Kalau Curhat ke Tanaman Dibilang Aneh, Mungkin Dunia Kita yang Salah

Teman saya mengatakan ibunya hampir setiap hari mengobrol dengan tanaman-tanamannya, dari mulai minta maaf karena lupa menyiram, sampai curhat.
“Curiga, sih, gue, kalau itu tanaman bisa ngetik mereka kayaknya udah bikin grup WhatsApp,” kata teman saya itu sambil tertawa.
Ketika saya sambangi sang ibunda, Bu Ning, saya berkesempatan melihat berpot-pot tanaman berjajar apik di teras rumahnya.
“Aku emang suka ngomong, sih. Pas ngomong sama tanaman kayak beneran didengerin. Jadi, perasaannya tuh senang,” katanya sambil menyiram aglaonema merahnya
Menurut Bu Ning, tanaman itu merespons layaknya makhluk hidup. “Kalau disiram sambil diajak ngomong, mereka kayak lebih senang. Tumbuhnya juga bagus,” ujarnya, sambil menambahkan bahwa perawatannya bukan berbasis teori, melainkan kedekatan yang terbangun lewat keseharian.
Baca Juga: Ekofeminisme: Perempuan dalam Pelestarian Lingkungan Hidup
Tradisi yang telah lama mengakar
Bagi sebagian orang, mungkin kebiasaan Bu Ning itu aneh, tapi banyak ibu-ibu yang melakukannya. Kebiasaan ini sebetulnya memiliki akar panjang terkait pada cara pandang manusia zaman dulu terhadap alam.
Menurut Dewi Candraningrum, seniman sekaligus pemikir feminis-ekologis, sebelum kedatangan kolonialisme, kapitalisme, dan agama-agama Abrahamik, banyak masyarakat meyakini bahwa alam hidup. Gunung, pohon, dan sungai bukan sekadar latar, tetapi bagian dari hidup yang harus dihormati, ujarnya.
Masyarakat pra-modern, kata Dewi, menunjukkan penghargaan tinggi terhadap unsur-unsur non-manusia. Namun, cara pandang itu perlahan bergeser seiring dominasi sistem baru.
“Begitu trio ini hadir, yakni kapitalisme, agama-agama Abrahamik, paradigma modern, relasi manusia dan non-manusia diputus,” ujarnya kepada Magdalene (30/5).
Senada dengan Dewi, jurnalis Titah AW yang kerap menulis tentang relasi manusia dan alam, mengatakan kepercayaan bahwa alam itu bisa diajak komunikasi masih kuat di masyarakat adat.
Warisan ini masih hidup, misalnya di Desa Mojodelik, Bojonegoro, Jawa Timur. Petani di sana memulai musim tanam dengan tabuhan gamelan dan gending Jawa, menjadikan tandur sebagai laku budaya yang sakral.
Meski praktik semacam ini masih bertahan di beberapa wilayah, secara umum cara pandang yang menempatkan alam sebagai entitas hidup mulai tergeser. Alam kini lebih sering diperlakukan sebagai objek yang bisa dikendalikan dan dieksploitasi.
Peneliti Australia Prudence Gibson dan Monica Gagliano, dalam artikel “The Feminist Plant: Changing Relations with the Water Lily” (2017), menyoroti bahwa cara manusia memperlakukan alam sering paralel dengan bagaimana perempuan diperlakukan di masyarakat modern, yakni dipinggirkan dan dianggap tak penting.
Di tengah sistem patriarki dan logika modern, perempuan dan tumbuhan kerap dianggap “pelengkap”. Maka, ketika perempuan berbicara dengan tanaman, seperti Bu Ning lakukan, itu bukan sekadar kebiasaan eksentrik, melainkan praktik intim yang menembus logika modern.
Baca Juga: Yang Kita Pelajari dari Nenengisme dan Revolusi Lingkungan ala Ibu petani
Belajar melek lingkungan dari teras rumah
Dela Khoirul Ainia dkk dari Universitas Gadjah Mada (UGM), dalam “A Social Ecological View” (2024), mencatat bahwa relasi manusia-alam kini lebih berlandaskan keinginan untuk menguasai, memicu krisis iklim dan kerusakan ekologi.
Bagaimana mengubah relasi yang merusak ini? Solusinya tak mesti dari kebijakan besar di level makro. Kesadaran ekologis bisa tumbuh dari laku harian yang sederhana seperti merawat tanaman.
Folke dkk dari Akademi Ilmu Pengetahuan Swedia dalam “Our Future in the Anthropocene Biosphere” (2021) menyatakan, masa depan keberlanjutan bergantung pada kemampuan manusia membangun ulang kedekatan dengan alam.
“Di dunia yang sering terasa terlalu cepat dan terputus, mungkin berbisik pada tanaman justru adalah bentuk perlawanan lembut yang kita butuhkan,” tulis mereka.
Menurut jurnalis Titah AW, tindakan seperti ngobrol dengan tanaman adalah perlawanan kecil yang politis. Ini melatih imajinasi ekologis, merajut ulang relasi manusia-alam.
“Dengan ngajak ngobrol tanaman, kita melatih diri untuk ingat bahwa mereka juga hidup,” katanya.
Perilaku sederhana ini sarat makna dan merawat tanaman adalah cara berkoneksi kembali dengan kehidupan lain di sekitar kita.
Pengalaman masa kecil penulis asal Inggris, D.H. Lawrence, juga mencerminkan hal ini. Ayahnya, Arthur, kerap mengajak Lawrence kecil menjelajah alam, mengenal tanaman dan hewan dengan penuh penghargaan. Pengalaman itu tertanam sebagai ingatan hidup yang terus bergema dalam karya-karya sastranya.
Baca Juga: Kisah Perempuan Kulon Progo Selamatkan Bumi dengan Bertani
Tanaman bisa merespons dan sains punya buktinya
Tanaman bukan makhluk pasif. Mereka merespons lingkungan dan “berkomunikasi” dengan caranya sendiri.
Suzanne Simard, Profesor Ekologi Hutan di University of British Columbia, membuktikan bahwa pohon-pohon saling terhubung lewat jaringan mikoriza di bawah tanah yang mengatur distribusi air, nutrisi, bahkan sinyal.
Mengutip ahli botani Robin Wall Kimmerer (Braiding Sweetgrass: Indigenous Wisdom, Scientific Knowledge and the Teachings of Plants, 2015), jaringan ini berfungsi mirip Robin Hood: pohon kuat menyumbang cadangan makanan ke pohon yang lemah.
Dalam The Secret Life of Plants (1973), jurnalis Peter Tompkins dan mantan agen rahasia AS, Christopher Bird, juga mengulas eksperimen yang menunjukkan tanaman mampu merespons rangsangan manusia.
Ahli poligraf Cleve Backster, misalnya, menghubungkan alat pendeteksi kebohongan ke daun Dracaena. Ketika ia membayangkan akan membakar daun itu, alat mencatat lonjakan reaksi listrik, seolah-olah tanaman “membaca” niatnya.
Studi lain oleh pakar botani India, T.C. Singh, menemukan bahwa tanaman yang diperdengarkan musik klasik India tumbuh 20-60 persen lebih baik.
Semua ini menguatkan bahwa pengetahuan intuitif Bu Ning, bahwa tanaman hidup, bisa merasakan, dan tumbuh lebih baik saat diajak bicara, punya dasar ilmiah yang kuat. Lewat praktik ini, kita merajut ulang hubungan yang telah lama diputus modernitas, sebuah laku kecil yang, siapa tahu, bisa membantu menyembuhkan dunia.
Ilustrasi oleh Karina Tungari
