Culture Issues Politics & Society

Neil Gaiman dan Citra Laki-laki Feminis yang Runtuh

Kasus kekerasan seksual yang melibatkan Neil Gaiman mengajak kita untuk mempertanyakan ulang label laki-laki feminis.

Avatar
  • February 5, 2025
  • 5 min read
  • 307 Views
Neil Gaiman dan Citra Laki-laki Feminis yang Runtuh

Marah, sedih, dan jijik. Tiga emosi ini mendominasi perasaan Taba, 28, ketika mendengar kabar bahwa Neil Gaiman, salah satu penulis favoritnya, tersandung kasus kekerasan seksual. Awalnya ia sempat tidak percaya karena Neil Gaiman mencitrakan diri sebagai laki-laki feminis, dengan karya-karya yang menampilkan perempuan yang berdaya.

“Di lingkup fandom, dia dikenal sebagai penulis cowok yang ramah terhadap perempuan dan queer. Dia sangat baik, kritis, he is standing for the right things, itu yang aku tahu,” kata Taba.

 

 

Kabar soal Neil Gaiman ini mulai terendus publik pada Juli 2024 melalui siniar Inggris yang diproduksi Tortoise Media berjudul Master, dibawakan oleh Paul Caruana Galizia dan Rachel Johnson. Dalam siniar tersebut, lima perempuan mengaku mengalami pelecehan dan kekerasan seksual oleh Gaiman.

Seiring waktu, semakin banyak perempuan yang menyampaikan tuduhan serupa. Pada 13 Januari lalu, New York Magazine menerbitkan laporan mendetail mengenai kekerasan seksual yang dialami para korban. Di antara mereka ada Scarlett Pavlovich, mantan pengasuh anak Neil Gaiman dan mantan istrinya, musisi dan penyanyi Amanda Palmer. Pavlovich menuduh Gaiman melakukan kekerasan seksual sejak hari pertama ia mulai bekerja, ketika usianya baru 22 tahun.

Beberapa korban menggambarkan Gaiman bagaikan anglerfish, predator laut dalam yang menggunakan bola lampu bioluminesensi untuk memikat mangsa. Bedanya, Gaiman menjerat perempuan sebagai laki-laki Inggris berambut acak-acakan tapi rapi dan bersuara lembut.

Baca juga: Menjadi Perempuan Penulis Muda di Jakarta

Gaiman dan label laki-laki feminis

Di mata publik dan penggemarnya, Gaiman dikenal sebagai laki-laki feminis. Karyanya progresif, menawarkan karakter-karakter perempuan berdaya yang sering kali menjadi pemimpin adil dan penuh cinta. Dalam The Sandman (1992), Gaiman bahkan memperkenalkan karakter trans bernama Wanda, sesuatu yang baru dalam dunia komik yang terkenal maskulin pada era 90-an.

Pada 2012, para akademisi menerbitkan hampir 300 halaman kumpulan esai yang menganalisis tema-tema feminis dalam karya Gaiman. Ia dipuji sebagai penulis yang menceritakan kisah-kisah orang-orang terpinggirkan dalam literatur arus utama.

Citra ini membius jutaan orang, seperti Taba dan Inez, 35. Inez mengenal Gaiman sejak SMP lewat Coraline (2002), novel horor fantasi dengan tokoh utama anak perempuan yang cerdas dan pemberani. Karakter Coraline membuatnya terkesan dan ia pun mengikuti karya-karya Gaiman yang lain.

“Aku makin kagum dan salut karena ia menyatakan diri sebagai feminis,” cerita Inez.

Namun, di tengah banyaknya pengakuan korban, label laki-laki feminis ini mulai dipertanyakan. Lila Shapiro, yang menulis laporan soal Gaiman di New York Magazine, menyebutnya seperti karakter Madoc dalam The Sandman—kejam dan manipulatif demi ambisi egoisnya.

Seperti Madoc, Gaiman menyebut dirinya feminis, meraih banyak penghargaan, dan dikenal mengubah genre yang ia tulis. Namun, tuduhan kekerasan seksual ini mengungkap sisi gelap yang selama ini tersembunyi di balik citra progresifnya. Gaiman sendiri telah menyangkal tuduhan tersebut dan mengatakan bahwa semua hubungan seksual terjadi secara konsensual.

Baca juga: Setelah #MeToo, Lalu Apa?

Fenomena chauvo-feminis

Gaiman bukan satu-satunya laki-laki progresif yang tersandung kasus pelecehan seksual. Sebelumnya, kasus Harvey Weinstein mengagetkan dunia karena banyaknya korban yang jatuh. Produser film Amerika itu memang tidak mengklaim diri feminis, tapi ia dikenal cukup progresif. Ia memproduseri banyak film tentang perempuan dan disutradarai oleh perempuan, bahkan mendukung Women’s March di Sundance.

Namun, semua itu hanya topeng. Pada 2017, The New York Times dan The New Yorker melaporkan bahwa Weinstein telah melakukan pemerkosaan dan pelecehan seksual terhadap sedikitnya 80 perempuan di industri film.

Kasus ini memicu gerakan #MeToo dan mengungkap banyak pelaku kekerasan seksual lainnya, termasuk Eric Schneiderman, Jaksa Agung New York ke-65. Schneiderman dikenal sebagai pejuang hak perempuan dan berperan penting dalam gugatan terhadap Weinstein, juga pengesahan undang-undang yang melindungi perempuan korban kekerasan domestik.

Namun, pada 2018, The New Yorker melaporkan bahwa ia sendiri melakukan kekerasan terhadap empat perempuan. Dalam laporan itu digambarkan bahwa para korban ditampar, dicekik, diejek, dan dilecehkan oleh Schneiderman. Sama seperti Gaiman dan Weinstein, ia menyebut tuduhan itu tidak berdasar.

Dalam buku Chauvo-Feminism: On Sex, Power and #MeToo (2021), sosok seperti Weinstein dan Schneiderman disebut sebagai chauvo-feminis—laki-laki yang membangun citra pro-perempuan untuk melindungi diri dari konsekuensi atas perilaku misoginis mereka. Mereka paham kebencian mereka terhadap perempuan dan kelompok termarginalkan bisa membawa kehancuran bagi reputasi dan karier mereka.

“Kebencian mereka terhadap perempuan sangat hati-hati. Mereka akan memiliki teman-teman perempuan yang menjadi sekutu dan alibi,” tulis Sam Mills.

Mills menjelaskan bahwa dibandingkan chauvinisme tradisional—yang secara terang-terangan menempatkan laki-laki di atas perempuan—chauvo-feminis masa kini lebih berbahaya karena mereka memanfaatkan citra progresif untuk memanipulasi persepsi publik. Ketika terbukti sebagai pelaku kekerasan, citra ini berfungsi sebagai tameng yang melindungi mereka dari kehancuran total atas reputasi dan karier mereka.

Baca juga: Yang Kita Pelajari dari Kasus Gisèle Pélicot

Jill Filipovic, penulis feminis asal Amerika Serikat, menawarkan cara untuk mengidentifikasi laki-laki feminis sejati. Menurutnya, penting untuk mempertanyakan hubungan mereka dengan kekuasaan.

  • Apakah mereka bersedia berbagi kekuasaan dengan perempuan yang memenuhi syarat?
  • Apakah mereka menggunakan perempuan sebagai alat bantu dan batu loncatan untuk karier mereka sendiri?
  • Bagaimana reaksi mereka ketika perempuan menantang mereka?
  • Ketika mendorong hak-hak perempuan, apakah hasil atau pengakuan yang lebih penting bagi mereka?

Cara-cara ini dapat membantu kita untuk terus mengkritisi figur publik yang mengklaim diri sebagai sekutu feminis, dan lebih mendengarkan suara para korban dalam memperjuangkan keadilan.



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *