Di Balik Adegan Copot Kerudung dan Melepas Rambut Palsu dalam Sinema

Annisa (Aurora Ribero) adalah santriwati, protagonis dalam Pembantaian Dukun Santet (2025). Kendati tinggal di lingkungan pesantren, Annisa tidak selalu ditampilkan mengenakan kerudung. Di ruang-ruang privat seperti kamar, dan sudah sewajarnya, ia melepas jilbab.
Detail kecil karakterisasi ini, kemudian membawa pikiran saya kembali ke Yuni (2021). Dalam film, karakter titularnya juga adalah perempuan muda yang sebagian besar ditampilkan mengenakan hijab: Siswi SMA yang berkerudung di sekolah sebagai bagian dari aturan institusional.
Baca juga: Aturan Jilbab di Sekolah: Antara Pilihan Keimanan atau Aturan Positif
Namun, begitu berada di luar sekolah—yang juga sudah sewajarnya—ia melepas kerudung. Dalam sekuens pembuka film, kamera memperlihatkan Yuni yang telanjang setelah mandi, melakukan ritual pagi mengenakan seragam sekolahnya secara bertahap—dari celana dalam, kemeja, rok, hingga kerudung yang ia kenakan dengan rapi. Adegan ini bukan hanya visualisasi rutinitas, tetapi pembuka wacana tentang bagaimana perempuan Muslim harus “merakit” identitasnya setiap hari dalam relasi kuasa sosial dan institusional yang kompleks.
Dua film ini, mendorong saya untuk merefleksikan bagaimana sinema Indonesia hari ini menyikapi kerudung sebagai simbol, dan segala muatan politis yang melingkupinya.

Perubahan Cara Kerudung Dipakai dalam Film
Saya menyadari, kerudung tidak lagi digambarkan sebagai identitas tetap yang melekat pada karakter dari awal hingga akhir film. Ia menjadi sesuatu yang bisa dipakai dan dilepas—tergantung ruang, konteks, dan pengawasan sosial.
Ini berbeda dengan representasi film-film sekitar satu dekade lalu, saat tren hijrah dan romantisasi hijab mulai menyeruak, baik di media sosial maupun ruang publik sehari-hari. Dalam film seperti Air Mata Surga (2013) dan Surga Menanti (2016), misalnya.
Jika seorang karakter digambarkan sebagai perempuan berkerudung, maka ia akan ditampilkan konsisten memakai kerudung dalam semua situasi—bahkan di ruang pribadi, saat diceritakan tidak ada siapapun di sekitarnya. Representasi ini memperkuat narasi bahwa kerudung bukan hanya bagian dari performa sosial, melainkan ekspresi iman yang permanen dan mutlak.
Perubahan cara film-film kontemporer menyikapi kerudung ini membuat saya teringat pada satu konsep menarik dari Ben Murtagh dalam kajian filmnya: dewigging.
Dalam film-film Indonesia tahun 1970-an yang menampilkan karakter waria, seperti Akulah Vivian (1977) dan Betty Bencong Slebor (1978), terdapat momen-momen ketika wig—sebagai simbol ekspresi gender feminin—dilepas. Aksi ini kerap digunakan oleh narasi film untuk “mengembalikan” karakter waria ke kodrat maskulinnya. Dengan intensi, seringnya, untuk menimbulkan efek komedik. Dewigging dalam konteks ini bukan sekadar aksi visual, melainkan gestur ideologis yang mendisrupsi performativitas feminin dan memulihkan tatanan gender biner.
Murtagh menyebut proses ini sebagai cara sinema memperkuat ide bahwa gender feminin, via partikel mode, adalah sesuatu yang secara konstan diperformasikan—dilakonkan sebagai sebuah performa. Seolah, femininitas adalah sesuatu yang bisa dinyalakan dan dimatikan.
Dari sinilah muncul ruang untuk menggugat keajegan gender itu sendiri—karena jika feminin bisa “dilepas”, maka maskulin pun tak sekuat itu keberadaannya.
Saat Maskulin dan Feminin Bisa Dibongkar-pasang
Hal yang serupa—meskipun datang dari arah yang berbeda—terjadi dalam representasi kerudung di film-film seperti Yuni dan Pembantaian Dukun Santet. Momen ketika karakter perempuan mencopot kerudungnya di ruang privat, dengan sadar atau tidak, menyiratkan bahwa performa kesalehan juga adalah sesuatu yang bisa “dipakai” dan “dilepas” tergantung ruang sosial yang mengawasi.
Argumen ini tidak sama dengan anggapan mereka sedang memalsukan iman. Melainkan penunjuk bahwa identitas keislaman—seperti halnya ekspresi gender—tidak berdiri secara soliter, melainkan selalu dinegosiasikan dengan struktur sosial yang melingkupinya.
Di sinilah teori performativitas gender dari Judith Butler menjadi alat baca yang tajam. Dalam Gender Trouble (1990), Butler menolak gagasan bahwa identitas gender bersifat esensial atau tetap. Sebaliknya, gender dibentuk lewat serangkaian aksi performatif yang berulang—termasuk lewat pakaian, gestur tubuh, dan cara berbicara—sehingga tampak alamiah.
Maka, kerudung dalam sinema bisa dibaca bukan sebagai simbol iman saja, tetapi sebagai salah satu properti dalam panggung sosial untuk “memperagakan” identitas yang diinginkan atau, dalam beberapa kasus, dipaksakan.
Ipar adalah Maut (2024) merupakan contoh film yang implisit memperlihatkan fungsi dramaturgis dari kerudung. Di rumah, karakter perempuan tidak berkerudung; namun saat di ruang publik atau bertemu orang lain, ia mengenakannya. Pemakaian kerudung di sini tampak sebagai penanda situasional, bukan spiritual. Ini menandai jarak yang mulai terbentuk antara kerudung sebagai simbol iman dan kerudung sebagai kode sosial.
Bandingkan ini dengan film Perempuan Berkalung Sorban (2009), ketika Anissa (Revalina S. Temat), tokoh protagonisnya yang kritis dan berpikir progresif, ditampilkan tetap konsisten mengenakan kerudung bahkan di ruang paling intim. Dalam adegan-adegan di kamar bersama suaminya pun, penutup kepala tak pernah ia tanggalkan. Narasi kesalehan dalam film ini dikonstruksi sebagai mutlak, tanpa celah negosiasi antara ruang privat dan publik.
Kapan Mulai Kerudungan?
Fenomena ini selaras dengan menguatnya tren hijrah pada dekade 2010-an, ketika kerudung bukan hanya bagian dari kewajiban agama, tetapi juga pernyataan gaya hidup religius yang dipamerkan di media sosial, diromantisasi lewat serial dan sinetron religi, bahkan dikapitalisasi dalam industri mode.
Dalam konteks ini, kerudung menjadi simbol kesalehan yang ajeg dan tidak bisa dinegosiasikan. Saya mengalaminya sendiri secara real time. Di beberapa lingkar pertemanan saya, ada pergeseran nilai: di mana fase mulai berkerudung adalah keniscayaan. Sehingga bagi yang tidak berkerudung tidak bisa terhindar dari pertanyaan: “Kapan nih mau mulai kerudungan?”
Namun sinema Indonesia mutakhir tampaknya mulai beranjak dari narasi-narasi sakral ini. Bukan untuk merendahkan makna kerudung, melainkan untuk menunjukkan bahwa identitas Muslimah juga kompleks, berubah-ubah, dan tidak selalu bisa direduksi menjadi satu simbol saja.
Kamera tidak lagi mengabadikan kerudung sebagai tanda tunggal iman, tetapi menggunakannya sebagai titik masuk untuk menyelami lapisan identitas perempuan Muslim: bagaimana ia dilihat, bagaimana ia melihat dirinya, dan bagaimana ia menegosiasikan keduanya dalam kehidupan sehari-hari.
Perubahan cara sinema memperlihatkan kerudung juga membuka ruang untuk pendekatan tafsir yang lebih kontekstual. Sejumlah pemikir Islam progresif seperti Amina Wadud dan Asma Barlas menekankan bahwa penafsiran teks-teks keagamaan tidak bisa dilepaskan dari konteks patriarkal yang membentuknya.
Barlas, dalam Believing Women in Islam (2002), menegaskan bahwa Qur’an tidak pernah secara eksplisit mewajibkan perempuan menutup kepala; yang diwajibkan adalah kesopanan dan perlindungan diri. Wadud juga menyatakan bahwa menutup aurat seharusnya dipahami sebagai bagian dari prinsip etis, bukan simbol pengawasan moral.
Dalam sinema, pemikiran ini dapat menjadi perspektif alternatif dalam memahami tindakan tokoh perempuan mencopot kerudungnya—bukan sebagai tindakan deviasi, melainkan sebagai ekspresi otonomi dalam menghadapi struktur yang mencoba mengatur tubuh dan identitas mereka.
