June 19, 2025
Issues Opini Politics & Society

Dari Dapur Komunal di Kotabaru, Saya Belajar Apa itu Memberi

Sega Mubeng memberi pelajaran, memberi sebaik-baiknya berarti tidak menunggu balasan. Tidak mengharap apresiasi, apalagi konten viral.

  • May 30, 2025
  • 4 min read
  • 321 Views
Dari Dapur Komunal di Kotabaru, Saya Belajar Apa itu Memberi

Dulu saya mengira memberi itu perkara mudah. Tanpa perlu banyak pikir, kita bisa menghibahkan barang tak terpakai, uang receh di saku, atau makanan yang bisa dipesan kapan saja. Memberi terasa ringan, bahkan nyaris otomatis. Namun ternyata, saya keliru. 

Sebuah pagi di Kotabaru, Jogja, mengubah cara saya memahami makna memberi. Kala itu saya bergabung dalam kegiatan lintas iman bernama Sega Mubeng. Itu merupakan inisiatif berbagi makanan yang digerakkan oleh komunitas kecil dengan semangat besar. 

“Mubeng” sendiri artinya berkeliling, dan sesuai namanya, para peserta kegiatan ini berjalan kaki menyusuri kawasan Kotabaru setiap Sabtu pagi, membagikan makanan kepada siapa saja yang ditemui: Tukang becak, petugas kebersihan, pedagang kecil, hingga orang-orang yang sedang duduk sendiri di trotoar. 

Awalnya saya kira ini seperti kegiatan Jumat Berkah yang sering saya lihat—bagi-bagi nasi kotak lalu pulang. Namun pengalaman itu justru membawa saya menyelam jauh ke dalam pemahaman baru tentang kerja-kerja kepedulian. Tentang bagaimana memberi bukan hanya tentang apa yang keluar dari tangan, tapi juga bagaimana kita menyertainya dengan perhatian, kerelaan, dan kasih. 

Baca juga: Apa itu ‘Collective Care’: Saling Jaga Warga di Tengah Rezim yang Menekan 

Dapur sebagai Ruang Spiritualitas 

Sehari sebelum kegiatan, saya datang ke Syantikara Youth Centre untuk ikut memasak. Kami tidak sekadar memasukkan bahan ke panci dan membungkus makanan. Kami diarahkan untuk memilih bahan segar, mencuci beras dengan bersih, memotong sayur rapi, menata bumbu dengan teliti. Semua dilakukan dalam suasana hening yang khusyuk, meskipun kadang diselingi tawa ringan. 

Seorang suster yang ikut mengarahkan kami berkata, “Makanan ini akan masuk ke tubuh orang lain. Maka kita ingin memberikan yang terbaik, seperti halnya kita ingin hanya kebaikan yang masuk ke tubuh kita.” 

Kalimat itu sederhana, tapi menusuk pelan. Saya yang sering kali abai pada apa yang dimakan sendiri, merasa tertegun. Di dapur itu saya belajar memasak bukan cuma aktivitas domestik, melainkan laku spiritual. Sebuah tindakan kecil yang bisa menjadi doa dalam diam. 

Menjelang tengah malam, kami melipat dan menata bungkus nasi satu per satu. Lipatan kertas dibentuk dengan hati-hati, dan lauk ditata agar sedap dipandang. Tidak tergesa-gesa, tidak asal jadi. Di sana, saya melihat kerja-kerja perawatan, seperti memasak dan membungkus makanan, bukanlah pekerjaan sepele. Ia mengandung nilai kasih terhadap sesama yang mungkin tak pernah kita temui lagi setelah ini. 

Baca juga: Ironi Kesehatan Mental: Ketika Negara Justru Menambah Beban Pikiran Warganya  

Berjalan, Menyapa, dan Tidak Menghakimi 

Keesokan paginya, setelah salat Subuh, kami berkumpul dan mulai berjalan dari Kotabaru. Kami dibekali panduan: Sapa dulu sebelum memberi, tanya kabar, beri dengan hati. Jangan menyorot wajah penerima saat mendokumentasikan, dan jangan lupa menyelipkan doa dalam hati. Tampaknya sederhana, tapi praktiknya jauh dari itu. 

Saya masih ingat wajah-wajah yang kami temui. Beberapa tersenyum senang, beberapa menolak dengan sopan. Ada yang memanggil temannya, ada yang hanya mengangguk. Obrolan singkat di antara kami adalah pengingat bahwa setiap orang punya cerita. Manusia bukan sekadar angka dalam laporan kesejahteraan negara.  

Saya teringat penelitian oleh Elizabeth Dunn dan Michael Norton (2013) dalam buku “Happy Money: The Science of Happier Spending”, yang menyebut kebahagiaan seseorang meningkat ketika ia memberi secara personal—bukan sekadar menyumbang lewat transfer bank. Bertatap muka, mendengar respons, dan memberi dengan perhatian membuat dampak psikologisnya jauh lebih dalam, baik buat orang yang menerima, maupun yang memberi. 

Saat kembali ke titik kumpul, kami saling berbagi cerita. Kata yang terus berputar di kepala saya hari itu adalah ikhlas. Saya teringat pesan guru ngaji saya dulu, bahwa ikhlas adalah perkara paling sulit. Ia tak tampak, sementara kesombongan bisa menyusup diam-diam bahkan ketika kita merasa sedang berbuat baik. 

Sega Mubeng memberi pelajaran, memberi sebaik-baiknya berarti tidak menunggu balasan. Tidak mengharap apresiasi, apalagi konten viral. Ikhlas adalah menerima segala bentuk respons dengan lapang dada—baik senyum hangat, penolakan sopan, atau bahkan diam. 

Baca juga: Kesehatan Mental Mulai Banyak Dibicarakan, tapi Stigma Tetap Ada  

Memberi Sebagai Perlawanan Lembut 

Di tengah dunia yang sibuk menghitung nilai tukar dan keuntungan, memberi tanpa pamrih menjadi tindakan yang nyaris radikal. Memberi tanpa menempatkan diri sebagai “yang lebih” adalah perlawanan terhadap struktur sosial yang kerap menempatkan pemberi di posisi superior dan penerima sebagai objek pasif. 

Kini saya tak lagi tinggal di Jogja. Namun setiap kali melihat akun Instagram @segamubeng.kobar, saya kembali teringat pagi-pagi itu: Sapur yang hangat, jalanan yang belum terang, dan makanan yang dipersiapkan dengan sepenuh hati. Barangkali, di situlah makna memberi yang sesungguhnya tinggal—di tempat yang sederhana, dilakukan dalam diam, tapi dengan cinta yang penuh. 

Annisa Khaerani adalah pengajar dan pegiat literasi yang percaya bahwa dapur bisa menjadi ruang spiritual. Kini tinggal di Balikpapan, menulis sambil merawat ingatan akan jalan-jalan pagi di Jogja. Instagram @8annirani. 



#waveforequality
About Author

Annisa Khaerani