July 14, 2025
Health Issues Politics & Society

Dilema Sunyi Perempuan ASN: Takut Minta Bantuan, Takut Dimutasi

Di balik seragam rapi dan gaji tetap, banyak perempuan ASN bergulat dengan kecemasan, ‘burnout’, dan ketakutan dimutasi bila mencari bantuan profesional.

  • July 3, 2025
  • 5 min read
  • 1258 Views
Dilema Sunyi Perempuan ASN: Takut Minta Bantuan, Takut Dimutasi

Di ruang kerja yang berbeda, satu di Jakarta dan yang lain di Tasikmalaya, Jawa Barat, dua perempuan pegawai negeri sama-sama mengalami burnout. Win baru pulang dari dinas luar kota, belum sempat bertemu anaknya, dan kembali menatap layar komputer sambil membaca pesan dari keluarga, “Kapan pulang kampung?” atau lebih sinis, “Udah digaji negara, ngapain rajin banget?”

Sementara Ris sering mencurahkan isi hati di media sosial. Suatu kali, ia menyelinap ke toilet kantor untuk menangis. Di balik wajah profesionalnya, ia menyimpan kelelahan panjang yang tak tercantum dalam Rencana Kerja Tahunan.

Mereka punya gaji tetap, cuti tahunan, dan jaminan pensiun. Tapi tidak ada ruang aman dalam sistem birokrasi untuk menyuarakan kelelahan psikis, kecemasan kronis, atau kebutuhan untuk bertemu psikolog.

“Aku pernah hampir ke psikiater,” cerita Win. “Tapi takut atasan tahu. Takut dibilang enggak sanggup menjawab tantangan kerja. Dianggap lemah dan enggak stabil. Takut dimutasi.”

Baca juga: Jadi ASN Tak Jamin Hidup Nyaman: Cerita Mereka yang Terdampak Efisiensi Anggaran

Ketakutan yang nyata, bukan paranoia

Menurut Survei Kesehatan Mental Aparatur Sipil Negara (ASN) 2025 oleh Lembaga Administrasi Negara dan Universitas Indonesia, 42,7 persen ASN perempuan mengalami gejala kecemasan tinggi dan gangguan tidur, tapi hanya 6,8 persen yang pernah mengakses layanan psikolog atau psikiater. Alasannya bukan tidak merasa butuh bantuan, tapi karena budaya kerja dan stigma membuat mereka lebih memilih diam.

Dalam birokrasi yang menjunjung efisiensi dan loyalitas, kerentanan dianggap kelemahan. Perempuan yang menunjukkan emosi berisiko dicap tidak profesional. Ris pernah diminta “lebih profesional” hanya karena tertangkap menangis di toilet.

“Jangan bawa masalah rumah ke kantor,” kata atasannya. Padahal kantor kerap masuk ke ranah rumah, dengan lembur tanpa batas, beban kerja yang tak kenal waktu, dan mutasi sepihak.

Di rumah, kondisi tak lebih mudah. Pertanyaan seperti “Nanti siapa yang urus anak kalau kamu dipindah?” jadi penghalang karier perempuan. Beban domestik tetap menempel, meski mereka punya Nomor Induk Pegawai (NIP) dan gelar.

Di atas kertas, sistem kerja ASN tampak netral gender. Tapi dalam praktiknya, perempuan dituntut untuk tahan banting, rasional, dan tidak emosional. Cuti melahirkan dianggap jeda dari produktivitas. Anak dianggap urusan pribadi, sementara target kerja tetap berjalan tanpa peduli keadaan.

Beberapa ASN perempuan mengaku takut mengakses layanan konseling karena khawatir dicap lemah. Dalam kuesioner internal yang dihimpun dari berbagai kementerian, mereka menyuarakan perlunya ekosistem kerja yang mendukung psikososial dan asesmen berkala terhadap tekanan mental. Selain itu, penempatan jabatan diharapkan mempertimbangkan kesejahteraan, bukan hanya produktivitas.

Mereka juga mendorong pencegahan promosi terhadap pejabat yang abusif atau memaksa lembur berlebihan, serta transparansi dan keamanan data psikologis pegawai. Banyak yang mengaitkan stres kerja bukan hanya dengan beban pekerjaan, tapi juga budaya kerja toksik dan korupsi struktural. Melihat ketidakadilan tapi tak bisa bersuara, menurut mereka, adalah bentuk kekerasan mental terselubung.

Baca juga: Menagih Janji Prabowo, Kapan Tukin Dosen ASN Dibayarkan?

Mutasi sebagai instrumen tekanan

Beberapa kasus mutasi diingat sebagai momen traumatis. Salah satu responden menyebut mutasi besar-besaran pada 2014–2015 menyebabkan banyak ASN perempuan mengalami depresi, kehilangan motivasi, bahkan trauma berkepanjangan. Namun karena isu kesehatan mental belum populer saat itu, tidak ada ruang untuk mengungkap luka itu secara terbuka.

Mutasi masih digunakan sebagai “hukuman sosial” terselubung. Pegawai yang dianggap terlalu vokal, terlalu emosional, atau sedang dalam proses penyembuhan psikologis, berisiko dipindahkan dengan alasan “kebutuhan organisasi.”

Frasa seperti PNS harus siap ditempatkan di mana saja kini dilihat sebagai bentuk kekakuan sistemis yang menihilkan kompleksitas hidup manusia. Seakan-akan ASN tidak punya rumah, anak, pasangan, atau kesehatan mental.

Jika birokrasi ingin disebut manusiawi, ia harus berhenti menganggap kesejahteraan hanya sebagai soal gaji dan tunjangan. Perlu perubahan regulasi yang secara eksplisit mengakui bahwa dukungan psikologis adalah hak kerja, bukan bonus.

Dari sejumlah forum internal dan diskusi terbatas, muncul beberapa usulan kebijakan seperti menyediakan layanan psikolog atau psikiater internal dengan sistem rujukan yang menjamin kerahasiaan. Tempat kerja juga sebaiknya menjamin bahwa pencatatan kondisi mental tidak digunakan dalam evaluasi kinerja. Para ASN ini juga mendorong peninjauan kebijakan mutasi dengan memperhatikan kondisi keluarga dan kesehatan mental. Selain itu, harus ada kebijakan tempat kerja sensitif gender yang lebih dari sekadar cuti dan ruang laktasi, yakni menyangkut beban kerja, fleksibilitas waktu, hingga proses promosi yang adil.

Di negara-negara Skandinavia, jam kerja fleksibel dan sistem paruh waktu bukan dianggap pengurangan produktivitas, melainkan strategi keberlanjutan tenaga kerja publik. Indonesia bisa belajar dari situ, terutama ketika hanya 19 persen jabatan tinggi diisi perempuan, padahal mayoritas ASN adalah perempuan.

Baca juga: Saya Cina dan Ingin Jadi ASN, Ada yang Salah?

Negara butuh ASN yang waras, bukan hanya patuh

Sementara itu, persepsi publik tentang ASN justru makin menyederhanakan. Mereka dianggap “enak” karena digaji negara. Padahal slip gaji tidak mencantumkan insomnia, kecemasan, konflik rumah tangga akibat lembur, atau rasa takut tiap kali muncul kabar mutasi.

Lembaga negara gemar menggaungkan jargon good governance, human capital development, dan reformasi birokrasi berbasis merit. Tapi terlalu sering, semua itu hanya menyentuh struktur, bukan manusianya. Perempuan ASN menjadi simbol dari keberhasilan kuantitatif yang menutupi kegagalan kualitatif.

Perempuan seperti Win dan Ris tidak meminta privilese. Mereka hanya ingin ruang kerja yang aman untuk menjadi manusia, di mana kesedihan tidak dicurigai, kegelisahan tidak dianggap penghambat, dan kelelahan tidak harus disembunyikan.

Di tengah gencarnya digitalisasi dan pelayanan berbasis AI, justru yang kita butuhkan lebih mendasar, yakni kemampuan mendengar. Bukan hanya laporan tahunan, tapi suara-suara lirih yang tak pernah muncul di e-Kinerja.

Perubahan memang mulai terlihat. Beberapa kementerian sudah menggandeng psikolog dalam pelatihan pegawai, dan membuka kanal konsultasi daring. Tapi semua itu masih tambal sulam, belum menyentuh struktur birokrasi secara utuh. Belum ada regulasi nasional yang mengakui kesehatan mental sebagai bagian dari hak kerja.

Karena itu, negara harus berani bertanya ulang: Apakah birokrasi butuh manusia yang loyal tanpa suara, atau manusia yang waras dan punya integritas? Yang terakhirlah, dan hanya itu, yang bisa menjaga martabat pelayanan publik.

Foggy FF menulis esai dan fiksi. Pegiat literasi dan sosial yang tinggal di Bandung.



#waveforequality
About Author

Foggy FF