June 16, 2025
Issues

‘Fantasi Sedarah’ dan Kekerasan yang Kita Diamkan

Kasus “Fantasi Sedarah” bukan sekadar penyimpangan tapi bentuk kekerasan seksual yang dibiarkan tumbuh di ruang digital dan keluarga.

  • May 20, 2025
  • 5 min read
  • 915 Views
‘Fantasi Sedarah’ dan Kekerasan yang Kita Diamkan

Di saat kita merasa sudah melihat yang paling buruk dari media sosial, muncul grup Facebook bernama Fantasi Sedarah. Grup ini bukan sekadar ruang gelap di internet, tapi juga cermin retak dari masyarakat kita. Di dalamnya, kekerasan seksual yang paling mengerikan, yakni hubungan seksual sedarah atau inses terhadap anak, dibungkus dalam cerita fiksi dan dibagikan secara terang-terangan.

Apa yang kita saksikan dalam grup Facebook ini bukan hanya kelainan. Ini adalah bentuk kekerasan sistemik yang terus dibiarkan tumbuh karena kita lebih sibuk menjaga wajah moral ketimbang menyelamatkan korban. Kita sedang menyaksikan bagaimana ruang privat keluarga dan ruang publik digital bisa bersatu melanggengkan impunitas.

Grup ini bukan anomali. Ia adalah gejala dari sistem sosial yang sudah lama rusak. Dalam masyarakat kita, tubuh anak-anak—terutama anak perempuan—sering kali tidak dianggap sebagai milik mereka sendiri. Tubuh mereka dianggap milik orang tua, milik keluarga, milik negara, milik norma. Ketika seorang anak berkata “tidak”, lingkungannya justru merespons dengan kalimat seperti, “jangan mempermalukan keluarga”, “ayahmu cuma bercanda”, atau “itu bentuk kasih sayang.” Maka dimulailah proses pembungkaman yang tidak kasat mata, namun sangat dalam.

“Fantasi Sedarah” bukan sekadar forum daring. Ia adalah ruang belajar bagi para pelaku, tempat mereka saling menguatkan dan menormalisasi kekerasan. Cerita yang mereka sebut “fiksi” sebenarnya adalah penggambaran eksplisit hasrat predatoris. Dan karena dibungkus sebagai karya sastra, mereka merasa aman dari hukum. Ini bukan soal kebebasan berekspresi, tapi soal manipulasi bahasa untuk menyembunyikan kekerasan.

Baca juga: #MeTooInceste: Pelajaran dari Skandal Inses di Perancis

Facebook belum prioritaskan keselamatan pengguna

Jika kita telusuri lebih dalam, yang dipertontonkan di grup ini bukanlah penyimpangan seksual, tapi permainan kuasa. Dalam sistem yang masih sangat patriarkal, tubuh perempuan dan anak-anak kerap dianggap sebagai objek yang bisa dikontrol, dibentuk, bahkan diambil alih. Lelaki dalam sistem ini didorong untuk menjadi pelindung sekaligus penguasa. Maka ketika mereka melewati batas terhadap anak atau anggota keluarga, mereka merasa itu hak, bukan kekerasan.

Narasi “keluarga adalah segalanya” menjadi pembungkus yang membuat korban sulit bersuara. Padahal, keluarga juga bisa menjadi tempat pertama kekerasan dimulai. Dan kini, kekerasan itu tidak lagi bersembunyi di balik pintu tertutup. Ia hadir di ruang digital, terbuka, berani, dan nyaris tanpa hambatan. Pelaku tahu, selama dalam platform digital, negara, dan masyarakat tak bertindak serius, mereka bisa tetap merasa aman.

Platform seperti Facebook dan Meta punya andil dalam membiarkan ini terjadi. Dalam ekosistem digital, algoritma tidak membedakan apakah interaksi didasari cinta atau kebencian. Yang penting adalah keterlibatan. Semakin aktif grup, semakin besar data yang bisa dikumpulkan dan dimonetisasi. AI mungkin belum mampu menangkap metafora berlapis yang menyiratkan kekerasan seksual, tapi itu seharusnya menjadi alasan untuk membangun sistem deteksi yang lebih peka, bukan untuk membiarkan semuanya lolos. Ini bukan soal ketidaktahuan teknologi, tapi soal abainya prioritas.

Baca juga: Mengapa Korban Inses Sulit Melapor dan Keluar dari Tindak Kekerasan

Sementara itu, negara juga belum hadir dengan kekuatan penuh. Berapa banyak kasus kekerasan seksual dalam keluarga yang berhenti di mediasi? Yang pelakunya dilindungi demi menjaga nama baik keluarga? Yang korban-korbannya disuruh “berdamai”? Dalam banyak kasus, negara justru menambah luka korban dengan menutup-nutupi data dan meremehkan laporan.

Kita tahu siapa yang selalu diminta mengalah. Anak-anak yang tubuh dan hidupnya sudah rusak. Mereka terus diminta diam demi “harmoni keluarga” yang semu. Sementara pelaku tetap tinggal di rumah yang sama, memakai nama keluarga yang sama.

Kita harus mengakui bahwa tidak semua keluarga adalah tempat aman. Dalam banyak kasus, keluarga menjadi lokasi utama kekerasan, karena relasi kuasa di dalamnya tidak seimbang. Ini bukan soal hasrat seksual semata, tapi tentang siapa yang punya kendali. Relasi kuasa inilah yang jadi akar dari kekerasan seksual, bukan libido atau “penyimpangan”. Dan selama kita tidak bisa membedakan antara kedekatan dengan pelecehan, antara perhatian dengan kekuasaan, kekerasan ini akan terus ada.

Baca juga: Kekerasan Seksual ‘Online’ Marak, Gen Z Butuh Lebih Banyak Dukungan

Jika kita diam, kita bersekutu

Menyingkirkan satu grup tidak cukup. Menurunkan satu konten juga tidak akan menyelesaikan masalah. Kita butuh perubahan menyeluruh dalam cara berpikir: tentang tubuh, tentang kuasa, dan tentang relasi sosial. Kita butuh pendidikan seks yang menekankan pada pentingnya persetujuan (consent), bukan sekadar larangan. Kita perlu membuang rasa tabu dalam berbicara tentang kekerasan seksual, bahkan sejak usia dini. Kita harus berani mengkritik narasi keluarga sebagai segalanya, terutama jika itu berarti korban harus diam.

Platform digital harus bertanggung jawab untuk membangun sistem yang bukan hanya menyaring kata, tetapi memahami konteks. Dan yang paling penting adalah adanya sistem hukum dan sosial kita harus menggeser pusat kekuasaan dari individu-individu yang dilindungi tradisi, menuju struktur yang adil dan setara.

“Fantasi Sedarah” mungkin bukan yang pertama. Dan jika kita tidak berani bertindak, ia juga bukan yang terakhir. Kejahatan seperti ini akan terus beradaptasi, menemukan ruang baru, dan menyamar dengan wajah yang lebih halus.

Jika kita diam, kita bukan netral. Kita bagian dari pembiaran. Anak-anak tak hanya butuh perlindungan. Mereka butuh keberanian kita untuk membongkar semua akar kekerasan ini, hingga tak ada lagi ruang bagi pelaku untuk merasa aman.

Dan itu tidak akan terjadi jika kita terus bersembunyi di balik kata “tabu”.



#waveforequality
About Author

Widi Rangkuti