Issues

Apa Hukumnya Bilang “izin bertanya” Pas lagi Meeting? Pertanyaan yang Sangat Buruh

Hari Buruh saatnya merebut kembali suara kita. Bukan cuma soal upah dan jam kerja, tapi juga hak untuk bicara dengan cara yang menderajatkan, bukan merendahkan. Bukan juga menggunakan bahasa yang dilanggengkan oleh oligarki.

  • May 2, 2025
  • 3 min read
  • 1479 Views
Apa Hukumnya Bilang “izin bertanya” Pas lagi Meeting? Pertanyaan yang Sangat Buruh

Di tengah tren bahasa korporat yang lagi naik, kamu tahu gak sih kalau slang korporat itu ada kaitannya sama militerisme di zaman Orde Baru? Di masa itu, bahkan istilah “buruh” dilarang dan diganti jadi “pekerja” atau “karyawan” yang vibes-nya lebih produktif. Padahal, mengutip Dodi Faedlulloh, Dosen Administrasi Negara Universitas Lampung, di balik itu ada upaya buat membungkam solidaritas dan semangat perlawanan dalam gerakan buruh.

Sumber: Kompas

Saat kita respons “siap”, secara gak sadar kita nunjukin kesediaan kita untuk tunduk pada struktur kekuasaan yang ada. Mungkin ke head tim, manager, atau rekan kerja yang lebih tua dari kita.

Tapi dalam konteks Orba, “siap” adalah budaya kepatuhan dan hierarki yang ditanamkan oleh militer. Bahasa kayak gini yang jadi alat kontrol psikologis masyarakat biar ngerasa terikat sama norma yang dibentuk negara dan hormat pada otoritas.

Atau mungkin kalian pernah terjebak dalam situasi ini:

🥸: Gimana revisi yang diminta client?

🤓: Aman, pak 👍 (padahal gak aman)

Naiknya tingkat literasi di era Orba bukan cuma soal kemajuan pendidikan, tapi juga bagian dari strategi Soeharto untuk membentuk cara pikir masyarakat lewat bahasa. Hal ini dijelaskan Khairani dan Suprijono dalam studi Jargon–Jargon Politik Masa Orde Baru dalam Menciptakan Stabilitas Nasional. Begitu makin banyak orang bisa membaca dan memahami bahasa Indonesia, pemerintah punya jalur yang lebih luas buat nyebarin pesan-pesan kekuasaannya lewat media, pidato, dan dokumen resmi.

Nah, di sinilah kata-kata seperti “aman” berperan. Kata “aman” sering dipakai Soeharto sebagai eufemisme untuk tindakan kekerasan, kayak penangkapan atau penghilangan paksa, supaya publik nerimanya dengan tenang. Semakin banyak orang melek huruf, semakin besar juga efek dari kata-kata yang dibungkus rapi kayak gitu.

Menurut Virginia Matheson Hooker dalam Emmerson (2001), gaya bahasa politik Orba memang sengaja memakai eufemisme untuk menyembunyikan makna sebenarnya demi membentuk citra positif penguasa. Sekarang, tanpa sadar, kita jadi sering banget pakai kata “aman” dalam obrolan sehari-hari.

Baca juga: #(Re)formasi1998: Penobatan Soeharto Jadi Pahlawan Ancam Gerakan Perempuan

Terus apa hukumnya WA head tim sebelah “mohon maaf mengganggu sebelumnya”? 

Jawabannya enggak salah sih, tapi…kenapa harus serumit itu? Budaya basa basi ini kalau ditelusuri berangkat dari cara komunikasi dalam dunia militer yang masih tunduk pada struktur dan senioritas. Nah, dunia kerja kita masih banyak mengadopsi bahasa-bahasa itu.

Mari kita lihat contoh lainnya.

“Mohon pencerahannya 🙏”

“Mohon arahannya 🙏”

Alternatif: Kalau masukan dari Bapak/Ibu bagaimana? 

Boleh tolong dijelaskan lagi? Saya belum paham

“Izin menjawab..”

Alternatif: Saya ingin/hendak/mau menjawab..

Choose your fighter

Gak cuma di dunia kerja, praktik ospek di sekolah dan kampus juga dipenuhi dengan budaya militerisme, misalnya: 

🥸: ((menjelaskan instruksi)) sudah bisa dipahami belum?

🤓: Siap, sudah kak!

Ternyata, budaya “siap”, “izin”, atau “lapor” yang sering kita anggap sebagai standar sopan santun itu justru punya akar yang dalam dari sistem militer yang ditanamkan oleh Orba. Bahkan banyak yang ngira kalau sikap kaku dan birokratis di kalangan ASN itu budaya kerja yang alami, padahal lagi-lagi nilai-nilai militer yang ditanamkan ke dalam struktur kerja sipil itu warisan Orba.  



#waveforequality
About Author

Allaam Faadhilah

Allaam Faadhilah adalah penggemar transportasi umum dan kerap menyusuri belukar perkotaan ke pemutaran film, pameran, atau sekadar bengong di bangku taman.

Leave a Reply