Mengenal ‘Maternal Activism’: Saat Negara Menekan, Ibu Melawan

Siapa bilang aktivisme hanya milik gerakan mahasiswa? Para ibu pun bisa menjadi bagian dari aktivisme.
Di tengah dominasi citra aktivis yang selalu dikaitkan dengan anak muda, ada satu kelompok yang kerap luput dari pandangan: para ibu. Mereka yang kerap dilekatkan dengan peran domestik justru menjelma menjadi aktor-aktor penting dalam perjuangan keadilan sosial.
Gerakan aktivisme yang dilakukan oleh ibu dikenal dengan istilah maternal activism. Lantas, apa yang sebenarnya dimaksud dengan maternal activism? Mengapa gerakan ini bisa muncul?
Baca juga: UU TNI dan Perlawanan Ibu: Ketika Keadilan Tak Kunjung Pulang
Maternal Activism Sebagai Respons Ibu atas Penindasan Negara
Definisi maternal activism secara luas dikemukakan oleh Senem Kaptan. Dalam artikelnya yang berjudul ‘Peace and Mothering’ (2010), ia menyebutkan maternal activism adalah saat identitas keibuan digunakan oleh perempuan di seluruh dunia untuk menuntut dan mewujudkan perdamaian, keadilan, serta perubahan sosial dan politik.
Bentuk-bentuk maternal activism beragam. Menurut Karaman dalam Maternal Activism, Feminism and World Politics: The Case of the Saturday Mothers in Turkey (2020), bentuk-bentuk tersebut mencakup aktivisme lingkungan, perjuangan hak asasi manusia dan hak minoritas, pembangunan negara, gerakan perdamaian, gerakan revolusioner, serta protes terhadap kekerasan negara.
Menurut Clippel (2020) dalam An Evolution from Maternal Activism to Political Motherhood, berbagai kasus kekerasan negara—terutama penghilangan paksa—telah melahirkan banyak kelompok maternal activism di berbagai belahan dunia.
Contohnya, gerakan Abuelas de Plaza de Mayo di Argentina, yang dibentuk pada bulan April 1977. Para ibu berkumpul di Plaza de Mayo, Buenos Aires setiap Kamis untuk menuntut informasi tentang anak-anak mereka yang dihilangkan oleh junta militer Argentina.
Selain itu, ada juga gerakan Saturday Mothers di Turki dan Mourning Mothers di Iran, yang memiliki pola tuntutan serupa, yaitu untuk menuntut keadilan kepada negara atas pembunuhan dan penghilangan paksa anak-anak mereka.
Fenomena ibu yang menjadi simbol perjuangan dalam kasus pelanggaran HAM sebagaimana kasus di atas, dapat dilihat melalui kerangka konsep maternal activism oleh Mendoza (2016). Ia menyoroti hubungan ibu dan anak sebagai landasan maternal activism. Mendoza mendefinisikan maternal activism sebagai proses di mana seorang perempuan atau sekelompok perempuan menggunakan sosok ibu untuk menyampaikan tuntutan atas nama anak-anak mereka.
Namun, Mendoza berpendapat, meskipun keibuan adalah salah satu elemen kunci dalam maternal activism, alasan biologis bukanlah dasar utama dari aktivisme ini. Maternal activism tidak semata-mata berasal dari pengalaman melahirkan, melainkan dari pengalaman sistematis akan pengabaian sosial dan politik, kekerasan, bahkan kematian.
Dalam kasus-kasus di atas, maternal activism muncul sebagai akibat dari kekerasan tersistematis oleh negara kepada anak-anak dari para ibu. Hal ini mendorong mereka untuk mengambil peran publik dan politis, mengubah kesedihan pribadi menjadi kekuatan kolektif untuk menuntut negara bertanggung jawab dan melakukan perubahan.
Baca juga: Hari Ibu di Indonesia: Sejarah, Perjuangan, dan Maknanya
Melihat Maternal Activism di Indonesia
Maternal activism bukanlah hal yang asing di Indonesia. Salah satu bentuk paling konsisten dari aktivisme berbasis keibuan tampak dalam Aksi Kamisan, yang digelar setiap Kamis di depan Istana Negara.
Aksi ini telah berlangsung sejak 18 Januari 2007, sebagai bentuk protes para keluarga korban Tragedi 1965, Semanggi I, Semanggi II, Trisakti, Tragedi 13-15 Mei 1998, kasus Talangsari, kasus Tanjung Priok, dan pembunuhan aktivis Munir.
Salah satu wajah yang rutin terlihat di aksi ini adalah Maria Catarina Sumarsih, ibu dari Bernardinus Realino Norma Irawan atau Wawan, mahasiswa yang tewas dalam Tragedi Semanggi I. Selama lebih dari 18 tahun, Sumarsih setia berdiri di depan Istana, menuntut negara menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat yang menimpa anaknya sekaligus menjaga agar ingatan publik tetap hidup.
Sumarsih merupakan wujud konkret dari maternal activism. Sebagaimana dalam konsep Mendoza, perjuangannya lahir dari pengalaman akan pengabaian dan kekerasan yang tersistematis oleh negara terhadap anaknya. Ia tidak hanya merawat duka, tetapi menjadikannya kekuatan untuk terus menggugat impunitas.
Maternal activism juga tercermin dalam gerakan Suara Ibu Indonesia. Gerakan ini lahir dari keresahan para ibu terhadap tindakan represif aparat kepada demonstran, saat aksi tolak Revisi UU TNI pada Maret silam. Mereka merasa terpanggil ketika melihat mahasiswa–yang dianggap seperti anak sendiri–mengalami kekerasan dan kriminalisasi.
“Karena kita, ibu, mendidik anak-anak kita untuk kritis, untuk berbicara benar secara akademis, secara logika. Tapi kok dihadapinya dengan kekuatan, kekuasaan. Itu justru mematikan suara-suara kritis yang seharusnya bisa ikut membangun,” tutur Ika Ardina, anggota Suara Ibu Indonesia kepada Magdalene (7/5).
Berangkat dari kegelisahan itu, Suara Ibu Indonesia berdiri. Mereka turun ke jalan pada 28 Maret, menuntut agar aparat menghentikan kekerasan terhadap mahasiswa dalam aksi Tolak Revisi UU TNI.
Aksi mereka tak berhenti di situ. Suara Ibu Indonesia juga mendampingi mahasiswa yang ditahan polisi, serta mengawal berbagai kasus kriminalisasi, termasuk penangkapan mahasiswa Trisakti di aksi peringatan reformasi dan penangkapan mahasiswa dalam aksi hari buruh di berbagai daerah.
“Jadi kita berdiri untuk mendukung anak-anak ini (mahasiswa) bersuara, melindungi mereka sebisa kita agar aparat tidak melakukan tindak kekerasan,” ujar Ika.
Penggunaan titel ibu dalam aktivisme bukan hal yang baru. Di era Orde Baru, muncul gerakan perempuan bernama Suara Ibu Peduli. Suara Ibu Peduli lahir dari diskusi di redaksi Jurnal Perempuan pada akhir 1997 dan memulai aksinya pada Februari 1998. Mereka memprotes kepemimpinan otoriter rezim Soeharto.
Untuk meminimalisir tindakan represif aparat, mereka menamai gerakan itu dengan titel ‘ibu’ alih-alih ‘perempuan’. Serta membalutnya dengan isu kelangkaan susu dan sembako.
“Kami sadar akan langsung ditangkap kalau terang-terangan menuntut pelengseran Soeharto,” ujar Karlina Supelli, salah satu pendiri gerakan Suara Ibu Peduli, dilansir dari Tempo.
Menukil Tempo, Gagasan untuk mengangkat isu kelangkaan susu pertama kali muncul dari Gadis Arivia, Direktur Eksekutif Yayasan Jurnal Perempuan. Ia mencermati bahwa susu sering kali tidak tersedia di sejumlah swalayan di sekitar tempat tinggalnya. Topik ini dipilih karena dianggap sangat dekat dengan keseharian para ibu, sehingga dinilai efektif untuk menarik perhatian dan simpati perempuan lainnya.
Meski demikian, tujuan utama dari aksi tersebut adalah menyuarakan penolakan terhadap kepemimpinan Soeharto. Suara Ibu Peduli memandang bahwa pemerintahan Presiden kedua Indonesia tersebut bersifat otoriter.
Ika mengungkapkan, bahwa Suara Ibu Indonesia terinspirasi oleh gerakan Suara Ibu Peduli. Bedanya, Suara Ibu Peduli berjuang mendorong terjadinya reformasi, sementara Suara Ibu Indonesia berjuang mempertahankan nilai-nilai reformasi yang telah dicapai.
“Kita harus sama-sama berusaha agar gak terjadi kemunduran dari apa yang sudah kita rasakan setelah reformasi,” ucap Ika.
Baca juga: 27 Tahun Reformasi, Sumarsih Masih Tegak Berdiri
Maternal Activism Dobrak Stereotip Peran Ibu
Adrienne Rich (2019), mendefinisikan maternal activism sebagai sebuah proses penafsiran ulang peran ibu dari ranah privat menuju mobilisasi dan partisipasi politik di ranah publik.
Rich melihat munculnya fenomena maternal activism tidak terlepas dari sejarah peran ibu yang selalu dilekatkan pada urusan rumah tangga saja, seperti melahirkan dan mengurus anak. Peran ibu pun sering kali dikendalikan oleh figur laki-laki, seperti suami, pemuka agama, hingga negara. Akibatnya, keibuan cenderung menjadi institusi yang ditindas, karena perannya dibatasi pada ranah domestik saja.
Namun, Rich melihat sisi lain dari peran tradisional itu. Ia menekankan bahwa hubungan ibu dan anak justru dapat mendorong ibu untuk berdaya dan terlibat dalam isu-isu publik. Ketika anak mereka mengalami ketidakadilan atau kekerasan, seperti Sumarsih, pengalaman pribadi sebagai ibu bisa menjadi pemicu keterlibatan politik. Sehingga, peran ibu tidak lagi terbatas pada ranah privat, melainkan menjadi sarana perjuangan untuk keadilan dan perubahan sosial.
Pandangan Rich tercermin dalam pengalaman Suara Ibu Indonesia, sebuah gerakan yang lahir dari keresahan para ibu atas kekerasan negara terhadap mahasiswa. Mereka menggunakan identitas ibu untuk menyuarakan tuntutan agar mahasiswa diperlakukan adil dan supaya aparat tidak melakukan kekerasan.
Suara Ibu Indonesia secara tidak langsung menghapus anggapan bahwa ibu hanya pantas berkutat di dapur, dan menunjukkan bahwa menyuarakan keprihatinan atas ketidakadilan adalah bentuk partisipasi politik yang sah.
“Sekecil apapun suara yang disampaikan oleh ibu itu suatu tindakan politik,” papar Ika. Ia menambahkan. “Jadi ya ke depannya, tentu saja dengan harapan gak ada lagi tuh pemikiran bahwa ibu-ibu tugasnya hanya di dapur.”
Dengan demikian, maternal activism tidak hanya menantang pandangan tradisional yang memposisikan keibuan sebagai peran pasif dan tertindas. Ia juga merekonstruksi keibuan sebagai kekuatan kolektif yang mampu mendorong transformasi sosial. Para ibu menunjukkan bahwa keibuan dan politik bukanlah dua hal yang terpisah.
