Sejarah Misogini: Paham Usang yang Terus Berubah Makna

Misogini tak pernah lepas dari peradaban. Paham usang ini hadir dengan berbagai wajah, dari mitologi kuno, komunitas, hingga tren di internet.
Sekitar tahun 700 sebelum masehi (SM), penyair Yunani Hesiod bercerita tentang penciptaan perempuan pertama di dunia. Kisah berjudul “Work and Days” itu, menggambarkan Bumi yang hanya dihuni oleh laki-laki. Mungkin akan sulit dibayangkan oleh manusia modern, tetapi dunia di cerita Hesiod berjalan damai, tanpa ada penderitaan.
Singkat cerita, Zeus dikhianati oleh dewa yang bertugas melindungi umat manusia, Prometheus. Zeus pun marah. Dewa petir itu lantas menurunkan Pandora, perempuan pertama di dunia, untuk menghukum manusia. Di Bumi, Pandora membuka kotak yang berisi kejahatan dan penderitaan.
Merujuk Industrial Psychiatry Journal, beberapa teks sakral lain juga memiliki pandangan misogini, menganggap perempuan sebagai hukuman dan pembawa sial. Contohnya, kisah Adam dan Hawa di agama Abrahamik. Hawa digambarkan sebagai sosok yang menghasut Adam dan menyebabkan manusia jatuh dalam dosa.
Meski jejaknya sudah ada dalam mitologi dan naskah suci, cikal bakal kata “misogini” dituliskan oleh filsuf stoic Antipater pada 150 SM. Terminologi itu diambil dari Bahasa Yunani: misos, yang berarti “kebencian,” dan gunē, yang berarti “perempuan.”
Di bukunya berjudul “On Marriage”, Antipater menggunakan terminologi misogunia untuk menggambarkan komentar yang merendahkan perempuan dalam pernikahan. Menurutnya, misogunia bertentangan dengan kesucian dan cinta yang harus ditunjukkan lelaki terhadap istrinya.
Dari kritik dalam dunia pernikahan, misogini merambah ke ranah publik dan menjadi sistem yang terus ditentang oleh gelombang feminisme.
Baca juga: Femisida Bukan Sekadar Pembunuhan Biasa, Ada Misogini di Dalamnya
Sejarah Melawan Misogini
Perjuangan melawan misogini pertama terjadi di Amerika Serikat (AS) pada 1848. Elizabeth Cady Stanton menguraikan status inferior perempuan sebagai warga negara dan menuntut hak menentukan pilihan politik di depan 300 orang lewat Declaration of Sentiments di Seneca Falls, New York.
Di periode ini, perempuan tak punya identitas legal sebagai warga negara. Tanpa adanya suami, perempuan abad ke-19 di AS tak bisa menandatangani kontrak, memiliki properti, mengakses pendidikan, dan mengajukan perceraian.
Namun, dari sekian banyak isu yang diperjuangkan, hak menentukan pilihan politik menjadi yang paling krusial. Para pejuang kesetaraan gender kala itu berpikir, dengan adanya hak berpolitik, perempuan bisa memilih pemimpin yang dapat mengikis misogini dan seksisme.
Gelombang pertama kemudian berakhir dengan dikabulkannya hak perempuan kulit putih untuk memilih dalam pemilu pada 1920. Akan tetapi perjuangan masih belum usai. Setelah meraih hak menentukan pilihan politik, gelombang kedua feminisme lebih banyak berbicara mengenai peran gender tradisional dan penghapusan seksisme, juga misogini.
Pada 1963, Betty Friedan menerbitkan buku “The Feminine Mystique”, yang menekankan kejengkelan perempuan terhadap pembatasan peran hanya sebagai istri dan ibu. Buku tersebut laku keras dan memulai gelombang feminis kedua.
Keberhasilan gerakan ini ditandai dengan terciptanya peraturan tentang kesetaraan upah antara laki-laki dan perempuan; serta putusan Mahkamah Agung AS terkait kebebasan atas kesehatan reproduksi. Kemudian, perjuangan disempurnakan oleh gelombang ketiga yang dimulai pada 1992.
Gerakan feminisme kala itu banyak berbicara tentang kekerasan seksual di tempat kerja. Para pejuang kesetaraan gender juga mendorong perempuan untuk mengekspresikan diri dan seksualitas secara bebas dan tidak memerdulikan norma gender tradisional. Di sisi lain, periode ini berhasil menciptakan konsep interseksionalitas yang mengakui penindasan berdasarkan identitas sosial (gender, ras, kelas ekonomi).
Tak hanya di dunia Barat, Indonesia juga punya sejarah tentang gerakan kesetaraan gender. Organisasi Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) bisa menjadi contohnya. Mengutip buku Propaganda & Genosida di Indonesia, Gerwani memperjuangkan ketimpangan hak antara lelaki dan perempuan dalam pernikahan, dan menentang poligami di Indonesia. Mereka juga turut mengadvokasi hukuman berat bagi pelaku perkosaan.
Sayangnya, Gerwani yang merupakan organisasi sayap Partai Komunis Indonesia (PKI), menjadi korban pembantaian 1965. Anggotanya dipenjara, bahkan dibunuh. Gerwani difitnah sebagai kumpulan perempuan yang rusak secara moral. Era orde baru kemudian mengembalikan standar bahwa perempuan harus “patuh dalam keluarga heteronormatif yang patriarkis.”
Jika ditilik, setiap gerakan kesetaraan gender terbentuk untuk melawan misogini dan sistem patriarki yang seakan tak bisa lepas dari peradaban. Misogini hadir dengan berbagai rupa, seperti pembatasan peran perempuan dalam politik dan masyarakat; hingga kekerasan seksual.
Lantas, seperti apa wajahnya sekarang?
Baca juga: Apa itu ‘Patriarchy Extinction Burst’: Pukulan Mundur Kesetaraan Gender
Arti Misogini Hari ini
Makna dan bentuk misogini meluas di abad ke-21. Pada 2002 kamus Oxford menambah maknya menjadi: “Kebencian atau ketidaksukaan, atau prasangka kepada perempuan.” Pun demikian, pada 2014, ahli bahasa, Ben Zimmer, merasa misogini perlu diperluas kembali maknanya.
Menurut Zimmer, makna dari kata misogini semakin mirip dengan seksisme. “Ini memperluas jangkauan semantik kata tersebut. Kamu menggeneralisasikannya sehingga kata tersebut berbicara tentang apa yang terjadi di masyarakat dengan cara yang lebih umum, bukan hanya membatasinya pada ‘kebencian’,” jelas Zimmer sebagaimana ditulis di kuow.org.
Pemikiran ini datang ketika pencarian kata “misogini” di Merriam-Webster meroket. Kata itu banyak dicari setelah remaja bernama Elliot Rodger melakukan femisida karena menyalahkan masyarakat atas statusnya sebagai perawan.
Dalam satu video YouTube, dia pernah mengeluh karena tidak pernah berhubungan seks dengan perempuan di usianya yang kala itu 22. Merujuk BBC, Rodger menandai aksi femisidanya sebagai “Hari Pembalasan” dan mengatakan dia “tidak punya pilihan selain membalas dendam pada masyarakat” yang telah “menolak” haknya untuk mendapatkan seks dan cinta.
Setelah kasus tersebut, dia menjadi pahlawan untuk komunitas Involuntary Celibate (Incel). Komunitas yang besar di media sosial ini memiliki paham yang serupa dengan Rodger. Mereka menyalahkan perempuan dan gerakan kesetaraan gender atas kesulitan mendapatkan pasangan atau hubungan seksual.
Meski begitu, kelompok misoginis tidak selalu tampil mengutuk perempuan. Mereka bisa saja punya hubungan baik dengan perempuan di dekatnya, seperti anggota keluarga. Lantas kebencian dan prasangka apa yang bisa dikategorikan sebagai misogini?
Baca juga: Di Sini Incel, di Sana Incel: Pengalamanku Seminggu Selami Komunitas Pembenci Perempuan
Menjawab kebingungan ini, Filsuf asal Australia Kate Manne menawarkan logika baru untuk melihat misogini. Manne mengandaikan patriarki sebagai hukum dan misogini sebagai aparat. Patriarki mengatur perempuan untuk inferior terhadap lelaki, sementara orang-orang yang menginternalisasi misogini adalah para aparat yang akan menghukum pelanggar.
Misoginis tidak perlu membenci semua perempuan di muka Bumi. Akan tetapi, terfokus pada siapa saja yang menolak tunduk pada patriarki.
Hari ini, paham usang itu bersembunyi di balik tren media sosial. Konten tradwife dan energi maskulin dan feminin misalnya, secara tidak langsung, menebalkan prasangka bahwa perempuan hanya layak berada di ruang privat dan harus pasif di hadapan lelaki. Nama dan bentuknya bisa berubah, tetapi tujuannya tetap sama: Menjunjung tinggi patriarki.
