July 14, 2025
Issues Politics & Society

Pohon Menjulur ke Rumah Sebelah: Pelajaran Etika Bertetangga dari Australia

Di Australia, ranting pohon yang menjulur ke halaman tetangga bukan sekadar urusan tanaman, tapi menyangkut hak hukum dan tanggung jawab.

  • July 3, 2025
  • 4 min read
  • 339 Views
Pohon Menjulur ke Rumah Sebelah: Pelajaran Etika Bertetangga dari Australia

Beberapa tahun lalu, saat tinggal di kawasan suburban Frankston, Victoria, Australia, saya menyaksikan sesuatu yang awalnya terasa janggal sebagai orang Indonesia. Sebuah pohon peach yang tumbuh di halaman tetangga menjulur ke sisi rumah tempat saya tinggal. Suatu pagi, saya melihat penghuni rumah memetik beberapa buah dari dahan yang masuk ke halaman mereka.

Saya bertanya-tanya, apakah itu sopan? Apakah mereka sudah minta izin? Bukankah itu mencuri?

Ternyata tidak. Di Australia, tindakan itu sah secara hukum. Bahkan hak mereka tidak berhenti di situ.

Menurut laman resmi pemerintah negara bagian Victoria, pemilik rumah berhak memangkas cabang pohon tetangga yang masuk ke lahannya tanpa izin, selama pemangkasan dilakukan dari sisi propertinya sendiri.

“You can cut branches or roots that cross into your property from a neighbour’s tree. You do not need your neighbour’s permission, but you must not go onto their land and damage the tree.”

Buah yang tumbuh di ranting tersebut juga boleh dipetik atau dimanfaatkan, selama buah itu memang berada di area rumah kita. Prinsip hukumnya: “What is over your boundary belongs to you, and you can deal with it.”

Baca juga: Tantangan dan Pengalaman Jadi Bapak Rumah Tangga

Tentu, hak ini diimbangi dengan kewajiban. Pemilik pohon tetap bertanggung jawab memastikan tanamannya tidak mengganggu properti orang lain. Jika cabang, daun, atau akar pohon mereka merusak halaman atau menyebabkan gangguan, mereka bisa dimintai pertanggungjawaban hukum. Dalam beberapa kasus, tetangga bisa menuntut ganti rugi bila pohon yang menjulur menimbulkan kerusakan.

Ada prinsip kehati-hatian yang cukup bijak di balik aturan ini: jika Anda tahu pohon Anda akan tumbuh besar, maka jangan tanam terlalu dekat dengan batas pagar. Berikan ruang bagi pertumbuhan, dan pertimbangkan kemungkinan gangguan di masa depan. Ini bukan hanya soal tanaman, tapi soal tanggung jawab agar properti kita tidak mengganggu hak orang lain.

Hukum ini ada untuk melindungi semua pihak saat tak semua hal bisa diprediksi. Sebagai contoh, terkadang pohon yang sudah ditanam dengan bijak di tengah tetap saja tumbuh melebar ke arah tetangga karena arah sinar matahari atau angin, sebagai bagian dari hukum alam yang tak selalu bisa dikendalikan. Atau, beberapa pohon besar memang sudah ada bahkan sejak rumah berdiri dan letaknya di batas tipis antara properti kita dan tetangga.

Saya membandingkan pengalaman ini dengan kebiasaan yang jamak saya lihat di Indonesia. Tak jarang kita menemukan pohon rambutan, mangga, atau jambu yang menjulur jauh ke halaman tetangga. Alih-alih berpikir soal hak dan batas, kadang yang terjadi justru sebaliknya. Tetangga dianggap “tak sopan” bila memetik buahnya, atau bahkan menyentuh rantingnya saja sudah dianggap melanggar.

Di sisi lain, sebagian pemilik pohon mungkin tidak menyadari bahwa tanggung jawab atas pohon tidak berhenti di titik akarnya saja. Ketika pohon mereka menjorok ke halaman orang lain, maka kenyamanan, kebersihan, bahkan hak visual tetangga bisa terganggu. Ranting yang menghalangi sinar matahari, dedaunan yang jatuh setiap hari ke halaman sebelah, atau buah yang membusuk dan mengundang serangga, bisa menjadi sumber masalah yang sebetulnya bisa dihindari jika sejak awal ruang batas dipahami dan dihormati.

Namun, bukan berarti kita tidak punya budaya tahu diri. Masyarakat kita justru sangat menjunjung tinggi harmoni dan hubungan baik antar warga. Hanya saja, kadang keinginan menjaga perasaan membuat kita sungkan bicara soal batas dan hak secara terbuka. Kita takut dianggap cerewet, atau lebih buruk lagi, “tidak tahu diri”.

Baca juga: Drakor ‘Reply 1988’ dan Dinamika Hidup Bertetangga

Padahal, bisa jadi yang dibutuhkan justru pembicaraan yang dewasa dan saling menghormati. Bahwa halaman tetangga juga perlu lapang, bersih, dan tidak ditembus cabang yang bukan haknya, Bahwa ruang rumah bukan sekadar area fisik, tapi juga cerminan kenyamanan hidup. Dan bahwa menjaga ruang milik kita agar tidak mengganggu orang lain adalah bagian dari etika bertetangga yang paling mendasar.

Pengalaman sederhana ini akhirnya membuat saya berpikir, mungkin kita bisa belajar dari aturan yang jelas seperti ini. Bukan untuk meniru mentah-mentah, tapi untuk memahami bahwa sopan santun yang sejati lahir dari penghargaan terhadap hak dan batas ruang pribadi. Tidak semua hal perlu izin, tapi semua hal perlu pertimbangan.

Baca juga: Kalibata City: Antara Mutilasi dan ‘Sanctuary’

Dan jika buah itu sudah menjulur ke halaman tetangga, mungkin saatnya bukan hanya kita membolehkan mereka memetik, tapi juga mulai menanam dengan lebih bijak.



#waveforequality
About Author

Sitti Maryam