Issues Lifestyle

Setan Digital 4.0: Dari Tuyul di Era ‘Cashless’ hingga Order Fiktif Mbak Kunti

Saya ngobrol dengan tiga orang indigo untuk cari tahu tentang dunia astral di era internet sekarang. Pertanyaan saya kebanyakan remeh tapi jawabannya ternyata tak sederhana.

Avatar
  • April 22, 2023
  • 7 min read
  • 2910 Views
Setan Digital 4.0: Dari Tuyul di Era ‘Cashless’ hingga Order Fiktif Mbak Kunti

“Sate. 200 tusuk, makan di sini.”

Kalau kamu penggemar film “Sundel Bolong”, tentu masih lekat dengan kalimat saat Suzanna mukbang sate 200 tusuk tersebut. Dengan ekspresi datar, rambut terurai panjang, mata hitam melotot, memakai gaun putih dengan bolong di punggung, ratu horor itu memesan sate kepada abang-abang pinggir jalan. Lalu ia memakannya dalam tempo singkat. Enggak cuma sate, panci berisi soto panas pun ia telan tanpa koma. Film itu sendiri rilis pada 1981, tapi hingga hari ini buat sebagian generasi penonton, rasa seramnya masih terbayang.

 

 

Di 2023, teror setan yang pesan makanan mengalami modifikasi: Mereka pakai teknologi. Sejumlah cerita kesaksian abang ojek online (ojol) tentang teror setan yang pesan makanan lewat aplikasi, seliweran di media sosial. Tak cuma pesan makan, setan-setan ini konon juga gabut minta diantar ke suatu tempat, yang ujung-ujungnya, kalau enggak kuburan ya rumah kosong. Akun Twitter @workfess pada (18/4) misalnya, mengunggah cerita sopir ojol yang dapat order fiktif setan di sekitar Menara Saidah, Jakarta Timur, dan dibayar dengan daun. Imbasnya, ia trauma enggak mau narik beberapa hari.

Kasus setan yang jago pakai teknologi untuk memicu rasa takut itu, cuma satu dari sekian banyak cerita yang beredar dan kerap kita dengar. Di tayangan Uji Nyali besutan Trans TV atau Uka-uka dari MNC TV, setan-setan ini bahkan bisa mengintervensi teknologi dengan mematikan kamera, lampu, dan sejenisnya. Di film-film yang kita tonton, setan bisa membuat mesin mobil mendadak mogok, suhu udara di ruangan ber-AC menjadi lebih dingin, menelepon manusia, menyalakan TV.

Hal inilah yang membuat saya bertanya-tanya, apakah di era teknologi sekarang di mana mayoritas orang adalah tech savvy, setan-setan juga ikut beradaptasi dengan zaman? Benarkah setan memahami cara menggunakan teknologi? Pertanyaan itu juga makin terngiang-ngiang, ketika mahasiswa saya di kelas iseng bertanya, “Miss, kami mau buat program siaran tentang tuyul di era cashless. Menurut Miss, gimana cara tuyul cari duit kalau semua orang pakai Gopay, Ovo, atau Dana? Apakah tuyul beradaptasi dengan teknologi.”

Andaikan hantu itu memang ada dan tak pernah mati, bagaimana mereka bertahan di era digital? Saya memutuskan mencari jawaban dengan wawancara tiga orang yang punya kemampuan indigo. 

Baca juga: Menyelami Isi Kepala Kolektor ‘Spirit Dolls’

Orang Indigo Saja Tak Satu Suara

Angela, 20, yang punya bakat indra keenam turunan di keluarganya yakin, di era teknologi secanggih apapun, setan tak akan menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Tuyul akan tetap mencuri uang tunai misalnya, alih-alih membobol pin ATM atau akun Shopeepay orang.

“Mentok-mentok kalau enggak ada lagi uang tunai tersisa, tuyul masih bisa digunakan oleh tuannya untuk penglaris atau pesugihan. Saya sendiri pernah melihat tuyul yang tingginya enggak sampai 100 meter, bermuka keriput dan pucat, sedang meneteskan liur di sebuah rumah makan biar makanannya laku,” ujar Angela pada saya, (20/4).

Pendapat Angela diamini oleh Arsinta Mutiara Dewi, perempuan indigo dari Depok, Jawa Barat. Kata ibu dua anak itu, tuyul dan makhluk astral lainnya cuma bisa mencuri uang tunai saja. “Tuyul itu hanya ambil uang yang terlihat di luar, seperti di dompet lipat dua yang tidak tertutup contohnya. Dia enggak bisa ambil uang yang disimpan di brankas, celengan, atau dompet dalam tas,” ujarnya.

Pun, setan lain yang hidup berdampingan dengan kita, kata Arsinta, takkan punya kemampuan untuk beradaptasi dengan teknologi. “Makanya, aku enggak pernah percaya ada setan yang bisa memesan makanan atau memesan tumpangan untuk dianjar ojol. Menurutku itu cuma pekerjaan manusia yang iseng saja,” tuturnya.

Menurut “penglihatan” Arsinta, setan itu berwujud menyerupai asap, yang mampu bergerak dengan kecepatan tertentu dan bersalin wajah jadi sosok manusia misalnya. “Logikanya jika benda material bergerak dengan kecepatan tinggi, maka mampu menggerakkan benda-benda lain di sekitarnya. Menggeser meja, kursi, menjatuhkan barang. Namun, untuk membuka ponsel, memakai aplikasi ojol, aku belum pernah lihat,” urainya.

Angela sepakat. Dalam hematnya, butuh energi besar buat setan untuk masuk ke dimensi manusia. “Untuk menampakkan diri saja butuh energi banyak, mereka tak sekuat itu untuk menggerakkan sebuah aplikasi apalagi sampai memesan ojek daring. Intinya orang iseng, aja sih.”

Baca juga: Takut Setan dan Hal-hal Gaib: Bawaan atau Pengalaman?

Keterangan berbeda disampaikan Gus Lingga, orang indigo yang sehari-hari aktif membaca tarot Omah Kopi Pupuan, Bali. Menurutnya, makhluk-makhluk astral atau entitas preta–makhluk dari dimensi lain–bisa mengintervensi teknologi. Ini bisa dilakukan sepanjang lokasi tempat ia melakukan intervensi itu punya gelombang energi lebih banyak dari dirinya. 

“Akan sangat mudah buat setan untuk melakukan intervensi. Apalagi jika energi prana manusia sedikit di lokasi itu. Ditambah ada energi negatif yang besar, misalnya dulunya itu tempat orang bunuh diri, ada yang meninggal tapi tak dibersihkan, lokasi ritual hitam, pemakaman orang sakit, dan sejenisnya,” terang dia pada saya.

Bagaimana dari Sudut Pandang Pengetahuan?

Bicara eksistensi dan kemampuan setan untuk mengintervensi teknologi memang relatif tak ada habisnya. Tak cuma anak indigo, para ilmuwan pun ramai-ramai menjelaskan. Dalam eksperimen Dr. Richard Wiseman, profesor di University of Hertfordshire dijelaskan bagaimana pengetahuan sukses membantah kemungkinan hantu mengintervensi benda-benda mati di dunia manusia. Eksperimen itu dikutip oleh CJ Efthhimio dan S. Gandhi (2007) dalam jurnal bertajuk “Cinema Fiction vs Physics Reality: Ghosts, Vampires and Zombies” (2007).

Jadi ceritanya, Wiseman dan tim psikolog dari kampusnya, sengaja memasang kamera yang mendeteksi gerakan di Galeri Hampton Palace di London. Galeri ini disebut-sebut angker setelah menjadi tempat eksekusi Chaterine Howard, istri Raja Henry VIII pada 1542 karena kasus perzinaan. Para pengunjung mengaku kerap dibuntuti arwah mendiang Howard.

Sekitar 400 pengunjung saat eksperimen lantas ditanya, apakah mereka merasakan kehadiran hantu di galeri, dan lebih dari setengahnya mengaku merasakan penurunan suhu secara tiba-tiba, tanpa bisa melihat sosok penyebab atau hantu yang dimaksud.

Usut punya usut, ada radiasi di tubuh yang lebih hangat daripada benda dingin, sehingga menyebabkan benda bersuhu lebih rendah mengambil alih radiasi benda bersuhu tinggi. Inilah yang menyebabkan suhu berubah menjadi dingin atau penurunan suhu di AC–suhu dingin kerap diasosiasikan dengan kehadiran hantu. 

Dalam kasus Galeri Hampton, suhu ruangan berubah dingin karena kontak antara sejumlah besar pengunjung, yang tubuhnya memancarkan panas dan suhu rendah dari pintu dan dinding yang padat dan dingin, serta arus udara yang masuk begitu sekelompok orang memadati galeri.

Baca juga: Seminggu Mencoba Pesugihan Online Halal, Beneran Bisa Kaya?

Di Indonesia, Dr. Risa Permanadeli, Direktur Pusat Kajian Representasi Sosial, yang juga lulusan Ecole des Hautes Études en Sciences Sociales (EHESS) adalah salah satu yang ajeg meneliti tentang hantu di Indonesia. Dalam wawancaranya dengan Kompas pada 2021, dia menjelaskan bagaimana orang-orang akhirnya memaknai identitas dan representasi hantu. “Kemalasan menggali konteks di belakang cerita hantu membuat hantu dalam industri hiburan Indonesia tidak memiliki dasar pengetahuan yang jelas. Secara pemikiran dia anomali dan karena itu chaotic (kacau),” ujarnya, dilansir dari Kompas.

Ironisnya, imbuh dia, apa yang dipahami publik tentang hantu umumnya terkonstruksi dari industri hiburan, seperti film, TV, media sosial. Jika di film “Sundel Bolong” (1981), setan digambarkan bisa meneror tukang sate dengan pesan sate 200 tusuk, maka penonton cenderung percaya, di dunia nyata setan memang berpotensi melakukan tindakan itu.

Jika di media sosial, konstruksi yang tertanam, seorang kuntilanak bisa memesan sate, soto, atau nasi padang untuk dikirim ke alamat fiktif, maka cerita serupa akan semakin banyak muncul. Entah benar atau tidak. Bukan tak mungkin, ketika film kita menormalisasi hantu bisa jadi artis dan sohor di Youtube seperti di “We Have a Ghost” (2023), orang-orang akan percaya itu juga.

Saya mengobrol dengan Wisnu Adihartono, sosiolog dan peneliti dari EHESS, Prancis terkait ini. Ia bilang, di mata orang awam, setan apapun wujudnya entah tuyul hingga kuntilanak, dipercaya menggunakan kekuatan untuk dapat mengambil apa yang ia inginkan sesuai dengan perintah si tuan. Karena itulah, ia yakin makhluk semacam itu takkan pernah punah, bahkan bisa dimodifikasi sedemikian rupa.

Sementara, buat mereka yang punya privilese mampu “melihat” setan, biasanya menyebutkan, aktivitas setan serupa dengan kita. “Kita banyak membaca berita-berita atau melihat beberapa aktivitas ghaib yang mirip dilakukan oleh manusia. Sehingga, menurut saya apa yang dilakukan oleh setan tak jauh berbeda dengan manusia,” ungkapnya pada saya.

Dalam kajian Sosiologi, secara representasi sosial, setan direpresentasikan oleh para manusia sebagai makhluk ghaib yang jahat dan sangat menakutkan. Akan tetapi ada juga beberapa dari mereka yang mempunyai sikap menjaga dan tidak diniatkan untuk mengganggu.

“Inilah mengapa representasi sosial tentang setan yang jahat dan menakutkan selalu menjadi sebuah representasi yang ajeg,” pungkasnya.


Avatar
About Author

Purnama Ayu Rizky

Jadi wartawan dari 2010, tertarik dengan isu media dan ekofeminisme. Kadang-kadang bisa ditemui di kampus kalau sedang tak sibuk binge watching Netflix.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *