Politics & Society

RUU PKS Tidak Menyalahi Ajaran Islam

RUU PKS memiliki urgensi besar untuk segera disahkan untuk menambal kekosongan hukum yang mengatur kekerasan seksual.

Avatar
  • March 12, 2019
  • 5 min read
  • 463 Views
RUU PKS Tidak Menyalahi Ajaran Islam

Rancangan
Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) masih menuai pro dan
kontra, dengan
 beberapa kubu penolak menggunakan
legitimasi agama untuk menggagalkan pengesahan RUU yang sudah masuk Program
Legislasi Nasional (prolegnas) sejak 2016 lalu itu.

 

 

Pihak-pihak
yang mencoba mengusahakan pembatalan pengesahan
RUU
PKS
menganggap RUU tersebut membolehkan hubungan seksual secara liberal di
luar nikah seperti perzinahan dan membebaskan eksistensi LGBTQ+ (lesbian, gay,
biseksual, transeksual, queer+). Anggapan itu jelas membabi buta karena tak ada
satu pasal pun dalam RUU PKS yang berbicara tentang dua hal tersebut.

Dalam
diskusi publik
Meneguhkan Nilai Keislaman
dan Kemanusiaan dalam Penghapusan Kekerasan Seksual
yang diselenggarakan di
Ruang Teatrikal Gedung Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada 28
Februari lalu, akademisi/aktivis Maria Ulfah Anshor dari Alimat Jakarta mengatakan,
RUU PKS mengatur tentang upaya pencegahan kasus kekerasan seksual sampai
pendampingan kepada pelaku maupun korban.

Mantan
Ketua Komisioner Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tersebut berkata RUU PKS
tak ada hubungannya dengan perzinahan karena berada dalam koridor yang berbeda.

“RUU
PKS sama sekali tidak melegitimasi seks di luar nikah karena sudah jelas dalam
Islam bahwa seks di luar nikah adalah haram, apalagi dilakukan dengan
kekerasan. Itu sudah kami kunci,” ujar Maria.

Ia
menambahkan, RUU PKS tidak bermaksud membolehkan tindakan yang dilarang agama
hanya karena tidak mencantumkannya dalam
draft
undang-undang. “Ketika sebuah larangan agama tidak diatur dalam RUU ini, tidak
berarti pembolehan atas apa yang dilarang agama. Tindakan tersebut tetap
dilarang, namun tidak termasuk domain RUU PKS karena tidak mengandung unsur
kekerasan seksual,” tegasnya.

Justru,
menurut Maria, RUU PKS menjunjung tinggi nilai-nilai keislaman seperti
kontra-kekerasan dan menganggap semua manusia sebagai makhluk yang mulia. Pada
hakikatnya, kekerasan seksual menyalahi kemanusiaan, melanggar
Hifdhuddin dan martabat kemanusiaan
korban (
Hifdhul Irdl), ujarnya.

Selain
itu, kekerasan seksual turut melanggar pendidikan korban (
Hifdhul Aql), melanggar akses ekonomi (Hifdhul Mal), rusaknya organ dan fungsi reproduksi (melanggar Hifdhun Nasl), dan melanggar prinsip Hifdhun Nafs (memicu bunuh diri korban
kekerasan seksual).

“Allah
memuliakan manusia dan kekerasan seksual menciderai kemuliaan manusia, baik
kemanusiaan pelaku karena hanya bersikap seperti pejantan atau betina, maupun
kemanusiaan korban karena diperlakukan sebatas pejantan atau betina,” ujar Maria.

Islam
mengajarkan bahwa posisi perempuan dan laki-laki pada hakikatnya adalah setara.
Kekerasan yang seringkali terjadi karena adanya relasi kuasa yang timpang
menyalahi kesetaraan tersebut. Baik perempuan maupun laki-laki haruslah
terbebas dari berbagai bentuk kekerasan seksual. Semua orang harus merasa aman
dalam berkehidupan.

RUU
PKS sebenarnya merupakan jawaban dari kekosongan hukum di Indonesia yang belum
mengatur secara detil ihwal kekerasan seksual, pencegahan, dan pendampingan
penyintas kekerasan seksual. Maka dari itu, hukum pidana yang berperspektif
korban memiliki urgensi besar yang tidak bisa ditemukan dalam KUHP, UU PKDRT,
dan UU Perlindungan Anak.

Menurut
Sri Wiyanti Eddyono, dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada yang juga
menjadi narasumber diskusi publik tersebut, hukum di Indonesia masih banyak
mengatur ihwal hak-hak pelaku kekerasan seksual dan alpa memperhatikan korban
sebagai pihak yang terpapar secara langsung.

“Kekerasan
seksual masih dianggap sebagai kejahatan seksual biasa. Dari 500 pasal, hanya
tiga pasal yang berbicara tentang hak-hak korban. Padahal, korban kekerasan
seksual mengalami dampak besar secara fisik maupun psikis,” ujar Sri.

Sri
mengatakan kekerasan seksual adalah kasus bersama sehingga semua elemen
masyarakat harus bahu-membahu untuk mewujudkan kehidupan tanpa kekerasan
seksual. Meski begitu, negara sebagai
ulil
amri
punya tanggung jawab untuk segera mensahkan RUU PKS, ujarnya.

Negara
wajib hadir memberikan perlindungan secara sistemik kepada rakyatnya meliputi
pencegahan, proses hukum yang menjadi keadilan bagi korban maupun pelaku,
hingga rehabilitasi dan pemulihan korban dan pelaku. RUU PKS telah mencakup
semua itu karena merupakan hukum yang lebih berperspektif korban.

Sering
kali, korban kekerasan seksual menginternalisasi masalah kekerasan seksual yang
dialami sampai depresi dan trauma berkepanjangan karena perkosaan seringkali
dianggap sebagai zina. Akibatnya, korban sulit mendapat perlindungan hukum dan
malah mendapat sanksi sosial karena dianggap orang tidak baik.

Korban
mengalami
victim blaming dan dianggap
turut memiliki andil dalam kekerasan seksual yang dialami. Alih-alih memberikan
perlindungan dan dukungan kepada korban, banyak masyarakat bahkan penegak hukum
yang berlaku seksis dan melakukan reviktimisasi kepada korban yang umumnya
perempuan.

Padahal
Islam sangat memuliakan perempuan. KH. M. Ikhsanuddin, dekan Fakultas
Ushuluddin Institut Ilmu Quran An Nur, mengatakan Islam sejak zaman Nabi
Muhammad sudah melarang kekerasan seksual dalam bentuk perbudakan seksual dan
perkosaan.

Dalam
hubungan suami-istri sekalipun, laki-laki tidak boleh memukul perempuan dengan
niat menyakiti. Bahkan, ada tafsir bahwa ada bagian tubuh tertentu yang boleh
dipukul. Pun, pukulan tersebut hanya boleh dilakukan menggunakan siwak (sikat
gigi).

“Syech
Nawawi berkata bahwa h
anya ada beberapa bagian tertentu yang boleh
dipukul.
Tidak boleh memukul kepala,
tidak boleh melukai, tidak boleh memukul wajah, dada, perut, tidak boleh
memukul kemaluan. Itu kaidahnya,” ujar tokoh Pesantren Krapyak tersebut.

RUU
PKS memiliki urgensi besar untuk segera disahkan untuk menambal kekosongan
hukum yang mengatur kekerasan seksual. Penting untuk terus mengawal proses
pengesahan RUU PKS sembari terus melakukan advokasi ihwal betapa pentingnya RUU
PKS untuk kehidupan yang lebih aman tanpa kekerasan seksual karena ada produk
hukum pidana yang jelas dan berperspektif korban.

Ilustrasi oleh Adhitya Pattisahusiwa



Avatar
About Author

Ahmad Zulfiyan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *