June 16, 2025
Culture History Opini Screen Raves

Cara Anak Kecil Jatuh Cinta dalam Media: Bingkai Predatorial  dalam ‘I Love You, Om…’

Tahun depan, usia film ini 20 tahun. Kegegerannya kala dirilis dan kehebohan yang ia tinggalkan dalam sejarah sinema kita, menarik untuk dibahas.

  • June 9, 2025
  • 7 min read
  • 558 Views
Cara Anak Kecil Jatuh Cinta dalam Media: Bingkai Predatorial  dalam ‘I Love You, Om…’

Kalau media sosial sudah sepopuler sekarang di tahun 2006, keberlangsungan hidup I Love You, Om… di bioskop kemungkinan besar bakal beda. Belum sempat naik layar, bisa-bisa cancel culture sudah melakukan tugasnya sejak teaser pertama dilepas ke publik. Saya bisa membayangkan, netizen parenting, psikologi perkembangan anak, sampai fans Rachel Amanda, akan kompak merapatkan barisan menghujat film ini.

Dan memang, film ini bukan sekadar cerita cinta yang tidak lumrah. Ia menyuguhkan kisah anak perempuan 12 tahun yang jatuh cinta pada pria dewasa berusia 30-an. 

Namun, bukan di situ aspek problematik utamanya. Yang bikin film ini ngeri, adalah bagaimana kamera memotret kisah ini. Alih-alih memihak sudut pandang anak, film ini justru memperlakukan Dion—si karakter anak perempuan—sebagai objek tatapan. Dan keputusan artistik itu, mempunyai implikasi yang berbahaya.

Kamera yang Intrusif

I Love You, Om… mengisahkan Dion (Rachel Amanda), anak orang kaya yang tidak mendapatkan perhatian penuh dari ibunya (Ira Wibowo), orang tua tunggal yang ambisius mengejar karier. Dari caranya berkomunikasi dan membawa diri, terlihat bahwa Dion adalah tipe anak yang memiliki level intelegensi lebih tinggi dibanding sebayanya. 

Tempramental dan kerap cekcok dengan ibunya di rumah, ia pun bertemu dengan Gaza (Restu Sinaga), pegawai laundry yang jadi objek cinta pertamanya. Dion-–kendati pintar-–tetaplah anak-anak yang masih lugu. Ia pun tanpa ragu mulai menunjukkan perasaannya pada Gaza. 

Berkebalikan dengan Dion, Gaza adalah pria dewasa yang cenderung naif (kalau tidak bisa dikatakan tolol) dan memiliki rasa kesadaran sekitar yang buruk. Ia gagal mengidentifikasi bahwa bentuk perhatian Dion adalah manifestasi dari cinta, atau minimal naksir. Gaza pun membuka jalan atas semua manuver yang diluncurkan Dion agar bisa selalu berdekatan dengannya. 

Sampai di sini, I Love You, Om… masih bisa dipahami sebagai drama anak-anak yang mencoba mengangkat rasa cinta pertama yang kompleks. Tapi semua berubah ketika kita menyadari apa yang kameranya lakukan sebagai jendela penonton dalam menyaksikan kisah ini.

Salah satu adegan yang bikin menarik napas panjang adalah saat Dion menghampiri Gaza di rumah susun tempat ia tinggal. Dion berjalan memasuki frame saat kamera tengah memperlihatkan Gaza menjemur pakaian. Saat Dion sampai ke titik Gaza berada, ia membalikkan tubuhnya menghadap kamera. Kamera pun melakukan tilt-up dari kaki hingga kepala; memberikan penekanan pada busana yang Dion kenakan, berupa setelan serba putih yang terdiri dari rok ringan di atas lutut dan atasan berbahan renda. Komposisi ini adalah teknik yang lazim digunakan untuk memperkenalkan karakter perempuan dewasa—bukannya anak 12 tahun. Dan ini bukan kejadian sekali dua kali. Sepanjang film, framing terhadap Dion konsisten memperlakukan tubuhnya sebagai objek pandang.

Adegan ulang tahunnya pun tak luput menunjukkan bagaimana kamera dalam film ini begitu intrusif. Dion, tampil dalam gaun putih berpotongan rendah, terlihat tengah cemas menantikan kedatangan Gaza. Dua temannya pun datang menghampiri sembari menggoda: “Seksi banget lo, Ion.” Dion pun merespons dengan riang: “Iya dong, mau nyambut pacar, gitu loh!”

Secara naratif, cukup masuk akal jika anak-anak yang tumbuh di pertengahan 2000-an, saat akses dan eksposur berbagai jenis media sudah mudah, untuk mengucapkan dialog seperti itu. Tapi, yang jadi persoalan adalah sudut pandang kamera yang dipakai dalam membingkai ketiganya berdialog. Percakapan ini ditangkap dari jauh, berjarak, dan punya nuansa voyeuristic, menyerupai sudut pandang seseorang yang tengah yang mengintip orang lain dari jauh. 

Implikasi dari pemilihan framing ini adalah, alih-alih memperlihatkan bahwa mereka adalah anak-anak yang berusaha terlihat dewasa, film ini justru memperlakukan mereka seolah memang dewasa—dan inilah yang bikin pengalaman menontonnya sangat tidak nyaman.

Menurut Claire Sisco King dalam “The Male Gaze in Visual Culture”, kamera dalam film bukan alat netral. Ia bisa menjadi tatapan seksual yang mendominasi, terutama terhadap tubuh perempuan. Ketika teknik yang sama diterapkan pada karakter anak-anak, kita sedang masuk ke wilayah cinematic predation—atau tatapan predator dalam estetika.

Narasi Cinta Jadi Problem Representasi

Disutradarai oleh Widy Wijaya dan diproduseri oleh Jeremias Nyangoen (yang kelak menulis dan menyutradarai Women from Rote Island), film ini mungkin dimaksudkan sebagai potret polos cinta pertama. Tapi intensi ini terdistorsi oleh tone yang tidak konsisten dan orientasi naratif yang ke mana-mana. 

Baca juga: ‘Trigger Warning’, Kekerasan Seksual, dan ‘Women From Rote Island’

Alih-alih membangun kedalaman karakter Dion—anak yang mencari sumber kasih sayang dari tempat di luar keluarga inti—film malah sibuk dengan subplot yang membuyarkan tone utama.

Film memperkenalkan Nayla (Karenina), mantan kekasih Gaza yang masih cinta dan memaksa ingin rujuk dengannya. Subplot yang melibatkan Nayla, membawa unsur ketegangan yang tidak bisa lebur secara natural dengan plot utama Dion. Di satu titik, terungkap bahwa Nayla punya relasi dengan perempuan lain, tengah bergelut dengan kebangkrutan, dan berujung membunuh seorang fotografer (Mike Muliardo).

Di paruh akhir, film berganti gigi untuk fokus pada Nayla, dan seolah lupa untuk melakukan eksplorasi psikologis Dion. Apa yang sebenarnya dirasakan Dion? Mengapa ia bisa begitu yakin dengan perasaannya? Kenapa ia tidak punya support system lain? Semua pertanyaan itu tergilas oleh estetika dramatis yang terlalu menekankan sensualitas visual daripada kedalaman emosi.

Film ini punya potensi untuk bisa bekerja lebih baik, jika menggunakan sudut pandang subjektif dari Dion. Dengan begitu, penonton bisa punya akses masuk ke dunia batin Dion, memahami rasa kesepiannya, dan melihat Gaza dari matanya. Tapi yang terjadi adalah sebaliknya: Kamera berdiri di luar Dion, menatapnya dari kejauhan, memposisikannya sebagai objek yang pasif. Dan saat film mengungkap bahwa Gaza pun ternyata memiliki rasa cinta pada Dion—romantis, bukan kebapakan maupun kawan—yang muncul justru perasaan resah, jijik, dan ketidaknyamanan.

Persis seperti yang disampaikan oleh M. Bartlett dalam artikelnya “Sex Sells: Child Sexualization and the Media”: ketika media menggambarkan tubuh anak dengan kode dan bahasa visual yang biasa digunakan untuk dewasa, maka yang dihasilkan bukan empati, melainkan seksualisasi sebagai komoditas.

Cinta Diatur Kamera yang Tidak Netral

Jika direfleksikan, narasi tentang perempuan muda (atau bahkan anak perempuan) yang jatuh cinta pada pria dewasa adalah bagian dari cerita besar masyarakat kita. Sejak kecil, perempuan didorong untuk menyukai “yang lebih tua”—karena katanya lebih dewasa, lebih siap, lebih mapan. Tapi ketika perempuan dewasa balik mencintai pria yang lebih muda, narasinya langsung berubah: “Gak tahu diri”, “Pengen ngasuh apa pacaran?”, dan sebagainya.

Apa yang terjadi pada Luna Maya dan Maxime Bouttier bisa jadi referensi segar. Meski keduanya dewasa dan legal, komentar publik tentang perbedaan usia mereka bisa dibilang sama hebohnya dibandingkan resepsi pernikahan mereka sendiri.

Baca juga: Selamat untuk Luna Maya, Antitesis dari Mimpi Cinderella

Narasi ini bukan cuma produk budaya, tapi juga hasil dari tatapan yang terus direproduksi, hingga sisi problematisnya tergerus dan jadi sesuatu yang lazim. Kamera, sinetron, komik, dan bahkan lagu cinta semua ikut membentuk logika patriarki ini. Dan I Love You, Om… memperlihatkan bagaimana logika itu bisa bergulir ke arah yang lebih gelap—sampai batas etika yang kabur.

Rob Cover dalam The Naked Subject menjelaskan bahwa anak-anak sering kali diperlakukan sebagai objek yang polos tapi seksual. Tergantung bagaimana konteks visual menyusunnya. Dan dalam film ini, konteks visualnya jelas tidak berpihak pada kepolosan. 

I Love You, Om… bukan hanya film yang gagal memahami anak kecil. Ia adalah studi kasus tentang bagaimana media bisa secara tidak sadar—atau justru sangat sadar—mengabadikan pandangan predator dalam bahasa visual via pilihan artistik tertentu.

Kamera bukan sekadar alat perekam. Ia adalah pilihan, dan setiap pilihan visual membawa konsekuensi etisnya masing-masing. Maka, ketika kamera memilih untuk membingkai tubuh anak perempuan dengan gaya yang biasa dipakai untuk menampilkan sensualitas perempuan dewasa, kita harus bertanya: Ini fiksi, atau fantasi seseorang yang kehilangan kompas moralnya?Mungkin benar kata Gaza, kalau kadang cinta itu buta. Tapi kamera, seharusnya tidak.



#waveforequality
About Author

Catra Wardhana

Peneliti dan publisis yang berbasis di Yogyakarta. Ia menyelesaikan pascasarjana kajian film di University of Edinburgh. Di sela waktu menggarap berbagai pekerjaan paruh waktu, ia suka berburu lotek enak dan bermain bersama dua keponakannya.