June 20, 2025
Health Issues Lifestyle

Bukan Karena Malas, ini Alasan Perempuan Jarang Olahraga 

Olahraga adalah privilese buat lelaki yang tak tersandera beban ganda dan potensi kekerasan, seperti perempuan.

  • May 31, 2025
  • 5 min read
  • 816 Views
Bukan Karena Malas, ini Alasan Perempuan Jarang Olahraga 

“Enggak ada yang lebih menyakitkan daripada dicela laki-laki yang enggak pernah jadi ibu.” Begitu kata ibu pekerja “Dahlia” saat mengomentari unggahan laki-laki di media sosial, yang mencemooh perempuan yang tak sempat berolahraga

Menurut Dahlia, tak seorang pun berhak menilai pilihan orang lain soal olahraga, apalagi ibu-ibu yang tiap hari berkutat dengan pekerjaan rumah dan anak. 

“Kadang udah keburu capek duluan enggak sih karena harus ke sana ke sini urus anak, Kak?” ujarnya pada Magdalene

Keluhan Dahlia bukan tanpa alasan. Beberapa waktu terakhir, unggahan di Threads viral karena menyebut perempuan yang tak sempat olahraga setelah punya anak sebagai “tolol”. Cuitan itu memicu kemarahan publik, terutama para ibu, yang merasa pengalaman dan beban hidup mereka diremehkan begitu saja. 

Celakanya, menurut Dahlia, komentar menyakitkan tak hanya datang dari laki-laki. Ia juga kerap mendapat invalidasi dari sesama perempuan—mereka yang merasa lebih unggul hanya karena masih sempat merawat tubuh. 

“Kadang aku juga kesal ya sama perempuan-perempuan yang ngerasa lebih baik dari perempuan lain. Maksudku, ya keluarga kita aja beda, secara fisik kita beda, urusannya beda, jadi setop komentarin pilihan olahraga orang deh kayaknya. Kalau aku mau, aku pasti akan olahraga kok.” 

Pernyataan Dahlia ada benarnya. Cukup mudah menemukan konten kreator perempuan di bidang olahraga, yang menginvalidasi beban sesama perempuan. Rerata isi pesan mereka sama: Olahraga cuma butuh waktu singkat dibanding total 24 jam sehari yang kita punya. Sehingga, keterlaluan sekali jika ada perempuan atau ibu yang masih tak bisa meluangkan waktu. 

Dahlia sendiri hanya punya dua hari di akhir pekan untuk berolahraga. Namun akhir pekan pun sering tersita untuk keluarga. Ia bukan satu-satunya. 

Zahra, ibu anak satu, juga menghadapi tantangan serupa. Sejak anaknya lahir, olahraga nyaris jadi kemewahan. 

“Sebetulnya bukan karena enggak bisa, tapi tergantung pasanganku juga. Waktu itu kalau dia lagi enggak bisa, aku juga enggak bisa olahraga,” kata Zahra. 

Baca juga: ‘Everything is Political’ termasuk Menstruasi Perempuan 

Apa Benar Perempuan Lebih Jarang Olahraga? 

Data menunjukkan perempuan memang cenderung memiliki tingkat aktivitas fisik yang lebih rendah dibandingkan laki-laki. Dalam riset Shifting the Physical Inactivity Curve Worldwide by Closing the Gender Gap (2018), ditemukan kesenjangan signifikan dalam kebiasaan berolahraga antara perempuan dan laki-laki. Laporan Sport England pun menunjukkan ketimpangan ini sudah muncul sejak usia anak-anak. 

Melissa Bopp, Profesor Kinesiologi dari Penn State University, menjelaskan kepada The New York Times, perbedaan ini berakar sejak dini. Ketika anak perempuan kurang terekspos aktivitas fisik sejak kecil, mereka tumbuh tanpa percaya diri terhadap olahraga. Akibatnya, olahraga bukan lagi sesuatu yang menyenangkan, melainkan asing dan penuh tekanan. 

Baca juga: Ironi Kesehatan Mental: Ketika Negara Justru Menambah Beban Pikiran Warganya

Minim Akses, Dominasi Lelaki, dan Beban Ganda 

Selain faktor psikologis dan budaya, hambatan fisik dan sosial juga menghalangi perempuan untuk aktif secara fisik. Irsyad Farhah, mental coach cabang olahraga judo, menyoroti soal terbatasnya ruang olahraga yang inklusif bagi perempuan. 

“Sebetulnya perempuan itu kan butuh olahraga ya, tapi kadang lingkupnya itu terbatas. Pilihan olahraganya kadang lebih banyak pemain laki-laki. Jadi perempuan kurang nyaman.” 

Data United Nation Women (UN Women) mendukung pernyataan Irsyad. Dalam konteks pelatihan di Amerika Serikat, hanya 40 persen tim olahraga perempuan yang dilatih oleh pelatih perempuan. Bahkan, di Olimpiade Tokyo 2020, hanya 13 persen atlet perempuan dilatih oleh perempuan. 

Dominasi laki-laki dalam olahraga bukan hanya soal representasi, tapi juga menciptakan ruang yang tidak ramah bagi perempuan. Penelitian Munirah Alsamih dari King Saud University menemukan, pembagian olahraga berdasarkan gender bisa menyebabkan stigma dan pengucilan sosial, terutama bagi perempuan yang ingin terlibat dalam olahraga yang “tidak sesuai” dengan konstruksi gender mereka. 

Ancaman lain yang sering diabaikan adalah kekerasan seksual. Menurut Irsyad, olahraga di ruang publik sering membuat perempuan rentan terhadap pelecehan seperti catcalling

“Ditambah lagi perempuan juga kalau pengen olahraga sendiri, itu kan rentan terhadap kayak catcalling dan lain-lain, jadi dia merasa ya enggak nyaman,” jelas Irsyad. 

UN Women mencatat, 21 persen perempuan pernah mengalami kekerasan seksual saat berolahraga, dibandingkan dengan 11 persen laki-laki. Ini menjadi lapisan hambatan tambahan yang membuat perempuan semakin enggan berolahraga, terutama di ruang terbuka. 

Bagi ibu-ibu seperti Dahlia dan Zahra, ada satu tantangan besar lainnya: Beban ganda. Peran merawat anak dan rumah tangga, yang secara budaya masih dilekatkan pada perempuan, menyita hampir seluruh energi dan waktu mereka. 

Penelitian berjudul Physical Activity in Working Mothers: Running Low Impacts Quality of Life (2020) menunjukkan, ibu pekerja yang kurang beraktivitas fisik memiliki risiko kualitas hidup yang lebih rendah. 

Baca juga: ‘Mental Load’: Beban Tak Terlihat Perempuan Pemikul Kehidupan 

Apa yang Perempuan Butuhkan? 

Menurut Zahra, kunci utamanya adalah dukungan pasangan. Ketika suaminya bersedia berbagi tugas, ia punya waktu, meski hanya 5–15 menit, untuk bergerak dan mengurus tubuhnya sendiri. 

“Penting banget, Beb. Jadi gantian kadang sama si Mas.” 

Dahlia sepakat. Namun selain dukungan pasangan, ia juga merasa kelompok olahraga bisa jadi sumber energi positif. 

“Kalau aku senang join grup aerobik gitu. Dulu, sempat ikutan. Biar cuma seminggu sekali, tapi enak banget jadi ada yang dukung gitu rasanya,” ujarnya. 

Irsyad menyebut pengalaman Dahlia sebagai bentuk motivasi eksternal—faktor dari luar yang bisa membantu membangkitkan semangat olahraga. Meski belum menjawab persoalan struktural seperti akses atau keamanan, menurutnya ini bisa jadi titik awal. 

“Olahraga itu kan butuh banget yang namanya motivasi ya baik dari dalam diri maupun luar. Nah ikut kelompok-kelompok olahraga yang sesuai dengan kita itu bisa banget seenggaknya bantu munculin motivasi ekstrinsik itu,” tutup Irsyad. 

Ilustrasi oleh Karina Tungari

Artikel ini diproduksi oleh Magdalene.co sebagai bagian dari kampanye #WaveForEquality, yang didukung oleh Investing in Women, inisiatif program Pemerintah Australia.  

Series artikel lain bisa dibaca di sini.



#waveforequality
About Author

Syifa Maulida

Syifa adalah pecinta kopi yang suka hunting coffee shop saat sedang bepergian. Gemar merangkai dan ngulik bunga-bunga lokal