June 23, 2025
#WaveForEquality Issues

Anak Lelaki yang Dibesarkan Algoritme, Incel, dan Peran Pengasuhan Ayah

Ayah perlu terlibat dalam pengasuhan anak lelaki yang aktif di media sosial. Begini caranya.

  • May 18, 2025
  • 5 min read
  • 1564 Views
Anak Lelaki yang Dibesarkan Algoritme, Incel, dan Peran Pengasuhan Ayah

Zaenal membeku di depan layar. Serial Adolescence baru saja tamat, tapi adegan terakhirnya masih bergema di kepalanya. Remaja laki-laki Jamie Miller, membunuh teman perempuannya karena tak sanggup menerima penolakan. Bagi Zaenal, ini bukan sekadar fiksi muram. Sebagai ayah dari dua anak laki-laki yang tumbuh di tengah gempuran media sosial, Jamie bisa jadi siapa saja—termasuk anaknya sendiri. 

Tindakan Jamie mengingatkannya pada bahaya paham involuntary celibate (incel) yang kini marak di internet, menjangkiti anak muda, khususnya laki-laki. “Saya sendiri khawatir anak ikut terpapar komunitas incel. Apalagi setelah tahu perilaku nyata orang seperti Elliot (anak lelaki yang terlibat pembunuhan massal pada 2014. Red), makin gede kekhawatirannya. Makanya, saya proaktif memberikan pemahaman agar anak tidak membenci perempuan, atau setidaknya menjauhi hal-hal seperti itu,” ujarnya kepada Magdalene. 

Zaenal bukan satu-satunya yang khawatir. Terlebih paham incel atau laki-laki yang merasa tidak diinginkan secara seksual oleh perempuan—tidak lagi hanya mengendap di forum gelap. Ia merembes ke lini masa, masuk lewat algoritme, dan bersembunyi dalam narasi kebencian yang dibungkus “motivasi”. 

Komunitas incel awalnya dibentuk oleh perempuan bernama Alana pada 1997 sebagai ruang berbagi kesepian. Seiring waktu, ruang itu menjelma menjadi forum misoginis. Pada 2017, forum incel di Reddit yang punya lebih dari 40.000 anggota resmi ditutup karena konten kebenciannya tak lagi bisa ditoleransi. 

Jurnal bertajuk “Impact Of Social Factors Responsible For Juvenile Delinquency” yang ditulis Abhishek dan Balamurugan dari Vellore Institute of Technology menjelaskannya. Menurut penulis, perilaku kekerasan anak berkaitan erat dengan faktor sosial, termasuk relasi keluarga. Anak yang tumbuh dalam keluarga suportif cenderung jauh dari tindak kriminal. Sebaliknya, anak yang mengalami pelantaran emosional lebih rentan melakukan kekerasan. 

Kekerasan itu nyata. Data Elektronik Manajemen Penyidikan Pusat Informasi Kriminal Nasional Badan Reserse Kriminal (EMP Pusiknas Bareskrim) Kepolisian RI mencatat, 8.351 anak menjadi tersangka dalam berbagai kasus kejahatan sepanjang tahun lalu. 

Baca Juga : Bahaya Incel dan Femisida: Percakapan Penting Setelah Nonton ‘Adolescence’ 

Saat Anakmu Dibesarkan Algoritme 

Dunia digital—tempat yang seharusnya menjadi ruang eksplorasi—kini juga jadi ladang subur kebencian. Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2023 mencatat, dari 30,2 juta anak di Indonesia, 67,65 persen anak usia 5-24 tahun menggunakan internet untuk mengakses media sosial. Tanpa pengawasan ketat, mereka bisa tersesat dalam jejaring algoritme yang memperkuat bias gender, membungkus kebencian dalam konten yang seolah memotivasi. 

Akun-akun seperti @gerakanpria, @jalan.hidup.seorang.pria, dan @pesan.pria menyebarkan narasi yang berpusat pada luka laki-laki, tapi justru mengarahkannya pada kebencian terhadap perempuan. Inilah bahaya diam-diam yang menghantui orang tua seperti Zaenal. 

Penelitian Muntaha Hermawan dari IAIN Ponorogo bertajuk “Pengawasan Orang Tua terhadap Penggunaan Media Sosial Anak” menekankan pentingnya keterlibatan orang tua. Menurutnya, anak bisa menembus lautan media sosial setiap menit tanpa tahu apakah informasi yang mereka serap membawa muatan positif atau justru berbahaya. 

Anak laki-laki, dalam hal ini, lebih berisiko. Ruang sosial mereka kerap menuntut tampil maskulin, tangguh, dan tidak boleh “lemah”—termasuk dalam merespons penolakan. Ketika tak mampu mengelola emosi, kekerasan bisa menjadi pelarian. Jamie Miller adalah gambaran ekstrem dari realitas itu:Anak lelaki yang tidak diajarkan cara menghadapi penolakan. 

Tangkapan layar dari akun instagram @pesan.pria

Dalam “Maskulinitas pada Budaya Kejahatan Geng Klitih”, Chisa Belinda Harahap dkk dari UIN Sunan Gunung Djati mengungkapkan, maskulinitas hegemonik memainkan peran besar dalam kekerasan anak laki-laki. Kekerasan bukan soal ekonomi, tapi tentang mempertahankan dominasi sosial dan identitas laki-laki. 

Baca Juga : Di Sini Incel, di Sana Incel: Pengalamanku Seminggu Selami Komunitas Pembenci Perempuan 

Pengasuhan Ideal dan Ayah yang Hadir 

Di tengah kekhawatiran yang tumbuh, Zaenal memilih untuk hadir. Ia dan istrinya secara aktif berdiskusi soal pengasuhan. “Saya bilang ke anak, semua hal tidak selalu sejalan dengan keinginan kita. Kalau ditolak asmara, ya biasa saja,” ujarnya. 

Apa yang dilakukan Zaenal merefleksikan pola asuh demokratis—pola yang menurut Sintia Yapalin dkk dari Universitas Khairun paling efektif untuk anak yang bisa diajak berdiskusi. Dalam penelitiannya, ia membagi tiga pola utama: Otoriter (penuh larangan, minim penjelasan), permisif (bebas tanpa batas), dan demokratis (dialogis dan partisipatif). 

Sayangnya, tak semua orang tua punya kesadaran serupa. Di era media sosial, pola pengasuhan kerap ditentukan oleh konten viral, bukan kebutuhan anak itu sendiri. Penelitian Intiha’ul Khiyaroh dari Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah menemukan, banyak orang tua justru kebingungan karena menjadikan konten parenting di media sosial sebagai standar tunggal. Ketika realitas anak tidak sesuai dengan konten yang ditonton, orang tua bisa frustrasi atau bahkan menyerah. 

Tak jarang pula, kehadiran orang tua tergantikan oleh gawai. Bukan karena malas, tapi karena tidak tahu harus mulai dari mana. 

Baca Juga : Pak, Bu, Mendengar Anak Bukan Tanda Kelemahan Orang Tua

Menjauhkan Anak Lelaki dari Kebencian, Harus Mulai dari Mana? 

Gun Gun Siswandi, pegiat literasi media, menyebut tantangan utama saat ini adalah banjir informasi. Anak-anak dihadapkan pada konten yang begitu masif, cepat, dan tidak semuanya sehat. “Kurangnya pemahaman membuat anak dan remaja menggunakan internet secara tidak bijak, bahkan terpapar konten berbahaya,” tulisnya di kanal YouTube Ditjen Komunikasi dan Media. 

Ia menekankan pentingnya literasi digital sejak dini. Internet, katanya, sudah menjadi bagian dari hidup anak-anak. Maka pembangunan infrastruktur digital harus diimbangi dengan regulasi, edukasi, dan kesiapan orang tua serta guru dalam mendampingi mereka. 

Zaenal memilih untuk tidak menunggu sistem bekerja sendiri. Ia memulai dari rumah: Percakapan, perhatian, kehadiran. Bagi banyak anak laki-laki, itu bisa menjadi pagar pertama dari ideologi kebencian yang tumbuh diam-diam. 

Karena menjaga anak dari menjadi Jamie Miller bukan hanya soal mengawasi gawai, tapi soal mengajarkan mereka bahwa cinta bukan soal memiliki, ditolak bukan berarti kalah, dan menjadi laki-laki tak harus memusuhi perempuan. 

Ilustrasi oleh Karina Tungari

Artikel ini diproduksi oleh Magdalene.co sebagai bagian dari kampanye #WaveForEquality, yang didukung oleh Investing in Women, inisiatif program Pemerintah Australia.  

Series artikel lain bisa dibaca di sini.



#waveforequality
About Author

Ahmad Khudori

Ahmad Khudori adalah seorang anak muda penyuka kelucuan orang lain, biar terpapar lucu.