‘Gowok: Kamasutra Jawa’: Antara Edukasi Budaya dan Sensasi Media

Ketika Gowok: Kamasutra Jawa tayang perdana pada 5 Juni 2025, gelombang respons publik langsung memuncak. Poster sensual dan judul provokatif membuat film ini segera viral, menciptakan berbagai opini, kritik, bahkan kecaman. Namun lebih dari sekadar konten film, polemik ini memperlihatkan betapa kuat dan berbahayanya framing media dalam membentuk persepsi publik, terutama saat menyangkut isu budaya dan seksualitas.
Media bukan sekadar penyampai informasi. Di era digital yang serba cepat dan kompetitif, media telah menjadi pembentuk realitas. Seperti yang dikemukakan ahli komunikasi Denis McQuail, dalam bukunya Media and Mass Communication Theory (2020), media tidak hanya “memotret” realitas, tetapi juga membingkainya, dengan memilih mana yang ditonjolkan dan mana yang diabaikan. Dalam hal Gowok: Kamasutra Jawa, banyak media memilih fokus pada sisi erotis dan sensual ketimbang konteks budaya Jawa atau makna filosofis yang terkandung di balik istilah “gowok”.
Gowok merujuk pada perempuan yang ditugasi membekali calon pengantin laki-laki dengan pengetahuan kehidupan rumah tangga, termasuk aspek seksualitas. Secara historis, tradisi ini bukan sekadar praktik erotis, tetapi pendidikan pranikah yang sakral dalam budaya Jawa. Sama halnya dengan Kamasutra, yang kerap direduksi hanya sebagai kumpulan posisi seksual, sejatinya adalah teks filsafat tentang relasi, spiritualitas, dan keseimbangan hidup. Sayangnya, dimensi filosofis ini acap kali terpinggirkan dalam pemberitaan. Media lebih gemar menyorot kontroversi ketimbang menyajikan analisis mendalam.
Alih-alih menghadirkan ruang diskusi, pemberitaan justru terjebak dalam dua kutub ekstrem, antara menjual sensasi atau mengecam sebagai ancaman moral. Judul-judul artikel dibuat vulgar demi klik, tubuh perempuan dijadikan umpan visual, dan nuansa seksualitas dijadikan bahan provokasi. Pertanyaan-pertanyaan penting seperti “mengapa tubuh perempuan selalu dijadikan alat dalam pendidikan seksual laki-laki?” atau “apakah tradisi ini memberi ruang bagi agensi perempuan?” justru tenggelam dalam pemberitaan yang dangkal.
Baca juga: Cara Anak Kecil Jatuh Cinta dalam Media: Bingkai Predatorial dalam ‘I Love You, Om…’
Framing media dan asumsi yang terbentuk dari visual
Wacana publik soal Gowok: Kamasutra Jawa akhirnya dipenuhi emosi dan minim konteks. Bahkan sebelum film ini tayang di bioskop, banyak orang mengira bahwa ini adalah film horor. Setelah menonton atau membaca sinopsis resminya, barulah khalayak memahami bahwa film ini justru mengangkat warisan budaya masa lalu.
Kesalahpahaman ini menimbulkan pertanyaan: mengapa bisa terjadi? Salah satu jawabannya terletak pada desain promosi visual, terutama poster, yang berperan besar dalam membentuk persepsi awal publik. Elemen visual yang gelap dan provokatif menciptakan asumsi tertentu, bahwa ini film mistis atau eksploitasi sensual, dan media memperkuat asumsi itu dengan narasi yang mempertebal kesan sensasional. Di sinilah peran media patut dipertanyakan: apakah mereka sekadar menyampaikan informasi, atau justru memperkuat bias lewat framing yang tidak proporsional?
Akibatnya, film ini disalahkan bahkan sebelum ditonton. Para aktor dan pembuat film menjadi sasaran hujatan, seolah merekalah penyebab kemunduran moral. Media, sementara itu, mencuci tangan dan berlindung di balik klaim “netralitas”, padahal mereka turut menciptakan narasi yang memicu reaksi berlebihan. Padahal, film ini telah lulus sensor dengan klasifikasi usia yang jelas, sehingga secara hukum, ia layak tayang dalam batas aturan yang berlaku.
Baca juga: ‘Framing’ Media, Sistem Peradilan yang Timpang Membunuh Tersangka Lesbian
Fenomena ini mengungkapkan betapa kita belum siap berdiskusi secara terbuka dan kontekstual soal seksualitas. Kita lebih nyaman dengan narasi cinta yang normatif dan “layak tonton keluarga”, tapi menjadi defensif saat film lokal mulai menyentuh tema tubuh, relasi seksual, dan tradisi. Ini menunjukkan masih minimnya ruang publik yang dewasa dan kritis dalam membicarakan seksualitas.
Yang lebih memprihatinkan, perspektif perempuan dalam tradisi ini hampir tak diangkat. Bagaimana pengalaman mereka yang menjadi gowok? Apakah mereka memiliki pilihan? Apakah ini bentuk pembebasan, atau justru pemaksaan yang dibungkus romantisasi budaya? Sayangnya, pertanyaan-pertanyaan ini tenggelam dalam framing media yang terus menempatkan perempuan sebagai objek.
Padahal, film ini bisa menjadi pemicu diskusi yang lebih dalam mengenai pendidikan seks yang setara. Alih-alih sekadar melestarikan tradisi, mengapa kita tidak mempertanyakan mengapa pendidikan seks selalu berpusat pada kenyamanan dan kepentingan laki-laki? Mengapa tidak ada tradisi yang mengajarkan laki-laki untuk memahami tubuh dan keinginan perempuan?
Sebagian mungkin akan berdalih bahwa ini adalah bagian dari kearifan lokal yang harus dihormati. Namun, menghormati budaya tidak berarti membungkam kritik. Justru dengan merefleksikan ulang praktik-praktik lama, kita bisa mendorong budaya menuju bentuk yang lebih setara dan manusiawi.
Baca juga: Kasus Reynhard Sinaga dan ‘Framing’ Sensasional Media
Sebagaimana komentar positif yang muncul di media sosial, banyak yang menilai film ini sebagai eksekusi cerdas dalam mengangkat isu seksualitas dan patriarki. Di sinilah seharusnya media mengambil peran: bukan memperkeruh polarisasi, melainkan menjadi jembatan pemahaman. Sudah saatnya media menggunakan kekuatannya untuk membingkai isu-isu sensitif dengan cara yang lebih bijak. Bukan sekadar mengejar sensasi, tapi menawarkan konteks.
