Masyarakat Adat Rentan Terpapar COVID-19, Tapi Tak Dapat Prioritas Vaksin
Masyarakat adat rentan terpapar COVID-19 dan tidak tertangani karena tinggal di tempat terpencil dan memiliki keterbatasan akses sanitasi.
Masyarakat adat di Indonesia menjadi kelompok rentan terhadap penularan penyakit dan kematian akibat pandemi COVID-19. Namun sayangnya, selama wabah terjadi, pemerintah tidak menunjukkan perhatian khusus terhadap kelompok dengan populasi sekitar 70 juta jiwa ini.
Hal itu terlihat dari minimnya panduan kesehatan yang khusus bagi masyarakat adat, data-data penyebaran atau kematian pada kelompok tersebut, hingga ketidakjelasan dalam pemberian vaksinasi untuk mereka.
Tidak tertutup kemungkinan, dari 31.976 kasus kematian saat ini karena COVID-19, ada yang merupakan bagian dari masyarakat adat.
Kerentanan masyarakat adat, yang berjumlah setidaknya 476 juta orang secara global, juga terlihat di berbagai negara. Di Brasil misalnya, lebih dari 47.000 orang di masyarakat adat terinfeksi virus corona dan 953 di antaranya meninggal. Hingga Februari, virus ini telah menjangkiti lebih dari 161 kelompok masyarakat adat di negara tersebut. Kerentanan ini terjadi karena kelompok masyarakat adat tidak memiliki jangkauan informasi dan akses kesehatan yang baik pada masa COVID-19.
Hal ini juga dialami oleh masyarakat adat di Indonesia. Karena kebanyakan berdiam pada daerah yang sulit dijangkau dan terpencil, mereka sulit mendapatkan akses kesehatan sehingga sangat rentan terhadap penyakit menular dan tidak menular. Selain itu, mereka memiliki keterbatasan akses terhadap sanitasi, seperti air bersih untuk cuci tangan, sabun dan disinfektan, yang merupakan salah satu pencegahan utama dari penyebaran virus.
Salah satu contoh kondisi terburuk yang dialami masyarakat adat dapat dilihat pula di Amerika Latin. Karena tidak ada perhatian negara, mereka berjuang sendiri menghadapi penyebaran pandemi dengan sanitasi buruk, kemiskinan, dan tingkat kesakitan yang parah.
Memasuki bulan kedua pemberian vaksin, pemerintah Indonesia seharusnya serius dalam mencegah penyebaran virus dan kematian bagi masyarakat adat dan memasukkan masyarakat adat ke dalam prioritas penanganan COVID-19.
Kelompok adat bukan prioritas vaksin
Pada bulan Januari lalu, Kementerian Kesehatan telah mengumumkan pemberian vaksinasi ke dalam empat tahapan.
Pemberian vaksinasi tahap 1 dan 2 berlangsung pada Januari-April untuk para tenaga kesehatan, petugas pelayanan publik, dan kelompok usia lanjut di atas 60 tahun (untuk kelompok usia lanjut baru dimulai pekan ini).
Pada tahap 3 dan 4, mulai April 2021-Maret 2022, vaksin akan diberikan kepada masyarakat umum yang rentan dari aspek geospasial, sosial, dan ekonomi, serta masyarakat umum lainnya sesuai dengan ketersediaan vaksin.
Baca juga: 75 Tahun Indonesia Merdeka, Masyarakat Adat Masih Berjuang untuk Kesetaraan
Pengelompokan ini berdasarkan atas peta jalan yang dikeluarkan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO), yaitu WHO Strategic Advisory Group of Experts on Immunization (SAGE), dan hasil kajian dari Komite Penasihat Ahli Imunisasi Nasional (Indonesian Technical Advisory Group).
Sayangnya, dalam pengelompokan ini, masyarakat adat tidak masuk ke dalam prioritas penerima vaksin tahap 1 maupun tahap 2, atau bahkan disebutkan secara spesifik.
Sementara, atas dasar prinsip-prinsip kesetaraan, Badan Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan kelompok masyarakat dengan kerentanan aspek geospasial, sosial, dan ekonomi, yaitu orang miskin, pekerja migran, tunawisma, kelompok masyarakat adat (kelompok di pedesaan dan wilayah terpencil), dan kelompok seksual minoritas.
Kelompok ini termasuk sebagai penerima vaksin prioritas setelah tenaga kesehatan, orang tua, dan kelompok komorbiditas atau status kesehatan yang ditentukan secara signifikan berisiko lebih tinggi terkena penyakit parah atau kematian.
Di beberapa negara, seperti Amerika Serikat, Kanada, dan Brasil (kawasan Amazon), pemerintah sudah memasukkan masyarakat adat, bahkan hingga ke wilayah terpencil sebagai penerima vaksin tahapan awal. Kerentanan dan kematian masyarakat adat menjadi pertimbangan serius di negara-negara tersebut.
Tidak ada data tentang masyarakat adat
Indonesia termasuk ke dalam negara terjangkit transmisi lokal. Meski demikian, belum ada laporan resmi dan spesifik atas kasus positif maupun kematian akibat COVID-19 pada masyarakat adat.
Ketika menggunakan kata kunci “masyarakat adat” dalam pencarian di laman Kementerian Kesehatan, tidak ada informasi dan data spesifik terkait dengan penanganan khusus bagi masyarakat adat. Padahal, tercatat 1.128 komunitas etnik/suku di berbagai wilayah Republik Indonesia, atau 50 hingga 70 juta orang merupakan anggota masyarakat adat.
Tidak adanya kepastian data ini akan berakibat buruk bagi penjangkauan masyarakat adat terhadap vaksin. Terlebih lagi, Kementerian Kesehatan akan menggunakan data Daftar Pemilih Tetap (DPT) milik Komisi Pemilihan Umum (KPU), yang semakin menyulitkan jangkauan vaksin ke kebanyakan kelompok masyarakat adat.
Ketiadaan data ini terjadi karena sebagian besar masyarakat adat masih tinggal di dalam kawasan hutan (terisolasi) dan tidak mempunyai kartu tanda penduduk (KTP). Otomatis, mereka tidak masuk dalam data DPT.
Masalah lainnya, masih ada sengkarut data DPT pada pemilu (Pilpres) sebelumnya.
Situasi ini bisa berujung kepada tidak terpenuhinya asas national equity atau kesetaraan nasional yang sudah direkomendasikan oleh WHO.
Baca juga: Masyarakat Adat Kian Rentan Akibat Omnibus Law UU Cipta Kerja
Pencegahan penyebaran virus lewat ritual adat
Akibat minimnya perhatian dari pemerintah, masyarakat adat menghadapi penyebaran virus ini berdasarkan adat dan kepercayaan lokal mereka. Mereka menggunakan praktik tradisional dan pengetahuan lokal untuk menemukan solusi atas pandemi.
Salah satu contoh yang berhasil adalah komunitas adat Baduy Dalam di Banten, yang terkenal sebagai kelompok masyarakat yang tinggal terisolasi dan hampir tanpa teknologi.
Dengan jumlah penduduk mencapai 11.724 orang, para pemuka adat menyampaikan bahwa belum ada laporan kasus COVID-19 dari komunitas ini.
Sejak ditemukan kasus COVID-19, masyarakat Baduy sudah melakukan Ritual Kawalu, yakni ritual adat yang mirip dengan model lockdown, yaitu melarang atau menutup akses masuk dari dan keluar desa mereka.
Pengetahuan dan antisipasi dini komunitas adat terhadap wabah adalah bagian dari warisan leluhur yang saat ini masih berguna dan penting. Ritual dan penutupan akses ke wilayah adat merupakan tindakan pencegahan penyebaran COVID-19. Meski demikian, bukan berarti masyarakat adat kebal terhadap wabah ini dan perlu ada studi lebih lanjut untuk melihat keefektifan ritual adat tersebut.
Pengalaman masyarakat di Pulau Borneo bagian selatan dan timur dalam menghadapi wabah flu spanyol pada 1918, misalnya, menyisakan catatan sejarah sebanyak 1.424 orang yang meninggal.
Penanganan pandemi COVID-19 dengan pendekatan sosial budaya sangat diperlukan. Pendekatan ini tentu dengan melibatkan masyarakat adat, tidak hanya pada pencegahan penularannya saja, tetapi juga prioritas vaksinasi untuk membentuk kekebalan kelompok pada komunitas adat.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
Ilustrasi oleh Karina Tungari.