Di Balik Ramainya Judicial Review: Ada Masyarakat Melek Politik dan Kinerja Buruk Pemerintah

“Agar tidak ada lagi korban, cukup berhenti di aku,” ungkap Daniel Frits Maurits Tangkilisan.
Daniel merupakan aktivis lingkungan yang melakukan Judicial Review (JR) terhadap Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yang telah disetujui Mahkamah Konstitusi (MK). Bukan tanpa alasan Daniel mengajukan judicial review terhadap UU ITE. Ia pernah terkena jerat UU ITE dan mendekam di penjara akibat menyuarakan penolakannya terhadap tambak udang ilegal yang merusak lingkungan Karimunjawa.
Selain itu, Daniel merasa UU ITE bermasalah dan tidak seharusnya menjadi peraturan. Menurutnya, UU ITE hanya akan membatasi masyarakat yang ingin menyampaikan kritik terhadap pemerintah serta rawan disalahgunakan untuk kepentingan pribadi semata.
“Saat di penjara, aku bertemu bapak-bapak yang terkena jerat UU ITE padahal masalahnya sepele, masalah keluarga. Seharusnya bisa diselesaikan secara kekeluargaan, tapi ada orang yang ingin menjatuhkan dia dan dipakailah UU ITE,” jelasnya ketika diwawancarai Magdalene pada Kamis (8/5).
Daniel juga menceritakan pengalamannya melakukan JR. Ia menyadari bahwa menghapus keseluruhan UU ITE adalah hal utopis, oleh karena itu ia memilih beberapa pasal bermasalah untuk diuji.
Baca juga: Dari Kampus ke Ruang Sidang: Kisah Mahasiswa Gugat Negara lewat JR (1)
“Saat masih di penjara aku menandatangani surat kuasa sebagai pemohon sekitar bulan April tahun 2024 untuk melakukan JR. Setelahnya proses berjalan, untuk sampai pada tahap putusan ternyata cukup lama. Sempat ditunda karena MK sibuk mengurusi gugatan Pilkada, tapi akhirnya selesai setelah hampir setengah tahun lebih,” jelasnya.
Meski memakan waktu cukup lama, Daniel merasa puas atas hasil yang didapat. Ia menyebut JR merupakan metode efektif untuk menggugat undang-undang yang tidak sesuai dengan kepentingan masyarakat.
Daniel turut mengkritik pembuatan undang-undang yang sering tidak melibatkan masyarakat. Maka, menurutnya wajar ketika banyak masyarakat melawan balik dengan melakukan judicial review.
Ia juga menceritakan terdapat 12 putusan lain yang dibacakan MK ketika hasil gugatannya keluar. Daniel mengapresiasi semangat masyarakat yang peduli dan sadar akan hukum di Indonesia.
“Bukan cuma aku yang menggugat UU ITE, ada tiga pihak dan itu bagus. Dilanjutkan semangat itu dan dicontoh oleh yang lain,” terangnya.
Lebih jauh, Daniel mengajak berbagai pihak untuk dapat lebih berani bersuara. Ia merekomendasikan JR sebagai metode perlawanan efektif untuk hari ini.
“Aku berharap kita semua jangan takut untuk bersuara. Ini tugas kita untuk membela sesama, tanggung jawab kita semua. Jangan sampai aksi kita berhenti di satu metode saja, tapi harus dikawal, disebarluaskan, dan terus dibicarakan,” tutupnya.
Baca juga: Dari Kampus ke Ruang Sidang: Kisah Mahasiswa Gugat Negara lewat JR (2)
Mengenal Judicial Review, Upaya Perlawanan Masyarakat Sipil
Judicial Review (JR) merupakan mekanisme hukum yang memperbolehkan warga negara menguji sebuah undang-undang yang dirasa telah bertentangan dengan kepentingan mereka. Menurut Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini, mekanisme tersebut merupakan alat kontrol warga negara dalam mencegah pelanggaran hukum dan kesewenang-wenangan dalam pembentukan regulasi.
“Masyarakat bisa mempersoalkan sebuah UU dari berbagai sisinya, apakah prosedurnya sudah sesuai? Sudahkah melibatkan partisipasi bermakna masyarakat? Atau bagaimana isinya? Apakah sesuai kebutuhan banyak orang? Itu semua hak masyarakat sebagai warga negara,” terangnya ketika diwawancarai Magdalene (14/5).
Menurut Titi, keberanian masyarakat untuk menggugat sebuah UU adalah bukti tingginya kesadaran merek mempertahankan hak-hak sebagai warga negara. Ia menyebut warga negara yang melek politik memang dibutuhkan untuk memastikan demokrasi tetap berjalan.
Tingginya kepedulian masyarakat terhadap hukum di Indonesia dapat dilihat dari banyaknya gugatan terhadap UU belakangan ini. Melansir Tempo, pada tahun 2024 Mahkamah Konstitusi menerima 240 perkara pengujian UU, terbanyak selama lima tahun terakhir.
Menanggapi hal tersebut, Titi tidak hanya mengapresiasi partisipasi masyarakat, tetapi juga mengkritik kegagalan pemerintah dalam merumuskan UU. Baginya, hal tersebut bukti pemerintah gagal menghasilkan UU yang sesuai dengan aspirasi dan kepentingan masyarakat.
“Kalau saja pemerintah taat aturan main ketika merumuskan UU, sesuai dengan kepentingan publik, maka masyarakat tidak perlu bersusah payah untuk memperjuangkan UU yang mereka anggap sesuai dengan kepentingan mereka,” jelasnya.
Titi juga berkelakar bahwa hari ini masyarakat seperti “diuji” oleh pemerintah sebagai pembentuk UU. Sebab baginya, masyarakat yang mengajukan JR berjuang mandiri dalam membentuk solidaritas serta membangun kesadaran tanpa mendapat bantuan atau pembiayaan dari pemerintah.
Lebih jauh, ia juga mengkritik pernyataan pejabat pemerintah yang menyatakan, “UU bermasalah diajukan saja ke MK.” Menurutnya, pernyataan tersebut keliru dan menjadikan MK seakan “tempat sampah” untuk membuang regulasi bermasalah.
Baca juga: Membela Berujung Penjara: 5 Aktivis Lingkungan yang Dikriminalisasi Negara
Menjadikan MK sebagai “tempat sampah” regulasi bermasalah merupakan gejala legalisme otokratis, yaitu penggunaan hukum oleh penguasa secara manipulatif dan otoriter. Titi menyebut, model tersebut memang tetap menjalankan hukum secara prosedural, namun substansinya tidak untuk kepentingan publik, melainkan hanya untuk memperkuat dan melanggengkan kekuasaan.
“Pemerintah seakan bekerja dengan mempersilakan masyarakat menggugat UU bermasalah, namun akar permasalahannya tidak diatasi. Kurangnya partisipasi bermakna masyarakat, substansi UU yang tidak sesuai kepentingan publik, itu semua luput,” tuturnya.
Selain itu, Titi juga menerangkan celah permasalahan yang dialami masyarakat ketika melakukan JR. Upaya tersebut, menurut Titi, rawan dimanfaatkan pihak tertentu demi kepentingan pribadi. Serta, independensi MK juga hal yang patut terus dijaga untuk mencegah politisasi isu dan konflik kepentingan.
Titi mengingatkan masyarakat untuk aktif memantau proses peradilan. Agar tidak malah menjadi alat politik pihak tertentu serta menguatkan oligarki dan kekuasaan yang otoriter.
