Membaca Dua Adegan ‘Crossdressing’ dalam Yuni dan I Know What You Did on Facebook

Tepat sebelum credit title bergulir di pengujung I Know What You Did on Facebook (2010), penonton disuguhkan sesuatu yang tak terduga: Tio (Fikri Ramadhan), pacar salah satu karakter utama, menari erotis di depan webcam dengan mengenakan wig dan gaun tipis. Tanpa adanya tanda apa pun sepanjang durasi film tentang identitas gender Tio, sah untuk menduga bahwa tidak ada alasan lain atas keberadaan momen ini selain untuk mengejutkan; elemen sensasional yang dimaksudkan untuk mengguncang persepsi penonton secara mendadak.
Momen ini menyiratkan satu hal: dalam film itu, crossdressing bukan dilihat sebagai ekspresi diri atau identitas gender, melainkan sebagai kejutan—bahkan kemungkinan besar sebagai “penyimpangan”.
Kasus ini bukan satu-satunya. Sepanjang sejarah sinema, karakter laki-laki yang mengenakan pakaian perempuan sering dimunculkan sebagai twist yang mengganggu, lucu, atau menyimpang. Tapi apa dampak dari pilihan estetika seperti ini? Apa implikasinya terhadap cara kita memahami ekspresi gender?
Crossdressing Sebagai Alat Guncang dan Pengukuhan Stigma
Dirilis pada awal dekade 2010-an, I Know What You Did on Facebook adalah salah satu film pertama di Indonesia yang mencoba memetakan laku digital masyarakat urban yang baru mulai akrab dengan dunia media sosial. Film ini terdiri dari tiga subplot yang berkelindan, masing-masing menggambarkan bagaimana internet menjadi medan baru bagi pencarian identitas, pelampiasan hasrat, dan pengkhianatan.
Dua subplot di antaranya memotret pengalaman perempuan dalam ruang digital: Satu tentang dua sahabat perempuan, Luna (Fanny Fabriana) dan Via (Kimmy Jayanti), yang “menukar” pacar mereka sebagai eksperimen kesetiaan. Satu lagi tentang Marlene (Imelda Therinne), ibu rumah tangga yang mengalami kebangkitan seksual melalui obrolan daring dengan pria misterius. Dalam kedua narasi ini, tubuh perempuan—baik sebagai subjek maupun objek—sering kali dijadikan medan eksploitasi visual dan naratif, termasuk dalam adegan perkelahian antara Luna dan Via yang dibiarkan berlangsung terlalu panjang, brutal, dan voyeuristic.
Subplot ketiga menyentuh isu queer secara lebih eksplisit. Doni (Agastya Kandou), seorang pria gay digambarkan menyalurkan hasratnya secara diam-diam melalui Facebook. Ketika ia memutuskan mengungkap identitas aslinya kepada akun anonim yang ia minati, respons tidak resiprokal dari lawan bicaranya membuat Doni panik dan langsung menyimpulkan bahwa ia harus mengundurkan diri dari pekerjaannya. Reaksinya yang ekstrem mencerminkan betapa besar ketakutan sosial pada masa itu terhadap identitas queer. Bahkan tanpa hadirnya ancaman nyata.
Baca juga: Di Balik Adegan Copot Kerudung dan Melepas Rambut Palsu dalam Sinema
Namun, yang paling mengganggu dalam konteks representasi gender adalah bagaimana film ini memperlakukan karakter Tio. Tidak ada petunjuk tentang ekspresi gender Tio sepanjang film, tidak ada perkembangan karakter yang mengarah ke sana. Momen pengungkapan di mana ia terlihat mengenakan wig dan gaun tipis sambil menari erotis di depan webcam muncul begitu saja, nyaris seperti bonus akhir yang dibubuhkan hanya untuk mengejutkan penonton.
Secara artistik, keputusan untuk menampilkan Tio dalam mode crossdressing diambil dari sudut pandang webcam, dengan ekspresi wajah misterius dan sultry, dalam pencahayaan kekuningan yang redup. Scoring yang mengiringinya pun bernuansa kelam dan mengawang, menegaskan aura “kegelapan” dan “penyimpangan”. Padahal, tindakan Tio sendiri—menari dengan pakaian perempuan dalam ruang privat—tidak menyakiti siapa pun dan tidak melibatkan eksploitasi. Ironisnya, meski tindakannya tidak jahat, pilihan artistik dan naratif film menempatkannya sebagai sesuatu yang “menakutkan”, meneguhkan stigma bahwa ekspresi gender selain heteronormatif adalah sesuatu yang kelam dan perlu dijauhi.
Crossdressing di sini tidak diberi kedalaman makna atau ruang psikologis. Ia hadir sebagai kejutan, dan lebih dari itu—sebagai ganjalan moral yang diletakkan di ujung film agar penonton keluar dari bioskop dengan rasa tidak nyaman. Tio tidak diposisikan sebagai subjek dengan narasi personal, tetapi sebagai objek tontonan. Ia dikurung dalam estetika keterkejutan, menjadi semacam twist visual yang fungsinya bukan untuk membangun pemahaman, melainkan memancing respons reaktif.
Model representasi seperti ini bukanlah hal baru dalam sinema arus utama. Dalam kajian tentang representasi queer dalam sinema Asia Timur, Anna Tso menyebut bahwa crossdressing sering kali hanya berfungsi sebagai “tanda baca ekstrem”—tanda seru yang dilemparkan secara tiba-tiba untuk menginterupsi alur narasi dengan elemen kejutan. Tidak ada niat untuk membangun karakterisasi atau membuka ruang empati; crossdressing menjadi alat penyela yang bekerja dalam level sensasi, bukan makna.
Saat Kamera Sedikit Lebih Hormat
Di sisi lain dari spektrum representasi, Yuni (2021) adalah salah satu film yang tidak menjadikan crossdressing sebagai alat kejutan semata, melainkan sebagai pintu masuk ke dalam konflik sosial yang lebih kompleks. Film yang disutradarai Kamila Andini ini membingkai tema ini melalui dinamika kekuasaan antara seorang murid dan gurunya.
Karakter titularnya, Yuni (Arawinda Kirana), adalah remaja perempuan cerdas yang hidup di sebuah tight knit society di Banten; tempat semua orang saling mengenal satu sama lain.
Masih duduk di bangku SMA, dalam beberapa adegan awal Yuni diperlihatkan menyimpan ketertarikan fisik pada gurunya, Pak Damar (Dimas Aditya). Saat Pak Damar sedang mengajar, Yuni diam-diam memperhatikan tubuhnya dan memuji—melalui sebuah chat ke teman sebangkunya—betapa menggemaskannya pantat Pak Damar. Ketertarikan ini tidak berkembang secara eksplisit, tetapi tetap menjadi lapisan penting dalam bagaimana Yuni memandang gurunya; sebagai figur laki-laki muda yang maskulin dan secara seksual menarik baginya.
Namun, dinamika ini berubah drastis dalam sebuah adegan di pasar. Saat sedang nongkrong menghabiskan waktu senggangnya, Yuni melihat Pak Damar berjalan sendiri di antara lorong-lorong pertokoan.
Baca juga: Merdeka Bersama ‘Yuni’: Wawancara Eksklusif Kamila Andini
Penasaran, ia pun mengikuti diam-diam, hingga ia tiba di sebuah lapak busana muslimah. Di sana, Yuni melihat Pak Damar sedang berdiri di depan cermin, mengenakan kerudung sembari tersenyum menatap pantulannya. Tersentak dan malu sendiri, Yuni balik badan dan lari. Tapi Pak Damar sudah keburu menyadari keberadaannya.
Adegan ini, secara naratif, adalah titik balik hidup Yuni. Dia tiba-tiba menyimpan rahasia besar Pak Damar, rahasia yang bikin ia terkejut—yang kelak bahkan bakal membunuh kebebasannya. Sama seperti dalam I Know What You Did on Facebook, crossdressing yang dilakukan Pak Damar adalah momen mengejutkan.
Sebuah twist yang mengganggu, atau dalam bahasa Anna Tsao, “tanda baca ekstrem”—tanda seru yang dilemparkan secara tiba-tiba untuk menginterupsi alur narasi dengan elemen kejutan.
Namun, ada yang berbeda dari pilihan artistik yang diambil Kamila dalam mempresentasikan adegan ini.Imaji Pak Damar yang tengah melakukan corssdressing hadir dalam sebuah shot yang diambil dari sudut pandang mata Yuni, komposisi kameranya statis, pencahayaan netral, dan tidak dipertegas dengan scoring dramatis. Dari mise-en-scene ini, tidak tampak ada motif untuk mengantagonisasi imaji tersebut.
Pilihan artistik ini penting untuk dipahami, karena menandai bagaimana Yuni tidak memperlakukan tindakan crossdressing Pak Damar sebagai sesuatu yang perlu “diterangkan” dengan efek visual atau emosi ekstrem. Tidak ada framing yang mempermalukan atau mengejutkan.
Implikasinya tidak sederhana. Yuni memang masih menggunakan crossdressing sebagai alat kejut. Tapi, pilihan artistik ini lebih menghormati ekspresi gender itu, dengan tidak mencemooh. Film ini justru memberi ruang untuk mempermasalahkan apa yang dilakukan Pak Damar setelahnya.
Setelah kejadian itu, Pak Damar menolak membahasnya dan justru datang ke rumah Yuni untuk melamarnya. Tindakan ini jelas berintensi membungkam dan mengontrol narasi. Dalam hal ini, ya—Pak Damar bisa dikatakan sebagai figur yang melakukan sesuatu yang jahat pada Yuni untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Namun penting untuk dipisahkan antara dua hal: Karakter Pak Damar yang problematis, dan cara film Yuni menyajikan tindakan crossdressing-nya yang tidak antagonistik.
Terungkapnya Pak Damar yang melakukan crossdressing merupakan pintu untuk membahas isu yang lebih besar. Yuni menyodorkan kritik tajam terhadap bagaimana sistem sosial memungkinkan laki-laki menyembunyikan ekspresi maupun identitas gender lain selain heteroseksual di balik struktur patriarkal, dalam kasus ini: Pernikahan.
Imaji Pak Damar yang melakukan crossdressing secara diam-diam, tidak digunakan untuk menilai ekspresi gender sebagai sesuatu yang janggal, melainkan justru menunjukkan bagaimana institusi sosial digunakan untuk menutup kerentanan dan mempertahankan dominasi.
Kekuatan Sinema yang Tidak Memilih Melanggengkan Represi
Crossdressing dalam film bukan sekadar tentang siapa mengenakan pakaian apa. Ia adalah cermin cara masyarakat memandang batas-batas gender, menyusun ulang hierarki kuasa, dan merespons ekspresi tubuh yang tak sesuai norma. Dari I Know What You Did on Facebook hingga Yuni, kita melihat bagaimana satu gestur sederhana—pria memakai kerudung atau wig—bisa dimaknai sangat berbeda tergantung bagaimana narasi membingkainya.
Masalah muncul ketika sinema terus-menerus menyederhanakan imaji ini sebagai kejutan atau simbol penyimpangan.
Kita kehilangan potensi untuk memahami bahwa ekspresi gender, termasuk crossdressing, adalah bagian dari pengalaman manusia yang luas dan sah. Dalam pemikiran Judith Butler, gender adalah sesuatu yang “dilakukan”: sebuah aksi, bukan esensi. Maka, ketika film memperlihatkan seseorang “melakukan” gender melalui pakaian, kita perlu bertanya: untuk apa, kepada siapa, dan dengan implikasi apa?
Sinema punya pilihan. Ia bisa terus menggunakan crossdressing sebagai twist kosong yang memperkuat stigma. Atau ia bisa, dengan keberanian dan empati, membuka ruang baru, di mana ekspresi gender yang beragam tak lagi jadi kejutan, tapi bagian dari realitas yang layak dipahami.
