Mengurus Administrasi Pernikahan di Indonesia: Ribet dan Penuh Drama
Dari antrean panjang, pungutan liar, hingga fotokopi yang tak ada habisnya, ini adalah pengalaman nyata mengurus administrasi pernikahan di Indonesia.

“Kalau bisa susah, kenapa dibikin mudah?” sepertinya sudah menjadi kredo tidak resmi pemerintah di negara ini. Memang, sudah ada kemajuan yang lumayan dalam pengurusan administrasi kependudukan seperti KTP, Kartu Keluarga, atau paspor, terutama di Jakarta. Tapi saat mengurus dokumen persiapan pernikahan, saya menghadapi birokrasi yang berbelit, antrean panjang, dan pungutan liar yang membuat saya hampir menjadi bridezilla.
Tahun lalu, saya memutuskan untuk mengurus pernikahan sendiri, berharap bisa menghemat biaya. Tapi setelah menjalani langsung prosesnya dari tingkat RT/RW hingga Kantor Urusan Agama (KUA) di Karawang, saya menyadari bahwa prosedur ini jauh dari mudah (dan murah). Kalau kamu akan menikah, siap-siap menghadapi keribetan seperti ini.
Baca juga: Dicari: Khatib Nikah yang Tidak ‘Cringey’
Antrean panjang dan drama Pak Lurah
Saya mulai dengan bertanya ke teman-teman yang sudah menikah. Kebanyakan dari mereka menggunakan jasa calo karena sudah kewalahan dengan ribetnya persiapan pernikahan. Tapi saya penasaran ingin mencoba sendiri tanpa bantuan calo.
Informasi di laman resmi Kementerian Agama ternyata cukup lengkap soal tata cara pendaftaran pernikahan. Menurut laman ini, kita harus pergi ke kelurahan untuk mendapatkan Surat Keterangan Nikah (N1, N2, N3, dan N4). Jadi saya pergi ke kelurahan, bermodal keyakinan dan informasi dari internet.
Begitu sampai, saya dihadapkan dengan antrean panjang. Hampir tiga jam saya menunggu, dan bolak-balik dari rumah ke kelurahan, tapi Pak Lurah yang tanda tangannya sangat dibutuhkan tak kunjung muncul. Satu hari cuti saya terbuang percuma.
Keesokan harinya, saya kembali setelah mengurus surat kesehatan di puskesmas dan menerima suntikan vaksin serta Tetanus Toxoid (TT) untuk calon pengantin. Tapi situasinya tidak jauh berbeda. Waktu saya kembali terbuang percuma karena Pak Lurah tetap absen akibat urusan keluarga yang entah sampai kapan.
Akhirnya, saya diminta mengganti dokumen karena tanda tangan Pak Lurah akan diganti dengan tanda tangan sekretarisnya. Lelah? Sudah pasti. Tapi ini baru awal dari drama panjang.
Baca juga: Normalisasi Pernikahan Sederhana: Cukup di KUA untuk Menekan Biaya, Terbentur Keinginan Orang Tua
“Biasanya ada uang administrasi seikhlasnya”
Awalnya saya pikir tinggal membawa KTP dan KK saja sudah cukup. Tapi ternyata saya harus mendapatkan surat pengantar dari Pak RT dan RW.
Pak RT yang budiman menyambut saya dengan senyum ramah. Tapi sebelum saya pergi, beliau berdehem dan berkata, “Biasanya ada uang administrasi. Seikhlasnya.”
Saya yang tidak ingin memperpanjang urusan akhirnya menyerahkan uang “tanda terima kasih” itu. Lanjut ke RW, situasinya berulang seperti dalam film Groundhog Day. Kali ini, permintaannya lebih terang-terangan, “Kalau mau cepat, ya ada biayanya.”
Saya pun terpaksa merogoh dompet lagi.
Saat kembali ke kelurahan untuk menyerahkan dokumen dari RT dan RW, seorang petugas memberi kode bahwa “ada jalannya” supaya proses lebih cepat dengan “sedikit” biaya tambahan. Selain itu, dia menambahkan, “Oh iya, Neng. Mau sekalian ngasih tanda terima kasih ke si ibunya (sekretaris lurah) enggak?”
Saya yang sudah capek bolak-balik akhirnya pasrah dan membayar tambahan tersebut agar semua dokumen segera selesai.
Baca juga: Cinta Bukan Segalanya: Kiat Hindari Fantasi Pernikahan Disney
Fotokopi, meterai, dan uang tambahan yang tak ada habisnya
Dari zaman saya sekolah dasar, kebiasaan fotokopi sepertinya tidak pernah berubah. Untuk mengurus pernikahan, saya harus memfotokopi dokumen dalam jumlah berlembar-lembar: KTP, KK, akta kelahiran, surat pengantar RT/RW, dan berbagai formulir lainnya.
Belum lagi meterai Rp10.000 yang harus disiapkan dalam jumlah tertentu untuk berbagai dokumen dan surat pernyataan. Saya sempat berpikir, bukankah seharusnya semua ini bisa dipermudah dengan sistem digital? Tapi kenyataannya, sistem manual ini masih jadi andalan.
Setelah semua dokumen dari kelurahan lengkap, saya membawa berkas ke Kantor Urusan Agama (KUA). Jika menikah di KUA pada hari kerja, prosesnya sebenarnya gratis. Tapi jika ingin menikah di luar KUA atau pada akhir pekan, ada biaya resmi sekitar Rp600.000 yang disetor ke bank.
Namun, saat menyerahkan berkas, seorang petugas menyarankan saya untuk membayar “biaya tambahan” sebesar Rp200.000 untuk mempercepat proses dan tidak perlu mendaftar secara daring. Daripada capek bolak-balik atau dipersulit, saya akhirnya menyerah dan membayar tambahan tersebut.
Setelah mengalami sendiri prosesnya, saya jadi paham kenapa banyak orang akhirnya memilih jalan pintas. Sistem yang tidak ramah dan tidak efisien membuat orang enggan repot dan lebih memilih membayar calo, meski harus membayar Rp2 juta untuk jasa mereka.
Bagi siapa pun yang ingin mengurus sendiri, siapkan waktu, energi dan uang lebih. Pastikan untuk memahami prosedur resminya agar tidak mudah dipermainkan “oknum”. Semoga ke depannya, sistem ini bisa lebih transparan dan tidak lagi menyulitkan calon pengantin yang hanya ingin menikah tanpa hambatan dengan mengurus sendiri.
Ilustrasi oleh Karina Tungari
