July 14, 2025
Lifestyle Travel & Leisure

Tur Jalan Kaki: Wisata Murah dan Cerita Sejarah yang Tak Ada di Buku Sekolah

Alternatif liburan murah di Jakarta yang mudah dijangkau transportasi umum dan menyuguhkan kisah sejarah unik, sayangnya belum sepenuhnya ramah disabilitas.

  • June 24, 2025
  • 4 min read
  • 884 Views
Tur Jalan Kaki: Wisata Murah dan Cerita Sejarah yang Tak Ada di Buku Sekolah

Seorang ibu yang tampaknya sudah mendekati usia pensiun berhenti sejenak, dipapah temannya sambil memberi isyarat untuk menunggu. Ia memilih menepi ketika rombongan peserta walking tour bersiap berfoto di depan salah satu bangunan bersejarah di Jakarta.

“Kalian foto saja, saya tunggu di sini. Maaf jadi nunggu lama. Beginilah kalau jalan-jalan bareng lansia,” ujarnya.

Para peserta lain, dari anak muda sampai pekerja menjelang pensiun, saling menyemangati, sementara pemandu tur mengingatkan agar semua berjalan santai saja. Momen seperti inilah yang kerap muncul dalam wisata jalan kaki bersama komunitas Jakarta Good Guide (JGG): hangat, tak ada yang tergesa atau merasa terganggu, dan penuh interaksi antar generasi.

Harga wisata Jalan Kaki di Jakarta
Peserta Walking Tour Jakarta sedang mendengarkan penjelasan sejarah Gedung Perpustakaan Nasional Indonesia. (Foto: Abella Pratywi/Magdalene)

Menurut Farid Mardhiyanto, salah satu pendiri JGG, keragaman peserta ini berkat sistem pendaftaran yang inklusif.

Form-nya dibuat segenerik mungkin, tanpa batasan usia atau gender. Cukup daftar dan datang setelah dikonfirmasi lewat email,” jelasnya.

Yang menarik, JGG menerapkan sistem “pay as you wish”, alias peserta membayar seikhlasnya setelah tur. “Kami ingin semua orang bisa ikut tanpa khawatir biaya. Mau bayar Rp15 ribu atau Rp500 ribu, semua peserta diperlakukan sama karena guide-nya enggak tahu siapa bayar berapa,” kata Farid.

Baca juga: Seberapa Inklusif Fasilitas Umum di Ibu Kota: Pengalamanku Keliling Jakarta bareng Teman-teman Disabilitas

Membangun budaya jalan kaki di Jakarta

Awalnya Farid ragu jika ada yang mau wisata jalan kaki di Jakarta, mengingat kondisi trotoar dan transportasi layak yang belum memadai di seluruh ibu kota. Tapi terinspirasi dari komunitas serupa di luar negeri, ia mendirikan JGG pada 2014. Meski awalnya menyasar turis asing, kini peserta lokal justru mendominasi, terutama setelah pandemi.

JGG memanfaatkan transportasi publik, dengan rute yang dimulai dari titik yang mudah dijangkau dari halte atau stasiun. “Karena ini tur jalan kaki, kami ingin peserta bisa datang tanpa perlu kendaraan pribadi,” kata Farid.

Dengan berjalan kaki, cerita antar lokasi bisa dirangkai secara tematik. Kini JGG punya 64 rute tetap, dari kawasan museum, pasar, tempat ibadah, hingga kuburan. Contohnya rute Salemba: dimulai dari Perpustakaan Nasional, lalu menyusuri gereja, rumah sakit, kampus, hingga pasar.

Baca juga: Hati-hati Jebakan ‘Tourist Gaze’

Biaya Wisata Jalan Kaki di Jakarta
Beberapa kartu pos cetakan Jakarta Good Guide. (Foto: Abella Pratywi/Magdalene)

Saya sendiri sudah ikut tur ini lebih dari dua puluh kali. Rasanya berbeda dibanding membaca buku atau menonton video. Cerita disampaikan langsung di tempat kejadian sejarahnya, kadang malah diselipkan kisah lisan yang tak tercatat dalam buku pelajaran.

Awalnya, saya hanya ingin mengenalkan Jakarta ke teman dari luar kota. Tapi sebagai anak rantau, saya butuh bantuan pihak ketiga yang lebih memahami seluk beluk kota ini. Sejak itu, JGG jadi pilihan utama untuk menjelajah Jakarta.

Dalam satu rute berdurasi sekitar dua jam, kami berjalan menyusuri bangunan tua, rumah ibadah, pasar, dan mendapatkan rekomendasi kuliner. Bahkan untuk kawasan yang sering saya datangi seperti Blok M dan Sabang, tur tetap menyajikan pengalaman baru, misalnya soal eskalator pertama di Indonesia di Sarinah, atau latar sejarah nama jalan seperti Barito dan Bulungan.

Uniknya, cerita bisa berbeda tergantung pemandunya. “Kami bebaskan guide memilih sudut pandang, apakah fokus pada sejarah perempuan, sejarah yang dipelintir pemerintah, atau topik lain yang mereka kuasai,” ujar Farid. Hal ini membuka ruang diskusi, bahkan pertukaran buku atau film.

Saya pernah bertukar buku dengan salah satu guide dan mendapatkan buku Jakarta: Sejarah 400 Tahun karya Susan Blackburn. Dari situ, saya mulai membandingkan narasi dalam buku dengan versi yang diceritakan guide. Hasilnya, pengalaman tur jadi lebih dalam dan membuka perspektif baru.

Baca juga: Kontroversi Telusur Gang: Antara Wisata Kemiskinan dan Hilangnya Privasi Warga

Wisata jalan kaki belum ramah disabilitas

Dalam artikelnya A Whole-of-Life Approach to Tourism: The Case for Accessible Tourism Experiences (2009), akademisi Australia, Simon Darcy dan Tracey Dickson, menekankan pentingnya pariwisata yang aksesibel, yang memungkinkan semua orang, termasuk orang dengan disabilitas, lansia, dan pengguna kereta bayi, untuk berwisata dengan aman, mandiri, dan percaya diri.

Sayangnya, meski aspek biaya dan transportasi dalam tur jalan kaki Jakarta Good Guide sudah cukup inklusif, aksesibilitas fisik masih menjadi pekerjaan rumah. Hingga kini, JGG belum menyediakan dukungan seperti Juru Bahasa Isyarat (JBI) atau narasi audio khusus untuk teman Netra dan Tuli. Jalur tur pun belum sepenuhnya ramah kursi roda.

Farid, salah satu pendiri JGG, mengaku pertanyaan soal akses untuk disabilitas cukup sering muncul. Namun, keterbatasan pelatihan dan fasilitas membuat mereka belum bisa memenuhinya sepenuhnya.

Meski para pemandu telah tersertifikasi dan mengikuti pelatihan internal dari JGG serta tergabung dalam Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI), hingga kini mereka belum mendapatkan pelatihan khusus terkait inklusivitas.

Farid bercerita pernah memimpin tur yang diikuti peserta Tuli. Karena belum tersedia JBI, ia mencoba menyesuaikan diri dengan memperjelas artikulasi dan memperlambat bicara agar peserta bisa membaca gerak bibir.

“Kami sadar kami belum seinklusif itu,” ujarnya. “Tapi harapannya suatu hari nanti bisa menyediakan rute dan sistem yang lebih ramah untuk teman-teman difabel.”



#waveforequality
About Author

Abella Pratywi

Abella senang meromantisasi kehidupan sebagai anak pulau, baru tinggal di kota besar dan hidup mengembara dengan banyak idenya. Ingin berpikir dan berkesadaran, bercita cita lebih pandai membaca, menulis, dan berbicara serta bisa berlenggok depan kamera.