Menyelami Fakta Inses, Topik Obrolan Grup Facebook ‘Fetish Sedarah’

Belakangan, kita dikejutkan dengan penemuan grup komunitas Facebook, “Fetish Sedarah”. Dari hasil tangkapan layar warganet ditemukan, ada percakapan dan foto-foto soal hubungan seksual sedarah atau inses di sana. Beberapa unggahan bahkan menyertakan foto anak atau saudara kandung. Grup Facebook itu sendiri memiliki anggota lebih dari 30 ribu orang.
Setelah viral, grup Facebook itu sempat mengubah nama menjadi “Suka Duka”. Namun, tak lama berselang, melansir Detik.com, grup ditutup permanen lantaran mendapat perhatian dari Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi). Temuan Kemkomdigi, setidaknya terdapat 30 tautan lain yang terafiliasi dengan grup itu.
“Sampai kemarin kami sudah menemukan 30 link yang kontennya serupa. Kami sudah berkoordinasi dengan pihak Meta untuk proses take down dan juga bersama dengan Polri untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut,” terang Alexander Sabar, Direktur Jenderal Pengawasan Ruang Digital Kemkomdigi kepada Detik.com (17/5).
Baca juga: #MeTooInceste: Pelajaran dari Skandal Inses di Perancis
Inses adalah Kekerasan Seksual
Inses sendiri merupakan hubungan seksual antara orang-orang yang memiliki hubungan darah atau saudara dekat. Berdasarkan definisi Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), inses adalah pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat. Sebab, korban mengalami ketidakberdayaan mutlak saat berhadapan dengan pelaku yang punya relasi kuasa timpang dalam tatanan keluarga.
Komnas Perempuan juga menyebutkan, terdapat tiga jenis kekerasan seksual lewat hubungan sedarah (inses). Di antaranya, parental incest, yakni hubungan seksual antara orang tua dan anak, sibling incest, yaitu hubungan antara saudara kandung, dan family incest, yakni hubungan seksual yang dilakukan oleh kerabat dekat yang punya hubungan sedarah.
Bukan Kasus Baru
Di Indonesia, sebenarnya inses bukanlah bentuk kekerasan seksual baru. Masih dari catatan Komnas Perempuan, kasus-kasus inses yang diadukan sampai 2021 sendiri meliputi beberapa bentuk kekerasan seksual, termasuk pemerkosaan, pencabulan, sampai pemaksaan kontrasepsi.
Salah satu kasus yang sempat mendapat perhatian besar dari Komnas Perempuan adalah pemerkosaan inses yang terjadi di Rejang Balong, Bengkulu pada 2024 lalu. Korban yang pada saat itu berusia 16 tahun diperkosa oleh kakak kandungnya sendiri yang berusia 21 tahun. Dari laporan Kompas, korban bahkan melahirkan anak dari kekerasan yang dialaminya.
Di negara lain seperti Amerika Serikat, kasus inses juga jadi salah satu bentuk kekerasan seksual yang mendapat banyak perhatian. Pasalnya, berdasarkan laporan Statista Research Department sepanjang 1980 sampai 2022, tercatat 15 persen keluarga di Amerika Serikat dilaporkan memiliki peristiwa inses dalam keluarga. Dari riset tersebut disebutkan, sekitar 46 persen korban pemerkosaan anak diperkosa oleh seseorang di dalam keluarganya sendiri. Namun, nyatanya hanya 20 persen korban inses yang melapor kejahatan tersebut kepada penegak hukum.
Baca juga: Mengapa Korban Inses Sulit Melapor dan Keluar dari Tindak Kekerasan
Inses dan Kelainan Genetika
Selain merupakan kekerasan pada anak dan memuat relasi kuasa yang timpang, terdapat beberapa alasan lain yang jadi penyebab mengapa inses dilarang saat ini. Dalam “Inbreeding, Incest, and the Incest Taboo: The State of Knowledge at the Turn of the Century” (2004), Arthur Wolf menyebut risiko kelainan genetik jadi salah satu alasan lain pelarangan hubungan inses. Kelainan ini meliputi kurangnya perkembangan kognitif dan fisik, kelainan organ bawaan, sampai risiko kematian. Secara biologis, risiko tersebut ditentukan pula dengan seberapa dekat hubungan keluarga secara genetik.
Meski begitu, praktik inses dalam pernikahan sebenarnya sempat jadi hal yang biasa di masa lalu. Misalnya di Kerajaan Achaemenid Persia. Dalam tulisan Maria Brosius, “Women in ancient Persia, 559-331 BC” (1996), pernikahan antara anggota keluarga sempat jadi hal yang awam di sana.
Namun sesuai dengan temuan “The Evolutionary Significance of Incest Rules” (1990), inses sudah dianggap tidak relevan karena berdasarkan teori evolusi, manusia memang sudah semestinya menghindari inses lantaran dapat menghambat pertumbuhan individu melalui produksi keturunan yang tidak sempurna.
Bagaimana Hukum Indonesia Mengatur Tindak Pidana Inses?
Dalam praktik penegakan hukum, inses dapat dipidanakan dengan beberapa pasal pidana. Supriyadi Widodo Eddyono, dalam “Tindak Pidana Inses dalam Rancangan KUHP” (2016), menyebutkan tindakan ini dapat dipidana melalui Pasal 294 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Siapa pun yang melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, anak di bawah pengawasannya yang belum dewasa, atau orang yang belum dewasa dalam pemeliharaannya, dapat diancam dengan pidana paling lama tujuh tahun.
Selain itu, lanjut Supriyadi, apabila terjadi pada korban usia anak, kekerasan seksual inses dapat dipidana dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Dalam Pasal 80 A, B, dan C, siapapun yang melakukan hubungan seksual dengan anak di bawah umur, termasuk hubungan seksual dengan anak kandungnya sendiri atau anggota keluarga dekat lainnya, dapat dipidana paling lama 15 tahun.
Dalam aturan perundang-undangan yang mengatur Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), inses pun dapat dipidanakan. Supriyadi menulis, di Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tertera, pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkungan rumah tangga dapat dipenjara paling lama 12 tahun. Lingkungan rumah tangga yang dimaksud sendiri adalah suami, istri, anak, dan juga orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga.
Kekerasan seksual inses belakangan juga dapat dipidanakan melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Menyadur catatan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), pemaksimalan hukuman bagi pelaku dan juga pemenuhan hak korban dapat dilakukan melalui undang-undang ini. Pada Pasal 71 ayat 2, pelaku berkewajiban tetap menanggung hak pendidikan korban, termasuk jaminan kesehatan dan jaminan sosial. Sementara melalui Pasal 16 ayat 2, hakim bisa mencabut hak asuh anak apabila praktek inses dilakukan oleh orang tua korban.
Baca juga: Ada Predator di Gim ‘Online’, Indonesia Darurat Eksploitasi Seksual Anak
Dampak Trauma yang Ditinggalkan
Secara psikologis, terdapat trauma yang dapat dialami oleh korban inses. Mellia Christia, Psikolog dan Dosen Universitas Indonesia menyebutkan, dampak trauma yang ditinggalkan merupakan bentuk trauma yang kompleks. Trauma kompleks yang Mellia maksud sendiri adalah trauma dengan permasalahan yang berlapis. Ekspektasi korban terhadap keluarga yang seharusnya jadi tempat teraman justru berbeda dengan kenyataan.
“Dalam konstruksi yang dibentuk oleh masyarakat melalui value, budaya, dan lain sebagainya, orang terdekat ini kan diharapkan memberikan perlindungan, diharapkan memberikan kasih sayang, dan diharapkan memperlakukan kita dengan baik. Rasa tidak aman itu kemudian menjadi semakin-semakin dobel-dobel karena kan ‘there is no safe place as home’ gitu kan (istilahnya). Namun bahkan at home aja dia udah enggak aman gitu,” jelas Melli kepada Magdalene, (20/5).
Melli menambahkan, secara konsep, trauma yang spesifik dapat dialami oleh korban inses ini dapat disebut sebagai betrayal trauma. Secara tidak langsung, korban yang mengalami perlakuan tidak baik dari keluarganya akan kesulitan dalam menyadari perilaku tipu daya ke depan.
“Efeknya adalah artinya seseorang itu bisa jadi dia enggak sadar loh di lain waktu. Misalnya dia mengalami kekerasan gitu karena dia sudah kena atau dia sudah mengalami trauma di level yang terendah. The betrayed person does not have conscious awareness or memory of betrayal,” pungkas Melli.
