Ada Masalah Struktural di Balik Perempuan Obgyn yang Bias Gender

Della, 27, awalnya tak pernah membayangkan akan berkonsultasi ke dokter spesialis obstetri dan ginekologi (obgyn) laki-laki. Ia merasa tidak nyaman jika vaginanya dilihat dan disentuh oleh lawan jenis—kekhawatiran yang juga dirasakan suami.
Namun pengalaman berkata lain. Setelah dua kali merasa tak dipahami bahkan dihakimi oleh perempuan obgyn, Della beralih ke obgyn laki-laki. Bukan karena ia lebih nyaman, tapi karena tak merasa punya pilihan yang lebih baik.
Kunjungan pertamanya ke obgyn terjadi sebelum menikah. Tepatnya saat Della mengalami keputihan dan merasa panik setelah membaca soal infeksi jamur vagina di internet. Alih-alih tenang, ia justru merasa dipermalukan.
“Dokternya bilang, ‘Emang enggak dirawat?’ Soalnya keputihannya banyak banget, kayak aku enggak memerhatikan (kesehatan dan kebersihan vagina),” cerita Della.
Di pengalaman kedua, ia mendapati dokter yang minim komunikasi. Padahal saat itu, Della dan suaminya tengah menanti anak pertama. Tak banyak informasi diberikan. Ia hanya disarankan agar tetap beraktivitas seperti biasa di trimester pertama. Bahkan saat menyampaikan kekhawatiran, Della merasa di-gaslighting secara medis—keluhannya dianggap berlebihan, bukan ditanggapi secara serius.
“Memang kita perlu aktif nanya, tapi dokter juga perlu inisiatif menjelaskan dengan detail,” ungkapnya.
Pada akhirnya, Della beralih ke obgyn laki-laki. Bukan karena preferensi personal, melainkan akses yang terbatas. Di Karawang, tempat tinggalnya, jumlah dokter perempuan terbatas, dan hampir semua tidak praktik di malam hari atau akhir pekan—waktu di mana Della dan suaminya baru bisa datang.
Baca Juga: Nasib Perempuan Nakes: Terimpit Ketimpangan Gender dan Upah Rendah
Bukan Masalah Personal, tapi Sistemik
Kasus seperti Della bukan sekadar pengalaman individu. Ia mencerminkan bias gender yang sudah tertanam dalam sistem kesehatan—bahkan sejak bangku pendidikan.
Dokter perempuan yang menangani isu kesehatan reproduksi perempuan sering kali justru memproyeksikan pengalaman pribadinya kepada pasien. Hal ini bisa berdampak pada cara mereka memperlakukan pasien—bukan dengan empati, tapi dengan asumsi yang keliru.
Menurut dr. Sandra Suryadana, Founder dan Managing Director Dokter Tanpa Stigma, ketika dokter perempuan tidak memiliki perspektif gender yang inklusif, komunikasi bisa menjadi bermasalah.
“Alasan ini yang membuat perempuan dokter memproyeksikan pengalaman ketubuhan dia dengan pengalaman ketubuhannya pasien, sehingga membuat pasien merasa tidak nyaman.”
Di sisi lain, pasien juga terjebak dalam keterbatasan pilihan karena jumlah obgyn perempuan yang masih sangat minim di Indonesia. Berdasarkan data Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) tahun 2023, dari 5.270 obgyn, hanya 1.810 yang perempuan.
Minimnya jumlah ini berakar dari ketimpangan di pendidikan kedokteran. Perempuan dihadapkan pada banyak pertimbangan saat ingin melanjutkan spesialisasi, mulai dari usia, rencana pernikahan, hingga biaya dan durasi studi. Sementara sistem seleksi pun masih sarat dengan stereotip gender.
“Pertanyaan-pertanyaan itu mungkin enggak ditanyakan pada kandidat laki-laki,” terang dr. Sandra, merujuk pada wawancara seleksi spesialis yang sering kali menyasar aspek personal, seperti status pernikahan atau rencana punya anak.
Baca Juga: Seks Aman Remaja: Minim Edukasi, Terganjal Stigma
Sistem Pendidikan Kedokteran yang Bias Gender
Masalahnya bukan hanya di seleksi. Sistem pendidikan kedokteran juga masih memelihara bias gender, mulai dari kurikulum hingga kebijakan institusi. Dalam Gender Bias in Resident Assessment in Graduate Medical Education: Review of the Literature (2019), peneliti Robert Klein dkk. menemukan bahwa bias gender memengaruhi cara dokter dinilai. Kinerja perempuan sering kali dilihat dari jenis kelaminnya, bukan kompetensinya.
Akibat dari sistem yang bias ini, distribusi dokter spesialis pun timpang. Data Kementerian Kesehatan tahun 2022 mencatat, dari 34 provinsi, hanya 12 yang memenuhi rasio ideal ketersediaan dokter spesialis obgyn: 0,02 per 1.000 penduduk. Jakarta menyerap hampir 20 persen, sementara provinsi lain seperti Jawa Timur dan Jawa Barat hanya sekitar 12 persen. Artinya, banyak perempuan di luar kota besar tidak punya pilihan, bahkan untuk urusan krusial seperti kesehatan reproduksi.
“Bicara soal pilihan dan preferensi itu hanya bisa dimiliki oleh masyarakat atau pasien-pasien yang memang punya privilege jadi bisa memilih dokternya,” ujar dr. Sandra.
Ini pula yang menjelaskan pengalaman Della. Di Karawang, ia hanya bisa menyesuaikan diri dengan jadwal dan dokter yang tersedia, bukan memilih berdasarkan kenyamanan atau preferensi gender.
Mengubah dari Akar: Pendidikan yang Lebih Inklusif
Untuk mengurai masalah ini, dr. Sandra menekankan pentingnya perubahan sistem pendidikan kedokteran agar lebih inklusif. Salah satunya dengan mendorong tenaga medis yang sudah punya perspektif gender untuk berbagi lewat media sosial, atau menyisipkan sudut pandang tersebut saat mengajar.
“Mengubah sistem itu sangat sulit dan butuh waktu lama,” tutur dr. Sandra. “Kalau masing-masing bergerak dengan caranya, saya rasa cukup berkontribusi untuk perubahan.”
Namun, perubahan yang lebih besar butuh representasi yang lebih luas. Bukan hanya soal gender, tapi juga akses ekonomi, latar sosial, dan kelompok-kelompok yang dimarginalkan.
“Perubahannya akan jauh lebih besar dan banyak, jika representasinya tidak hanya gender. Namun status ekonomi, sosial, dan kelompok identitas yang dimarginalkan,” tutup dr. Sandra.
Ilustrasi oleh Karina Tungari
Artikel ini diproduksi oleh Magdalene.co sebagai bagian dari kampanye #WaveForEquality, yang didukung oleh Investing in Women, inisiatif program Pemerintah Australia.
Series artikel lain bisa dibaca di sini.
