini, setidaknya ada 10 orang yang kini dekat secara emosional. Pertemuan rutin itu berkembang menjadi pertemanan yang berlanjut di luar aplikasi. 

“Kami (peserta Timeleft) punya group chat. Di situ saling sharing kegiatan, kayak padel, lari, panjat tebing,” kata Axel. 

Cerita Axel mematahkan asumsiku sebelumnya. Aku sempat mengira Timeleft hanya menawarkan pertemanan satu malam tanpa kelanjutan. Bahkan, aku mengira aplikasi ini hanya mengkapitalisasi masalah khas masyarakat kota: Kesepian. 

Data Health Collaborative Center, lembaga nonprofit di bidang kesehatan masyarakat, menunjukkan: Pada 2023, sebanyak 44 persen warga Jabodetabek mengalami kesepian. Penyebabnya antara lain transisi kehidupan, lingkungan yang tidak inklusif, serta minimnya interaksi sosial berkualitas. 

Statistik itu sempat menguatkan dugaanku. Aku sempat merasa Timeleft sekadar menjual solusi instan atas kesepian. Apalagi, mereka mengenakan biaya Rp169 ribu per kedatangan, atau Rp209 ribu per bulan jika berlangganan. Dalam sistem semacam ini, dengan peserta yang terus datang tanpa jaminan keberhasilan berteman, perusahaanlah yang paling banyak diuntungkan. 

Namun, keberadaan group chat berisi lebih dari 300 orang peserta menunjukkan sebaliknya. Banyak yang sungguh-sungguh ingin membangun koneksi. Mereka datang berulang kali dan ikut berbagai aktivitas bersama di luar sesi makan malam. 

Bagi sebagian orang, Timeleft menawarkan kepraktisan dan kenyamanan—terutama di tengah kesibukan kerja. Aplikasi ini juga memberi ruang bagi keberagaman. Usia peserta berkisar dari 18 hingga lebih dari 70 tahun, meskipun tiap meja makan dibatasi oleh rentang usia 5 hingga 15 tahun. 

Aku sendiri merasakannya saat lanjut hangout di sebuah bar, bertemu beberapa kelompok makan malam lain dari Timeleft. Dari obrolan ringan, aku tahu sebagian dari mereka adalah generasi milenial, bahkan ada yang dari generasi X. Meski mereka sudah rutin ikut dan lebih akrab satu sama lain, mereka tetap menyambut pendatang baru dengan hangat. 

Itu menjadi momen paling berkesan dari pengalaman Timeleft. Sebab, itu terjadi di luar ekspektasiku. Sayangnya, aplikasi ini tidak inklusif secara ekonomi. Untuk membangun koneksi baru, kita harus merogoh kocek yang tidak sedikit. Padahal di luar sana, masih banyak komunitas yang menawarkan manfaat serupa, dengan biaya lebih terjangkau dan ruang aman yang lebih jelas. 

Baca Juga: ‘Unfriend’ di Dunia Nyata, Pertemanan pun Ada Kadaluarsanya 

Komunitas (Masih) Memberikan Ruang untuk Berteman 

Belakangan, keberadaan komunitas semakin beragam, memberikan ruang untuk mengeksplorasi hobi dan ketertarikan, serta membentuk pertemanan. Namun, kehadirannya bukan cuma menghadirkan ruang untuk berkegiatan, melainkan juga ruang aman. 

Hal itu yang melatarbelakangi cara Lando, 25, pekerja perusahaan retail, memilih komunitas. Di antara banyaknya klub menulis dan membaca buku, Lando terlibat di komunitas, yang memiliki kesamaan nilai dengan dirinya sebagai individu. Dan nilai tersebut “menyeleksi” keterlibatan partisipan secara natural. 

“Inklusivitas, itu (nilai) yang kucari di komunitas, dan mereka beneran walk the talk, bukan cuma omongan,ucapnya. 

Salah satu komunitas yang diikuti Lando, adalah klub buku bernama The Supper Book Cult. Ia merasa komunitas tersebut merangkul setiap identitas—termasuk minoritas gender dan seksual. Misalnya dengan menyelenggarakan acara saat pride month, sebagai bentuk perayaan. 

Dengan menyalurkan ruang aman dan menerapkan inklusivitas, komunitas juga memberikan kesempatan bagi anggotanya, untuk membangun dan memperdalam koneksi. Bahkan menjaga keberadaan komunitasnya. 

Untuk memastikan komunitasnya memberikan ruang aman, pengurus Journal Kita—publikasi berbahasa Inggris untuk penulis Indonesia di Medium—Firnita Taufick dan Haikal Satria, melakukan beberapa hal. 

Contohnya melarang penulisan dan ungkapan yang diskriminatif terhadap Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan (SARA). Mereka juga mengedarkan formulir evaluasi anonim di akhir pertemuan Just Write—kegiatan luring dari Journal Kita berupa diskusi dan menulis bersama, supaya penulis bisa menyampaikan kekhawatirannya. 

Just Write menjadi wadah bagi para penulis untuk saling mengenal dan terkoneksi. Firnita dan Haikal melihat, banyak penulis dari Journal Kita yang beraktivitas bersama di luar kegiatan komunitas. Dan relasi mereka terbentuk secara organik. 

“Pertemanan itu yang menghidupkan komunitas,” tutur Haikal. 

Keinginan Haikal dan Firnita mengadakan Just Write, berawal dari ketidaksetujuan terhadap ungkapan “writing is a lonely job”—seperti disampaikan oleh penulis Stephen King dalam On Writing: A Memoir of the Craft (2000). Keduanya menilai, menulis lebih menyenangkan jika dilakukan bersama. 

“Memang praktiknya ada yang dilakukan secara soliter, tapi kebersamaannya bikin lebih accountable dalam menulis,” jelas Firnita. 

Kehadiran komunitas seperti Just Write dan The Supper Book Cult menunjukkan, komunitas berperan sebagai support system dan praktik perawatan kolektif. Terutama di tengah rutinitas yang monoton, kaosnya iklim politik saat ini, serta media sosial yang menghubungkan—sekaligus mengisolasi—manusia. 

Buatku, komunitas justru “mengembalikan” ikatan emosional melalui interaksi sosial. Dengan merasa diterima, menjadi bagian dari suatu kelompok, dan terkoneksi dengan teman-teman yang memiliki kesamaan nilai, minat, dan latar belakang. 

Baca Juga: The White Lotus Season 3: Monolog Laurie dan Kompleksitas Pertemanan Perempuan 

Beberapa hal itu yang tak kutemukan, saat makan malam bersama Timeleft. Obrolan di komunitas—bahkan sejak pertemuan pertama—lebih bermakna, bukan performatif. Sebab, komunitas “memfilter” pesertanya bukan cuma lewat ketertarikan, tapi berhubungan secara verbal. Dan di sini, aku bisa mengenal orang-orang dengan kesamaan cara berpikir serta pandangan politik, sehingga menemukan rasa aman. Sementara “filter” yang digunakan algoritme enggak bisa menawarkan beberapa aspek ini. 

Kini, relasiku dengan teman-teman dari komunitas pun beragam. Ada yang bertemu setiap komunitas kami mengadakan acara, ada yang berinteraksi kasual dan jadi teman main, ada juga yang sering berkabar dan punya relasi mendalam. Whatever form friendships take, their presence make me feel like I’m breathing a fresh air amidst the turmoil. 



#waveforequality
About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.