Culture History Screen Raves

Dokumenter ‘State of Silence’: Saat Negara Gagal Melindungi Jurnalis

Dokumenter ‘State of Silence’ gambarkan ancaman yang dihadapi jurnalis di Meksiko: Dibungkam negara, dikejar penjahat teroganisir.

  • May 2, 2025
  • 6 min read
  • 826 Views
Dokumenter ‘State of Silence’: Saat Negara Gagal Melindungi Jurnalis

Tanggal 3 Mei diperingati sebagai Hari Kebebasan Pers Sedunia. Peringatan ini memiliki makna penting, yaitu mengingatkan masyarakat mengenai pentingnya pers yang bebas dan independen, serta membuka mata terhadap bahaya yang dihadapi jurnalis.

Salah satu negara yang konsisten jadi salah satu tempat paling berbahaya bagi jurnalis adalah Meksiko. Article-19, organisasi yang fokus pada isu kebebasan pers, mencatat, sejak 2000, sebanyak 171 jurnalis dibunuh di Meksiko karena pekerjaan mereka. Pada 2024, lembaga yang sama melaporkan bahwa 98 persen kasus itu tidak terselesaikan. 

Bagi aktor Diego Luna, mirisnya nasib jurnalis di Meksiko menginspirasi untuk memproduksi dokumenter State of Silence. Ketika diminta komentarnya oleh New York Times, ia berharap agar film ini dapat membantu publik memahami bahwa kekerasan yang dilakukan kelompok kejahatan terorganisir, yang dipicu oleh korupsi di berbagai level pemerintahan, telah membungkam pemberitaan media.

Baca juga: Arti Ingatan dan Kematian Penyintas 1965 dalam Dokumenter ‘Eksil’

State of Silence, yang telah tayang perdana di Netflix Oktober 2024, bukanlah dokumenter biasa. Film ini menyuguhkan pengalaman empat jurnalis yang telah menghadapi berbagai bentuk ancaman tetapi tetap menjalankan profesinya. 

Liputan Berbahaya 

Film ini dibuka dengan adegan Jesus Medina, seorang reporter radio, yang tengah mewawancarai penebang liar pada suatu malam di hutan negara bagian Morelos. Adegan ini seolah ingin menunjukkan bahwa meskipun berisiko, Jesus tetap meliput isu yang menjadi fokusnya, lingkungan hidup. 

Pada 2017, Jesus dibuntuti dua orang tak dikenal ketika mengendarai sepeda motornya. Setelah kejadian itu, ia memutuskan untuk meninggalkan rumahnya sementara waktu. 

Jesus bukan satu-satunya jurnalis yang terpaksa meninggalkan kediamannya. Pasangan suami istri Juan de Dios Garcia Davish dan Maria de Jesus Peters pindah dari negara bagian Chiapas menuju Amerika Serikat setelah mendapatkan ancaman via telepon dari orang yang mengaku sebagai petinggi kartel narkoba Los Zetas.  

Sebelum pindah, Juan kerap mewawancarai migran yang transit di Chiapas untuk menuju negeri Paman Sam demi mencari kehidupan lebih baik. Siapa yang menyangka ia justru akan mengalami hal yang sama? 

Baca juga: Pengguna Internet Meningkat, tapi Kebebasan Pers Terancam: Kita Tetap Butuh Jurnalisme Baik

“Dan kini saya menjadi salah satu dari para migran itu, mengetuk pintu sebuah negara di tempat yang harus saya tuju, karena di sanalah saya percaya bisa hidup dengan damai. Di Meksiko, saya tidak bisa lagi mendapatkan itu,” kata Juan. 

Bagi sebagian orang, mengungsi mungkin menjadi satu-satunya opsi. Namun, bagi Maria, ini adalah sebuah dilema. Sambil menangis, Maria mengingat bagaimana ia tak dapat menemani ibunya yang menderita kanker ganas. 

Sementara itu, jurnalis lepas Marcos Vizcarra, mengalami ancaman ketika meliput pertikaian antara aparat keamanan dan kartel narkoba di Culiacan, ibukota negara bagian Sinaloa. 

Seorang lelaki tidak dikenal, yang ia curigai sebagai anggota kartel narkoba, menghentikannya sambil menodongkan senjata dan mencuri mobilnya. Tak lama kemudian, ketika pergi ke sebuah hotel lokal untuk berlindung, sekelompok laki-laki masuk ke dalam gedung dan mengancamnya dengan senjata. 

Dengan nada ironis, Marcos mengakhiri cerita pengalaman traumatisnya dengan kata-kata, “Kesalahan terburuk saya adalah mencoba melaporkan apa yang sedang terjadi. Melakukan pekerjaan saya adalah kesalahan terburuk saya.”

Percuma Lapor Otoritas 

Aparat penegak hukum diharapkan jadi pihak yang dapat diandalkan untuk mengungkap kekerasan terhadap jurnalis. Namun, perwakilan Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ) di Meksiko, Jan-Albert Hootsen, menuturkan bahwa institusi yang seharusnya melindungi seringkali jadi pihak berseberangan.

“Sulit sekali bagi jurnalis untuk melaporkan apa yang terjadi pada mereka. Jika mereka diancam dan mengadukannya ke otoritas setempat, mereka tidak tahu apakah otoritas itu terlibat, atau bahkan sering kali mereka tahu bahwa pengancam adalah polisi munisipal, polisi penyidik federal, atau polisi negara bagian,” ujar Jan-Albert. 

Jesus adalah salah satu jurnalis yang frustrasi dengan hasil investigasi aparat penegak hukum. Setelah penyelidikan resmi terhadap kasusnya tidak membuahkan hasil, ia melakukan investigasi sendiri. Hasilnya, ia mendapatkan pengakuan dari seseorang yang berada di pihak pengancam, yang bercerita tentang siapa yang dibayar untuk mengancamnya dan bagaimana ancaman itu direncanakan. 

Selain aparat penegak hukum yang tak dapat dipercaya, kinerja Mekanisme untuk Perlindungan Pembela Hak Asasi Manusia dan Jurnalis, yang dibentuk oleh pemerintah federal Meksiko pada 2012, juga diragukan para jurnalis. 

Baca juga: Kebebasan Pers dan Berekspresi Terancam Pasca-Pemilu 2024?

Menurut Jesus, yang pernah terdaftar dalam program perlindungan ini, mekanisme ini tidak berjalan maksimal. Kendati jurnalis dapat direlokasi ke tempat yang dianggap lebih aman, mekanisme ini tak punya protokol untuk memastikan keamanan jurnalis yang tidak lagi berada dalam program perlindungan. 

Parahnya lagi, masuk dalam mekanisme perlindungan belum tentu menjamin keselamatan jurnalis. Laporan yang disusun oleh CPJ dan Amnesty International Mexico berjudul “No One Guarantees My Safety”:The urgent need to strengthen Mexico’s federal policies for the protection of journalists” (Maret 2024) mengungkap bahwa sejak 2017, telah ada 8 jurnalis dibunuh ketika berada dalam program perlindungan ini. 

Lawan Ketakutan Demi Kebenaran 

Kendati menghadapi risiko yang sangat besar, jurnalis di Meksiko terus konsisten menjalankan profesinya. Jesus, misalnya, menggarisbawahi keputusannya untuk kembali bekerja dengan prosedur yang lebih ketat.

“Saya harus menerapkan semua tindakan perlindungan terhadap diri saya. Jadi, jika ambang batas risiko saya mengatakan, ‘Terlalu tinggi, jangan pergi,’ saya tidak akan pergi. Itulah yang menjadi sensor saya sekarang,” jelasnya.  

Marcos, yang tinggal kota dengan pengaruh kartel narkoba yang sangat kuat, melanjutkan pekerjaannya meski selalu dibayangi potensi ancaman kekerasan. 

“Saya yakin bahwa Culiacan, terlepas dari banyaknya masalah, dapat menjadi kota yang lebih baik karena kami dapat menjalani kehidupan lebih baik secara bersama-sama, dan saya sangat yakin bahwa anak-anak saya layak mendapatkan dunia yang lebih baik. Dan jika yang saya lakukan membantu membuat perubahan, saya akan terus melakukannya,” katanya. 

Bagi Maria, yang sudah kembali ke Meksiko dan bekerja, rasa takut tetap ada. Namun, sikapnya tidak berubah sedikit pun. 

“Saya ingin terus melanjutkan hal ini, saya ingin terus mempraktikkan jurnalisme yang mengungkap ketidakadilan, yang memberikan suara bagi mereka yang tidak dapat bersuara. Saya ingin terus mempraktikkan jurnalisme dengan penuh semangat dan kasih sayang. Saya tahu ada banyak ketakutan, tetapi saya masih menyimpan sifat pemberontak di dalam hati saya,” tuturnya

Jan-Albert dari CPJ menekankan banyaknya jurnalis yang masih memegang teguh pendiriannya terlepas dari risiko yang membayangi mereka. 

“Banyak jurnalis yang saya temui tetap menunjukkan semangat yang tinggi, karena bagi mereka, jurnalisme bukan sekadar pekerjaan melainkan sebuah panggilan. Kita bicara tentang mereka yang berjuang dengan keyakinan kuat untuk mengungkap kebenaran di balik penghilangan paksa, migrasi, hingga korupsi yang dilakukan oleh pemerintah,” ujarnya.

Di pengujung film, ada dua pernyataan inti yang ingin disampaikan pembuat film ini. Pertama, Carmen Aristegui, salah satu reporter investigasi paling disegani di Meksiko, mengatakan, ‘Ketika Anda membunuh seorang jurnalis, Anda membunuh hak masyarakat untuk mendapatkan informasi.’ Kedua, Jesus menegaskan bahwa ‘jurnalisme harus menghadirkan ketidaknyamanan’. 
Carmen memperingatkan bahaya pembungkaman terhadap pers, Jesus menegaskan fungsi jurnalisme sebagai ‘pengganggu status quo’. State of Silence adalah sebuah apresiasi atas keberanian para jurnalis yang memilih untuk menolak diam demi mengungkap kebenaran di tengah kondisi paling sulit sekalipun.



#waveforequality
About Author

Wulan Kusuma Wardhani

Wulan Kusuma Wardhani adalah jurnalis lepas yang berbasis di Jakarta. Ia berminat pada berbagai isu, tetapi fokus menulis mengenai HAM dan Gender.

Leave a Reply