5 Buku Penulis Queer yang Wajib Dibaca di ‘Pride Month’

Bagi komunitas queer, Juni bukan sekadar bulan biasa. Ini adalah momen di mana keberagaman identitas dan cinta dirayakan secara terbuka. Juni juga jadi waktu yang tepat untuk menyorot para penulis queer. Khususnya mereka yang enggak hanya menulis dari pengalaman pribadi, tapi juga menyuarakan kejujuran, kerentanan, dan keberanian hidup di luar norma-norma patriarki heteroseksual.
Lewat karya mereka, para penulis queer membuka jendela menuju kehidupan yang selama ini kerap diabaikan, bahkan disingkirkan seperti dosa yang tak terampuni. Karya-karya ini bukan sekadar representasi, tapi juga menjadi ruang agar queer readers merasa terlihat dan dipahami. Di saat yang sama, mereka menantang pembaca non-queer untuk meninjau ulang pandangan tentang cinta, tubuh, dan eksistensi manusia.
Dalam dunia yang masih kerap tak adil, tulisan-tulisan ini menumbuhkan empati, membuka dialog, dan merayakan keberagaman dengan cara yang jujur dan tak tergantikan. Berikut lima buku dari penulis queer yang wajib kamu baca—bukan hanya karena siapa yang menulisnya, tapi karena dunia terasa lebih utuh lewat kisah-kisah ini:
1. Gender Queer: A Memoir – Maia Kobabe
Memoar grafis ini adalah pintu masuk yang lembut sekaligus radikal ke dalam pencarian identitas seorang nonbiner dan aseksual. Tak heran jika Gender Queer menjadi salah satu buku paling banyak dilarang di Amerika Serikat pada 2021—dan justru karena itu, makin penting untuk dibaca.
Kobabe menulis dengan keberanian yang membebaskan banyak orang yang belum punya bahasa atau label untuk memahami dirinya sendiri. Lewat visual hangat dan narasi jujur, Kobabe mengangkat isu-isu yang kerap dianggap tabu: menstruasi menyakitkan, dismorfia tubuh, hingga tantangan coming out di lingkungan konservatif.
Lebih dari kisah personal, memoar ini menyentuh kompleksitas relasi dengan keluarga, teman, institusi pendidikan, hingga sistem kesehatan. Semuanya dituturkan dengan lembut namun tajam, membuat pembaca larut dalam pengalaman yang jarang dibicarakan—apalagi divisualisasikan dengan begitu intim.
Baca juga: ‘We Have Always Been Here’: Saya Queer, Saya Muslim, dan Saya Bangga
2. Happy Stories, Mostly – Norman Erikson Pasaribu
Norman adalah angin segar dalam sastra Indonesia—penulis queer pertama dari Indonesia yang menembus daftar panjang International Booker Prize 2022. Happy Stories, Mostly adalah kumpulan cerita pendek yang menggabungkan fiksi ilmiah, mitologi Batak, absurditas Kafka, dan politik identitas queer dalam satu lanskap naratif yang unik.
Jangan tertipu oleh judulnya. Di balik janji kisah “bahagia,” Norman justru mengajak pembaca menyelami luka dalam, harapan yang rapuh, dan cinta yang berani. Cerita-ceritanya bicara tentang keterasingan dan kehilangan, tapi juga ketahanan dan eksistensi queer yang terus mencari makna di dunia yang menolak.
Perspektif poskolonial dalam kumpulan ini menjadikannya lebih dari sekadar pengakuan identitas. Ini adalah kritik terhadap warisan kolonialisme, agama, dan nasionalisme yang mendikte cinta, tubuh, dan kebenaran. Struktur nonlinier dan bahasa eksperimental membuat tiap cerita terasa seperti puisi panjang yang menghantui.
Baca juga: 5 Novel Indonesia Bertema LGBT yang Wajib Dibaca
3. Di Semesta Ini Kita Pernah Gemilang (On Earth We’re Briefly Gorgeous) – Ocean Vuong
Ocean Vuong menulis novel ini sebagai rangkaian surat dari seorang anak laki-laki kepada ibunya yang buta huruf—surat yang tak pernah dikirim, tapi memuat seluruh lapisan kehidupan yang tak mampu diucapkan. Di dalamnya, Vuong merangkai pengalaman queer, trauma generasi, dan cinta yang rumit dalam keluarga imigran asal Vietnam.
Relasi ibu-anak di novel ini kompleks karena penuh cinta sekaligus kekerasan. Sang ibu, dibentuk oleh trauma masa lalu, mewariskan bentuk kasih yang keras dan membingungkan. Sementara sang anak—yang queer—mencoba memahami dan mencintai di tengah keterasingan yang diam-diam diwariskan padanya.
Identitas queer dalam novel ini bukan hanya soal siapa yang dicintai, tapi perjuangan menciptakan ruang untuk bisa ada. Ketika “Little Dog” menulis, ia tak hanya memperkenalkan dirinya, tapi juga menjangkau ibunya dengan bahasa luka, pengampunan, dan kasih yang tak selalu harus dipahami.
4. Last Night at the Telegraph Club – Malinda Lo
Novel coming-of-age ini menempatkan kisah queer dalam latar sosial-politik Amerika era 1950-an yang penuh paranoia dan diskriminasi. Lily Hu, remaja Tionghoa-Amerika, mulai menyadari perasaan terhadap Kathleen Miller, teman sekolahnya. Namun ketertarikan itu bukan sesuatu yang bisa ia rayakan secara terbuka.
Lily hidup dalam keluarga konservatif dan masyarakat yang mencurigai orang Tionghoa sebagai “ancaman komunis.” Di tengah era McCarthyisme, menjadi queer berarti kehilangan segalanya—rumah, kewarganegaraan, bahkan keluarga.
Hasrat queer Lily bukan hanya soal cinta, tapi juga eksistensi dan keberanian bertahan dalam dunia yang menolak keberadaannya. Malinda Lo merangkai narasi ini dengan empati mendalam dan atmosfer sejarah yang kental, menjadikan kisah Lily terasa nyata dan relevan hingga hari ini.
Baca juga: Ulasan ‘Laila Tak Pulang’: Ketika Penerimaan Queer Saja Tak Cukup
5. Zami: A New Spelling of My Name – Audre Lorde
Dalam Zami, Audre Lorde menciptakan genre baru yang ia sebut biomythography—perpaduan otobiografi, mitos, dan sejarah hidupnya sebagai perempuan kulit hitam lesbian di Amerika abad ke-20.
Lorde tak memisahkan kequeerannya dari ras, kelas, dan gender. Sebaliknya, ia menunjukkan bagaimana semuanya saling terkait dan membentuk kehidupannya. Kisah cinta dan relasi dalam Zami bukan hanya soal seksualitas, tetapi juga tentang perlawanan, solidaritas, dan cara mencintai diri sendiri di dunia yang tak menyediakan ruang aman bagi perempuan queer kulit hitam.
Lorde menulis dengan kejujuran dan kelembutan yang revolusioner. Ia memperlihatkan bahwa menjadi queer adalah keberanian untuk hidup sesuai kebenaran tubuh dan jiwa, meski itu berarti berjalan sendirian. Namun juga dalam relasi antarperempuan, ia menemukan jaringan kasih dan dukungan yang membebaskan.
